Oleh
“Halo. Assalamu
alaikum, Bu...” sapa Shilla setelah melirik nama Ibu di layar handphone-nya dan
meletakkan benda tersebut ke telinga kirinya.
“Shilla, kamu lagi
dimana, Nak?” tanya Ibu.
“Baru mau pulang dari
rumah sakit. Ibu kenapa?” Gadis itu memasuki mobil saat Cakka membukakan pintu
untuknya. Lalu menaruh tas miliknya ke jok belakang.
“Ibu sama Ayah lagi di
rumah, nih. Kamu cepetan pulang, ya! Kami mau ngobrol sama kalian, sekalian
makan malem.”
Dahi Shilla kontan
berkerut. “Tumben banget, Bu. Mau ngomongin apa, sih?”
“Tentang kalian
berdua. Udah, ah. Kalian ke rumah aja. Hati-hati di jalan, ya! Assalamu
alaikum.”
“Wa alaikum salam.”
Tut-tut-tut...
Sambungan terputus.
“Ibu kenapa?” tanya
Cakka sambil menyetir. Membelah padatnya kota di jam pulang kantor seperti ini.
“Gak tau. Katanya sih
mau ngobrol sama kita berdua,” jawab Shilla sambil memasukkan handphone ke
dalam tasnya.
“Ada apa, ya?” Lelaki
itu bertanya-tanya sendiri.
Shilla hanya
mengendikkan bahu. Tanda tak tahu.
Hening sesaat
menyelimuti suasana di dalam range rover sport dengan warna silver metalik
tersebut. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Apa jangan-jangan,
ini ada hubungannya sama yang tadi pagi, ya? Pas aku ngangkat telfon Ibu di
hape kamu,” tebak Shilla kemudian. Ia langsung menatap lelaki di sebelahnya
dengan lekat. Wajahnya berubah cemas.
“Tapi pas aku ngobrol
sama Ibu tadi pagi, dia gak ngungkit masalah itu, kok. Waktu aku mampir ke rumah
sakit Ayah sebelum ke rumah sakit Bunda juga dia gak nanya apa-apa,” balas
Cakka. Berusaha tenang.
“Mungkin aja mereka
lupa. Trus baru inget pas kamu pulang. Dan mereka mutusin pulang ke rumah dan
ngomongin ini ke kita. Iya, kan?”
Cakka terdiam sejenak.
“Gak tau, deh. Kalo kita udah sampe, mereka juga bakal cerita, kok.”
“Ih, kok kamu bisa
tenang gitu, sih?” gemas Shilla. Ia sudah duduk menghadap tunangannya itu.
Cakka meliriknya
sekilas. Lalu kembali berkonsentrasi pada jalanan di depan.
“Apa yang mesti
ditakutin, sih? Kita kan gak ngapa-ngapain.” Ia masih kalem.
“Atau jangan-jangan...
Kamu malah mau kita bikin yang macem-macem gitu yah, sayang?” sambungnya. Lampu
lalu lintas yang berubah merah melancarkan aksesnya untuk menggoda tunangannya.
Shilla yang menangkap
sinyal mesum dari Cakka, langsung menghempaskan tubuhnya ke ujung jok. Jika
seseorang membuka pintu mobil sekarang, ia pasti sudah terjatuh. “Kamu... Mau
apa? Jangan... Macem-macem, ya!” ancamnya terbata-bata.
“Satu macem aja kok,
sayang...” Cakka semakin memajukan tubuhnya ke arah gadis itu. Sampai melewati
tongkat porseneling.
Shilla membatu. Tak
tahu harus berbuat apa. Ingin berteriak, lidahnya kelu. Ingin memberontak,
tangannya beku. Ingin membalas, namun hatinya belum memperoleh rasa yakin.
Akhirnya, ia hanya memilih memejamkan mata. Sembari berdoa di dalam hati agar
pikiran-pikiran Cakka segera tergantikan dengan yang lebih suci.
Ia bahkan sudah
menghafal aroma nafas mint dari lelaki itu saat menerpa wajahnya. Cukup
menambah keyakinan bahwa wajah Cakka sudah semakin dekat. Ketika hidung mereka
nyaris bersentuhan, tiba-tiba...
“Tiiiiiin! Tiiiiiiiin!
Tiiiiiiiiiiiiiiiin!!!” Klakson kendaraan berseruan dari arah belakang mobil
cakka. Bahkan ada beberapa pengendara motor yang mengetuk-ngetuk jendela semi
riben mobil ini.
Shilla sontak membuka
keduanya. Kemudian menghela nafas lega saat menyadari Cakka sudah kembali pada
posisi semula dan buru-buru melajukan mobilnya. Sebelum orang-orang itu
melempari mereka.
“Makanya, gak usah ngambil
kesempatan di tengah jalan kayak gini. Rasain, tuh!” ujar Shilla seraya
memeletkan lidah pada tunangannya.
Cakka hanya mampu
menggaruk tengkuknya sambil mesem-mesem menahan malu.
***
Makan malam bersama beberapa menit yang lalu adalah makan malam paling mencekam
yang pernah Shilla rasakan. Penuh keheningan. Hanya suara dentingan sendok dan
garpu beradu dengan piring dan kunyahan dari mulut mereka masing-masing yang
terdengar. Ditutup oleh suara kerongkongan yang berusaha mencerna minuman yang
tersedia.
Dan di sinilah ia
sekarang. Ruang tengah rumahnya bersama Ayah, Ibu, juga Cakka. Kedua
orangtuanya duduk di sofa yang menghadap pada sofa lain yang sekarang diduduki
Shilla dan Cakka. Seakan siap melakukan sidang.
“Ehem,” Ayah berdehem.
Tanda beliau akan memulai kalimatnya. “Apa kalian udah tau apa alasan Ayah sama
Ibu ngajak kalian ngomong di rumah?” lanjutnya.
Shilla dan Cakka
saling pandang. Lalu menggeleng bersamaan.
“Ayah tanya sama kamu
dulu, Nak. Apa kamu udah inget tentang Cakka?” Ayah bertanya ke arah putri
semata wayangnya.
Shilla menggeleng
lagi. “Tapi beberapa hari yang lalu, aku sempat mimpi pas dia dateng dan
sosialisasi kesehatan di sekolahku. Yah, kayak gitulah pokoknya.”
“Bener?” tanya Ibu.
Shilla mengangguk pelan.
“Sekarang, Ayah mau
tanya sama Cakka. Gimana perasaan kamu ke Shilla? Kamu masih sayang sama dia,
kan?” Ayah kembali bertanya.
“Iya, Ayah. Aku masih
sayang sama Shilla. Dari dulu, sampai sekarang. Bahkan, rasa sayangku malah
semakin besar,” jawab lelaki yang sudah berganti pakaian dengan kaus rumah dan
celana pendek itu. Mantap.
Ayah mengangguk
sekilas. “Oke. Jadi gimana menurut kalian kalo pernikahan kalian berdua
dipercepat saja?” sambungnya seraya membetulkan letak kacamata di atas hidung
mancungnya.
“WHAT?” Mata Shilla
melotot maksimal.
Cakka ikut-ikutan
melotot. Tubuhnya menegang.
“Kenapa? Bukannya
kalian masih saling sayang?” heran Ayah. Lebih ditujukan pada calon menantunya.
“Tapi kan aku masih
kuliah, Yah. Aku juga belum koas. Aku kan mau jadi dokter
dulu baru nikah.”
Shilla yang menjawab.
“Iya, Ayah ngerti.
Tapi apa bedanya, sih? Sekarang atau nanti, kalian juga bakal menikah kan
ujung-ujungnya?”
Shilla baru berniat
menjawab lagi, Cakka sudah terlebih dahulu berbicara. “Apa kita gak mau nunggu
sampe amnesianya Shilla sembuh dulu, Yah?”
Ayah dan Ibu saling
berpandangan.
“Iya, apa gak nunggu
sampe aku sembuh dulu? Maksudnya, ya... Aku juga mau nikah sama orang yang
benar-benar aku cintai. Tapi gimana aku yakin kalo aku cinta sama Cakka,
sementara aku gak kenal dia?” sela Shilla.
“Jadi, kalian gak mau
nikah dulu?” Ibu mencoba meyakinkan.
“Enggak!” balas Shilla
mantap.
Pandangan Ayah dan Ibu
lalu beralih ke Cakka.
Lelaki itu ikut
menatap wajah Ayah, Ibu dan Shilla bergantian. Kemudian malah menggaruk
tengkuknya. “Bukannya gak mau nikah sih, cuma aku gak mau maksa Shilla. Kalo
ditanya masalah nikah, siapa yang gak mau? Apalagi kawinnya. Hehe...”
Buk! Sebuah bantal
kursi sukses mendarat di kepalanya. Diiringi tatapan kesal milik Shilla.
***
Rio memusatkan pandangannya pada satu titik di tengah area parkir fakultasnya.
Tempat sebuah range rover sport berwarna silver metalik baru saja berhenti.
Diikuti sepasang dosen dan mahasiswi yang sama-sama mengenakan jas dokter. Cakka
dan Shilla.
“Kenapa? Cemburu?”
Sebuah suara halus tiba-tiba muncul di sebelahnya.
“Eh, Dokter Ify...”
Rio langsung mengubah raut wajahnya.
Wanita cantik dengan
setelan jas dokter dan long dress polos berwarna abu-abu tersebut ikut menatap
Cakka dan Shilla yang mulai menjauh, menuju pintu masuk fakultas kedokteran.
“Jadi bagaimana dengan
tawaran saya?” ujar Dokter Ify. Tepat saat kedua objek penglihatan mereka
menghilang dari pandangan mata.
Dahi Rio kontan
berkerut.
“Iya, tawaran saya
beberapa hari yang lalu,” ulang Dokter Ify.
Lelaki yang
mnyampirkan jas dokternya di sela tali tas ranselnya itu nampak berpikir.
“Tentang... merebut Shilla?”
Dokter Ify mengangguk
pelan.
“Apa itu gak jahat,
Dok?”
Wanita itu kembali
tersenyum manis. “Jahat apanya? Mereka kan belum menikah. Lagian juga, kalaupun
udah nikah, kan bisa cerai. Gak ada yang gak mungkin, Rio.”
***
Shilla sedang membantu Cakka menyusun beberapa map di meja kerjanya. Rambutnya
ia gulung ke atas, namun agak berantakan. Jas dokternya ia letakkan sembarangan
bersama tas dan buku-buku tebal miliknya.
“Kamu udah minum obat,
kan?” tanya lelaki tinggi yang saat ini sedang menyusun buku-buku yang selesai
ia baca ke sebuah rak mini di dekat pintu masuk ruangannya.
Perempuan yang ia tanya
hanya mengangguk.
“Trus, ngapain diem
gitu? Bad mood?”
Shilla hanya menghela
nafas panjang.
“Gara-gara KKN ini?”
tanya Cakka. “Aku tau kok kalo kamu gak suka anak kecil. Tapi seenggaknya kamu
bisa sabar, kan? Ini cuma beberapa bulan, kok. Abis itu kamu bisa nyusun
skripsi dan milih mau koas dimana,” lanjutnya, tanpa menunggu jawaban sang
tunangan.
Shilla memilih
terdiam.
“Lagian, kenapa sih
kamu gak suka anak kecil?”
“Bisa ganti topik,
gak? Kamu nih cerewet banget! Lama-lama kamu jadi kayak anak kecil, hebat
banget kalau bikin aku sakit kepala!”
***
Shilla sudah memegang sebuah jurnal dan pulpen sembari mendengar Dokter Acha
menjelaskan beberapa cara menangani pasien bayi. Bayi memang memerlukan
penanganan yang istimewa. Selain karena masih kecil, ia juga sangat rentan
terjangkit penyakit. Harus melalui penanganan ekstra steril dan perhatian yang
lebih banyak.
“Shilla...” Sebuah
suara muncul dari pintu masuk kamar rawat matahari, tempat Shilla dan beberapa
temannya melihat seorang anak berumur lima bulan yang
sedang menderita demam
tinggi.
Perempuan berjas
dokter dengan mini dress dan rambut yang sudah diikat rapi tersebut melangkah
menghampiri sang pemilik suara.
“Kamu masih sibuk?”
tanya cakka, seseorang yang baru saja memanggil Shilla.
“Kayaknya sih gitu.
Kenapa?”
“Aku mau ke kampus
dulu. Ada urusan mendadak sama dosen yang lain,” ujarnya.
“Kamu gak pa-pa aku
tinggal di sini dulu?”
“Ya ampun, ada-ada
aja, deh. Ya gak pa-pa. Lagian juga di sini aku lagi sibuk. Kamu pergi aja,”
balas Shilla.
“Tapi...”
“Tapi apa?”
“Aku perginya bareng
Dokter Ify. Gak pa-pa?” tanya Cakka hati-hati.
Perempuan itu
menatapnya sejenak. “Kok tumben?” ketusnya kemudian.
“Dia gak bawa mobil.
Trus karna kami sama-sama mau ke kampus, jadi dia minta tolong sekalian
barengan aja. Aku gak enak nolak.”
“Ya udah,” Shilla
mendengus sesaat. “Tapi jangan macem-macem, ya!” ancamnya.
Cakka tersenyum tipis.
“Iya, deh... calon istriku yang cemburuan!” balasnya sambil mencolek dagu
mungil milik Shilla. Lalu cepat-cepat beranjak dari sana, sebelum tunangannya
mengamuk karena jadi bahan ‘cie-cie’ dari orang-orang yang melihat aksinya
barusan.
***
Shilla menyeruput jus jeruk di depannya dalam-dalam. Kemudian menyapu peluh
yang mengalir di sekitar dahi dan pelipisnya dengan tisu. Pekerjaannya hari ini
cukup melelahkan. Banyak pasien baru yang masuk ke rumah sakit Bunda. Entah itu
bayi atau balita yang demam dan mengalami gangguan pencernaan, atau ibu-ibu
yang hendak melahirkan.
“Capek banget, ya?”
Tiba-tiba, sebuah suara muncul di sebelahnya. Bukan suara ringan –terkesan
cempreng– dan menenangkan milik Cakka, namun suara yang lebih berat khas
laki-laki dewasa pada umumnya.
Perempuan itu kontan
menoleh. Lalu menemukan lelaki dengan bibir seksi dan pandangan mata tajam itu
sedang duduk di sebelahnya. Rio.
“Udah makan, belum?”
tanya Rio lagi.
Shilla menggeleng
pelan.
“Mau nyoba bakso di
belakang rumah sakit ini, gak? Enak, loh. Walaupun cuma gerobak kaki lima,
sih.”
“Tapi beneran enak,
kan?” Shilla balik bertanya. Perutnya memang sudah keroncongan sedari tadi.
“Makanya dicoba
sendiri dulu. Yuk!” Rio berdiri duluan, lalu mengulurkan tangan kanannya ke
arah Shilla.
Mau tidak mau,
perempuan itu pun tenggelam dalam genggamannya.
***
“Loh, loh, ini kenapa?”
“Ada apa, Dok?”
“Ini, loh...” Duk!
Mesin mobil mati
mendadak. Cakka langsung memutar kunci mobil. Mesin menyala sejenak, lalu
kembali mati. “Tunggu dulu ya, Dok. Saya periksa sebentar,” ucapnya kemudian,
ke arah Dokter Ify yang duduk di jok sebelahnya.
Lelaki itu kemudian
turun dari range rover sport miliknya. Melangkah ke bagian depan mobil, lalu
membuka kap dan meneliti mesin-mesin di dalamnya. Tapi dasar dokter untuk
bagian tubuh manusia, ia tidak mengerti apapun.
“Mobilnya kenapa, Dok?”
tanya Dokter Ify. Wanita itu sudah berdiri di sebelah Cakka.
“Saya juga gak tau,
Dok. Mungkin ada masalah sama mesinnya. Saya mau nelepon bengkel langganan
dulu,” balas Cakka sambil mengeluarkan ponsel yang ia taruh di saku celana
kainnya.
Dokter Ify hanya
mengangguk sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu kembali menatap
Cakka yang sedang sibuk berbicara via telepon.
“Orang dari bengkel
udah dalam perjalanan ke sini. Dokter Ify masuk ke dalam mobil aja, nyalain ac.
Di sini kan panas. Biar saya aja yang nungguin mereka di luar.”
“Gak pa-pa, kok. Saya
di sini aja nemenin Dokter Cakka. Lagian di situ kan ada ada pohon sama
bangku.” Wanita itu menunjuk sebuah pohon yang lumayan rindang di dekat trotoar
dengan dagunya.
“Ya udah. Kita duduk
di sana aja.” Cakka berjalan mendahului Dokter Ify. Kemudian duduk di bangku
semen yang ada di sana sambil sesekali celingukan ke jalan raya, mencari mobil
dari bengkel langganannya.
Dokter Ify ikut duduk
di sebelahnya. Rambut panjangnya yang lurus dan agak kecoklatan terlihat
berantakan diterbang-terbangkan angin. Tapi tidak mengurangi aura kecantikan
miliknya.
Cakka melirik wanita
itu sekilas. Dewasa... dan cantik. Dengan mata bulat, hidung mancung, bibir
merah merekah, kulit putih mulus, dan senyum yang menawan.
“Kenapa, Dok?” tanya
Dokter Ify tiba-tiba. Heran dengan ekspresi lelaki yang sedang mengamatinya
saat ini.
“Hah? Eh, gak
kenapa-kenapa kok, Dok.” Cakka tersenyum kikuk. Salah tingkah.
“Dokter gak mau ke
kampus duluan? Saya bisa nelepon taksi dan nyuruh jemput sekarang, kok.”
“Gak usah, deh. Udah
terlanjur di sini. Mending nunggu orang dari bengkel aja,” balasnya, lengkap
dengan senyum manis.
“Beneran? Ntar kalo
Dokter dicariin di kampus, gimana? Mending Dokter duluan aja. Biar saya sendiri
yang nungguin mobil di sini. Lagian kan panas juga, nih.”
“Gak usah, Dok. Saya
nemenin di sini aja. Gak pa-pa, kok.” Tiba-tiba, wanita itu meletakkan telapak
tangan kanannya ke atas punggung tangan milik Cakka.
Bukannya menyambut,
lelaki itu buru-buru menarik tangannya dengan halus. Agar tidak terkesan
menolak. “Saya beli minum dulu yah, Dok. Permisi...” ujarnya. Kemudian berdiri
dari duduknya, dan beranjak ke mini market di seberang jalan.
***
“Kamu dimana?” tanya Dokter Ify sambil menempelkan handphone keluaran
terbarunya ke telinga kiri.
“Masih di rumah sakit
Bunda, Dok. Kenapa?” tanya suara berat dari sana, milik Rio.
“Kamu bareng Shilla,
kan?”
“Iya. Saya sama dia
terus kok dari tadi. Dokter sendiri?”
“Saya juga bareng
Cakka. Ini, saya lagi nungguin dia beli minum di pinggir jalan. Mobilnya
tiba-tiba mogok,” jawabnya sambil menyeka keringat yang menetes di pelipis
kanannya.
“Mogok dimana, Dok?
Gak dibawa ke bengkel?” Rio terdengar khawatir.
“Dia udah nelepon
bengkel langganannya, kok. Ntar lagi kayaknya mereka
dateng,” ucap Dokter
Ify. “Kamu sendiri lagi ngapain di sana?”
“Saya sama Shilla baru
aja selesai makan bakso Mas Tiar di belakang rumah sakit Bunda. Dia kayaknya
seneng banget.”
“Trus sekarang dia
lagi dimana? Kamu gak lagi di deket dia kan sekarang? Bisa berabe kalo dia
denger pembicaraan kita.”
“Enggaklah, Dok. Dia
udah masuk ke dalem. Saya masih duduk-duduk di luar, tadi abis ngobrol sama
pasien.”
“Ya udah kalo gitu.
Kamu terus deketin Shilla, ya! Dokter Cakka juga udah balik dari mini market.”
“Baik, Dok.”
***
Shilla melepaskan jas dokter yang hampir seharian ini melekat di tubuh
mungilnya. Jam di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul sembilan
malam. Namun cakka belum juga muncul.
Bukannya
tadi dia bilang cuma ke kampus? Tapi kok belum balik sampe sekarang? batinnya. Tak mau menunggu lama, ia memilih menelepon
tunangannya tersebut.
“Nomor yang anda tuju
sedang tidak aktif atau berada–”
Klik! Perempuan itu
langsung menekan gambar telepon berwarna merah pada layar ponsel touch screen
miliknya. Cakka kemana, sih? Bisa-bisanya ngebiarin handphone nonaktif pas
lagi dibutuhin. Ck!
“Kenapa, Shill?”
Shilla menoleh. Lalu
menemukan Rio sudah berdiri di sebelahnya. Masih lengkap dengan jas dokter dan
diktat tebal. “Ini, abis nelepon Dokter Cakka. Tapi nomornya gak aktif.”
“Emang udah mau
pulang?”
Perempuan dengan
rambut lepek dan wajah yang mulai kusam karena seharian sibuk menangani pasien
itu hanya mengangguk dengan bibir manyun.
“Bareng aja, yuk!”
ajak Rio.
“Ciyus?” Wajah Shilla
berubah ceria. “Eh, maksudnya... serius?”
Rio tertawa lepas.
Kemudian mengangguk.
***
Shilla keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambut hitamnya yang agak ikal.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam dan baru setengah jam yang
lalu ia sampai di rumah. Semakin hari, kemacetan semakin merajalela menguasai
harinya.
Tok! Tok! Tok!
“Siapa?” sorak
perempuan itu dari balik pintu kamarnya. Ayah dan Ibu belum pulang dari rumah
sakit sejak mereka berangkat keesokan hari setelah membicarakan masalah
pernikahan. Sedangkan Cakka juga tidak ada di rumah saat ia tiba.
“Aku. Kamu udah
balik?” suara Cakka.
Shilla pun langsung
memutar kunci kamarnya. Berbagai macam kalimat gerutu sudah siap meluncur dari
bibir mungilnya.
Pintu terbuka. Cakka
berdiri di depan sana. Raut wajahnya terlihat... “KAMU DARIMANA AJA, SIH? AKU
TUH CAPEK NYARIIN KAMU DI RUMAH SAKIT!” bentaknya, sebelum perempuan itu sempat
membuka mulut.
“Aku–”
“Kamu harusnya mikir
gimana paniknya aku pas kamu gak ada di rumah sakit. Aku keliling nyari kamu,
aku nanya keberadaan kamu sama semua orang yang aku liat. Tapi apa? Gak ada
yang liat kamu. Kamu mikir gak, sih?”
“Aku–”
“Seharian ini tuh aku
udah capek banget sama kerjaan di rumah sakit sama kampus. Apa kamu gak kasian
sama aku? Kenapa kamu malah nambah-nambahin, sih? Aku capek, tau! Aku–”
“STOP!” seru Shilla.
Telinganya hampir panas mendengar teriakan demi teriakan Cakka di depan wajahnya.
“KAMU PIKIR AKU MAU NINGGALIN KAMU GITU AJA? AKU JUGA CAPEK! KAMU PIKIR
SEHARIAN NANGANIN PASIEN ITU GAK CAPEK, HAH? AKU UDAH HAMPIR PINGSAN NUNGGUIN
KAMU DI RUMAH SAKIT, DAN KAMU MALAH KEMANA? HANDPHONE KAMU GAK AKTIF! TRUS KAMU
PIKIR, AKU MAU NUNGGUIN KAMU YANG GAK JELAS ADA DIMANA SEMENTARA BADANKU UDAH
LEMES BANGET? KAMU YANG HARUSNYA MIKIR!”
Cakka terdiam. Lalu,
“Handphone-ku emang lowbatt. Tapi seenggaknya kamu nungguin aku. Atau minta
tolong sama receptionist rumah sakit buat nyampein kalo kamu udah pulang
duluan. Easy, right?”
“Aku udah terlalu
capek buat mikirin hal lain. Yang aku pikirin cuma rumah, mandi, dan tidur.
Enough.”
“Kamu gak bisa
nungguin aku bentar aja? Aku gak mungkin gak jemput kamu.”
“Iya! Iya! Aku salah!
Puas?” tandas Shilla, kemudian berbalik dan berniat masuk kamar.
Cakka kontan mencekal
tangan kanannya sebelum sempat melangkah.
“What else, hah?”
“Kamu... pulang sama
siapa?” tanya Cakka, dengan nada menghakimi.
“Rio,” jawabnya,
malas-malasan.
“Apa?” teriak Cakka lagi.
“Jadi kamu ninggalin aku pulang dari rumah sakit karna kamu pulang bareng Rio?
Iya?”
“Kamu kenapa, sih? Apa
masalahnya? Aku cuma pulang bareng, kok. Gak lebih.” Shilla membela diri.
“Iya, tapi seenggaknya
kamu ngomong sama aku dulu.”
“Gimana mau ngomong
sama kamu kalo handphone kamu aja gak aktif? Lagian, aku gak mungkin pulang
bareng Rio kalo tadi kamu gak jelas banget ada dimana.”
“Aku kan udah bilang,
aku gak mungkin ngebiarin kamu sendirian di rumah sakit. Aku masih punya
tanggung jawab, kali!”
“Udahlah, sampe kapan
sih kita berantem gini? Adu urat kayak tarzan di rumah ini? Hah?” tanya Shilla,
putus asa.
“Aku gak mau kita
berantem. Aku cuma nanya, kenapa pikiran kamu sedangkal itu buat pulang bareng
laki-laki lain, sementara kamu sendiri punya tunangan?”
“Dangkal? Kamu bilang
dangkal? Jadi kamu pikir... Aku bego, gitu?” Bahu Shilla sudah naik-turun
meredam emosi.
“Siapa yang bilang?
Aku cuma–”
“Kamu pikir aku gak
sakit hati pas denger kamu mau ke kampus bareng Dokter Ify tadi siang? Hah?”
balas Shilla. “Aku gak rela, Kka! Biar gimanapun, kamu itu tunangan aku. Oke,
aku emang gak inget apa-apa tentang kamu. Tapi seenggaknya kamu ngertiin
perasaan aku. Aku ini perempuan. Perempuan mana yang tega ngeliat tunangannya
pergi sama perempuan lain? Perempuan yang... lebih cantik dari dia?”
Shilla menunduk.
Menyembunyikan wajahnya yang sudah dialiri kristal bening berwujud air mata
yang dengan kurang ajarnya menetes tanpa permisi.
“Shill...” lirih
Cakka. Ia menggenggam bahu kanan perempuan itu. Bahu mungil yang bergetar
perlahan. Diiringi sesenggukan yang berusaha ditahan. “Maafin aku.”
“Hiks...”
“Aku yang salah. Aku
emang gak pengertian sama kamu. Aku–”
“Enggak,” potong
Shilla, masih diselingi isakan. “Bukan kamu yang salah. Tapi kita.”
“Kita?”
“Iya, kita.” Shilla
mengangkat dagunya tepat di depan wajah Caka. “Kita yang sedang menyalahi
takdir. Kita yang sedang memaksakan kehendak karna status yang sudah terlanjur
terjadi. Tunangan...”
“Maksud kamu?” Dahi
lelaki itu semakin berkerut. Tidak mengerti.
“Kita sebaiknya
ngebatalin pertunangan ini. Karna kayaknya... Kita gak jodoh.”
*TBC*
Komentar
Posting Komentar