Langsung ke konten utama

Remember Me #8 Versi CakShill



Oleh


“Halo. Assalamu alaikum, Bu...” sapa Shilla setelah melirik nama Ibu di layar handphone-nya dan meletakkan benda tersebut ke telinga kirinya.

“Shilla, kamu lagi dimana, Nak?” tanya Ibu.

“Baru mau pulang dari rumah sakit. Ibu kenapa?” Gadis itu memasuki mobil saat Cakka membukakan pintu untuknya. Lalu menaruh tas miliknya ke jok belakang.

“Ibu sama Ayah lagi di rumah, nih. Kamu cepetan pulang, ya! Kami mau ngobrol sama kalian, sekalian makan malem.”

Dahi Shilla kontan berkerut. “Tumben banget, Bu. Mau ngomongin apa, sih?”

“Tentang kalian berdua. Udah, ah. Kalian ke rumah aja. Hati-hati di jalan, ya! Assalamu alaikum.”

“Wa alaikum salam.”

Tut-tut-tut... Sambungan terputus.

“Ibu kenapa?” tanya Cakka sambil menyetir. Membelah padatnya kota di jam pulang kantor seperti ini.

“Gak tau. Katanya sih mau ngobrol sama kita berdua,” jawab Shilla sambil memasukkan handphone ke dalam tasnya.

“Ada apa, ya?” Lelaki itu bertanya-tanya sendiri.

Shilla hanya mengendikkan bahu. Tanda tak tahu.

Hening sesaat menyelimuti suasana di dalam range rover sport dengan warna silver metalik tersebut. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Apa jangan-jangan, ini ada hubungannya sama yang tadi pagi, ya? Pas aku ngangkat telfon Ibu di hape kamu,” tebak Shilla kemudian. Ia langsung menatap lelaki di sebelahnya dengan lekat. Wajahnya berubah cemas.

“Tapi pas aku ngobrol sama Ibu tadi pagi, dia gak ngungkit masalah itu, kok. Waktu aku mampir ke rumah sakit Ayah sebelum ke rumah sakit Bunda juga dia gak nanya apa-apa,” balas Cakka. Berusaha tenang.

“Mungkin aja mereka lupa. Trus baru inget pas kamu pulang. Dan mereka mutusin pulang ke rumah dan ngomongin ini ke kita. Iya, kan?”

Cakka terdiam sejenak. “Gak tau, deh. Kalo kita udah sampe, mereka juga bakal cerita, kok.”

“Ih, kok kamu bisa tenang gitu, sih?” gemas Shilla. Ia sudah duduk menghadap tunangannya itu.

Cakka meliriknya sekilas. Lalu kembali berkonsentrasi pada jalanan di depan. 
“Apa yang mesti ditakutin, sih? Kita kan gak ngapa-ngapain.” Ia masih kalem. 
“Atau jangan-jangan... Kamu malah mau kita bikin yang macem-macem gitu yah, sayang?” sambungnya. Lampu lalu lintas yang berubah merah melancarkan aksesnya untuk menggoda tunangannya.

Shilla yang menangkap sinyal mesum dari Cakka, langsung menghempaskan tubuhnya ke ujung jok. Jika seseorang membuka pintu mobil sekarang, ia pasti sudah terjatuh. “Kamu... Mau apa? Jangan... Macem-macem, ya!” ancamnya terbata-bata.

“Satu macem aja kok, sayang...” Cakka semakin memajukan tubuhnya ke arah gadis itu. Sampai melewati tongkat porseneling.

Shilla membatu. Tak tahu harus berbuat apa. Ingin berteriak, lidahnya kelu. Ingin memberontak, tangannya beku. Ingin membalas, namun hatinya belum memperoleh rasa yakin. Akhirnya, ia hanya memilih memejamkan mata. Sembari berdoa di dalam hati agar pikiran-pikiran Cakka segera tergantikan dengan yang lebih suci.

Ia bahkan sudah menghafal aroma nafas mint dari lelaki itu saat menerpa wajahnya. Cukup menambah keyakinan bahwa wajah Cakka sudah semakin dekat. Ketika hidung mereka nyaris bersentuhan, tiba-tiba...

“Tiiiiiin! Tiiiiiiiin! Tiiiiiiiiiiiiiiiin!!!” Klakson kendaraan berseruan dari arah belakang mobil cakka. Bahkan ada beberapa pengendara motor yang mengetuk-ngetuk jendela semi riben mobil ini.

Shilla sontak membuka keduanya. Kemudian menghela nafas lega saat menyadari Cakka sudah kembali pada posisi semula dan buru-buru melajukan mobilnya. Sebelum orang-orang itu melempari mereka.

“Makanya, gak usah ngambil kesempatan di tengah jalan kayak gini. Rasain, tuh!” ujar Shilla seraya memeletkan lidah pada tunangannya.

Cakka hanya mampu menggaruk tengkuknya sambil mesem-mesem menahan malu.





***

            Makan malam bersama beberapa menit yang lalu adalah makan malam paling mencekam yang pernah Shilla rasakan. Penuh keheningan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu beradu dengan piring dan kunyahan dari mulut mereka masing-masing yang terdengar. Ditutup oleh suara kerongkongan yang berusaha mencerna minuman yang tersedia.

Dan di sinilah ia sekarang. Ruang tengah rumahnya bersama Ayah, Ibu, juga Cakka. Kedua orangtuanya duduk di sofa yang menghadap pada sofa lain yang sekarang diduduki Shilla dan Cakka. Seakan siap melakukan sidang.

“Ehem,” Ayah berdehem. Tanda beliau akan memulai kalimatnya. “Apa kalian udah tau apa alasan Ayah sama Ibu ngajak kalian ngomong di rumah?” lanjutnya.

Shilla dan Cakka saling pandang. Lalu menggeleng bersamaan.

“Ayah tanya sama kamu dulu, Nak. Apa kamu udah inget tentang Cakka?” Ayah bertanya ke arah putri semata wayangnya.

Shilla menggeleng lagi. “Tapi beberapa hari yang lalu, aku sempat mimpi pas dia dateng dan sosialisasi kesehatan di sekolahku. Yah, kayak gitulah pokoknya.”

“Bener?” tanya Ibu.

Shilla mengangguk pelan.

“Sekarang, Ayah mau tanya sama Cakka. Gimana perasaan kamu ke Shilla? Kamu masih sayang sama dia, kan?” Ayah kembali bertanya.

“Iya, Ayah. Aku masih sayang sama Shilla. Dari dulu, sampai sekarang. Bahkan, rasa sayangku malah semakin besar,” jawab lelaki yang sudah berganti pakaian dengan kaus rumah dan celana pendek itu. Mantap.

Ayah mengangguk sekilas. “Oke. Jadi gimana menurut kalian kalo pernikahan kalian berdua dipercepat saja?” sambungnya seraya membetulkan letak kacamata di atas hidung mancungnya.

“WHAT?” Mata Shilla melotot maksimal.

Cakka ikut-ikutan melotot. Tubuhnya menegang.

“Kenapa? Bukannya kalian masih saling sayang?” heran Ayah. Lebih ditujukan pada calon menantunya.

“Tapi kan aku masih kuliah, Yah. Aku juga belum koas. Aku kan mau jadi dokter 
dulu baru nikah.” Shilla yang menjawab.

“Iya, Ayah ngerti. Tapi apa bedanya, sih? Sekarang atau nanti, kalian juga bakal menikah kan ujung-ujungnya?”

Shilla baru berniat menjawab lagi, Cakka sudah terlebih dahulu berbicara. “Apa kita gak mau nunggu sampe amnesianya Shilla sembuh dulu, Yah?”

Ayah dan Ibu saling berpandangan.

“Iya, apa gak nunggu sampe aku sembuh dulu? Maksudnya, ya... Aku juga mau nikah sama orang yang benar-benar aku cintai. Tapi gimana aku yakin kalo aku cinta sama Cakka, sementara aku gak kenal dia?” sela Shilla.

“Jadi, kalian gak mau nikah dulu?” Ibu mencoba meyakinkan.

“Enggak!” balas Shilla mantap.

Pandangan Ayah dan Ibu lalu beralih ke Cakka.

Lelaki itu ikut menatap wajah Ayah, Ibu dan Shilla bergantian. Kemudian malah menggaruk tengkuknya. “Bukannya gak mau nikah sih, cuma aku gak mau maksa Shilla. Kalo ditanya masalah nikah, siapa yang gak mau? Apalagi kawinnya. Hehe...”

Buk! Sebuah bantal kursi sukses mendarat di kepalanya. Diiringi tatapan kesal milik Shilla.

***

            Rio memusatkan pandangannya pada satu titik di tengah area parkir fakultasnya. Tempat sebuah range rover sport berwarna silver metalik baru saja berhenti. Diikuti sepasang dosen dan mahasiswi yang sama-sama mengenakan jas dokter. Cakka dan Shilla.

“Kenapa? Cemburu?” Sebuah suara halus tiba-tiba muncul di sebelahnya.

“Eh, Dokter Ify...” Rio langsung mengubah raut wajahnya.

Wanita cantik dengan setelan jas dokter dan long dress polos berwarna abu-abu tersebut ikut menatap Cakka dan Shilla yang mulai menjauh, menuju pintu masuk fakultas kedokteran.

“Jadi bagaimana dengan tawaran saya?” ujar Dokter Ify. Tepat saat kedua objek penglihatan mereka menghilang dari pandangan mata.

Dahi Rio kontan berkerut.

“Iya, tawaran saya beberapa hari yang lalu,” ulang Dokter Ify.

Lelaki yang mnyampirkan jas dokternya di sela tali tas ranselnya itu nampak berpikir. “Tentang... merebut Shilla?”

Dokter Ify mengangguk pelan.

“Apa itu gak jahat, Dok?”

Wanita itu kembali tersenyum manis. “Jahat apanya? Mereka kan belum menikah. Lagian juga, kalaupun udah nikah, kan bisa cerai. Gak ada yang gak mungkin, Rio.”

***

            Shilla sedang membantu Cakka menyusun beberapa map di meja kerjanya. Rambutnya ia gulung ke atas, namun agak berantakan. Jas dokternya ia letakkan sembarangan bersama tas dan buku-buku tebal miliknya.

“Kamu udah minum obat, kan?” tanya lelaki tinggi yang saat ini sedang menyusun buku-buku yang selesai ia baca ke sebuah rak mini di dekat pintu masuk ruangannya.

Perempuan yang ia tanya hanya mengangguk.

“Trus, ngapain diem gitu? Bad mood?”

Shilla hanya menghela nafas panjang.

“Gara-gara KKN ini?” tanya Cakka. “Aku tau kok kalo kamu gak suka anak kecil. Tapi seenggaknya kamu bisa sabar, kan? Ini cuma beberapa bulan, kok. Abis itu kamu bisa nyusun skripsi dan milih mau koas dimana,” lanjutnya, tanpa menunggu jawaban sang tunangan.

Shilla memilih terdiam.

“Lagian, kenapa sih kamu gak suka anak kecil?”

“Bisa ganti topik, gak? Kamu nih cerewet banget! Lama-lama kamu jadi kayak anak kecil, hebat banget kalau bikin aku sakit kepala!”

***

            Shilla sudah memegang sebuah jurnal dan pulpen sembari mendengar Dokter Acha menjelaskan beberapa cara menangani pasien bayi. Bayi memang memerlukan penanganan yang istimewa. Selain karena masih kecil, ia juga sangat rentan terjangkit penyakit. Harus melalui penanganan ekstra steril dan perhatian yang lebih banyak.

“Shilla...” Sebuah suara muncul dari pintu masuk kamar rawat matahari, tempat Shilla dan beberapa temannya melihat seorang anak berumur lima bulan yang 
sedang menderita demam tinggi.

Perempuan berjas dokter dengan mini dress dan rambut yang sudah diikat rapi tersebut melangkah menghampiri sang pemilik suara.

“Kamu masih sibuk?” tanya cakka, seseorang yang baru saja memanggil Shilla.

“Kayaknya sih gitu. Kenapa?”

“Aku mau ke kampus dulu. Ada urusan mendadak sama dosen yang lain,” ujarnya. 
“Kamu gak pa-pa aku tinggal di sini dulu?”

“Ya ampun, ada-ada aja, deh. Ya gak pa-pa. Lagian juga di sini aku lagi sibuk. Kamu pergi aja,” balas Shilla.

“Tapi...”

“Tapi apa?”

“Aku perginya bareng Dokter Ify. Gak pa-pa?” tanya Cakka hati-hati.
Perempuan itu menatapnya sejenak. “Kok tumben?” ketusnya kemudian.

“Dia gak bawa mobil. Trus karna kami sama-sama mau ke kampus, jadi dia minta tolong sekalian barengan aja. Aku gak enak nolak.”

“Ya udah,” Shilla mendengus sesaat. “Tapi jangan macem-macem, ya!” ancamnya.

Cakka tersenyum tipis. “Iya, deh... calon istriku yang cemburuan!” balasnya sambil mencolek dagu mungil milik Shilla. Lalu cepat-cepat beranjak dari sana, sebelum tunangannya mengamuk karena jadi bahan ‘cie-cie’ dari orang-orang yang melihat aksinya barusan.

***

            Shilla menyeruput jus jeruk di depannya dalam-dalam. Kemudian menyapu peluh yang mengalir di sekitar dahi dan pelipisnya dengan tisu. Pekerjaannya hari ini cukup melelahkan. Banyak pasien baru yang masuk ke rumah sakit Bunda. Entah itu bayi atau balita yang demam dan mengalami gangguan pencernaan, atau ibu-ibu yang hendak melahirkan.

“Capek banget, ya?” Tiba-tiba, sebuah suara muncul di sebelahnya. Bukan suara ringan –terkesan cempreng– dan menenangkan milik Cakka, namun suara yang lebih berat khas laki-laki dewasa pada umumnya.

Perempuan itu kontan menoleh. Lalu menemukan lelaki dengan bibir seksi dan pandangan mata tajam itu sedang duduk di sebelahnya. Rio.

“Udah makan, belum?” tanya Rio lagi.

Shilla menggeleng pelan.

“Mau nyoba bakso di belakang rumah sakit ini, gak? Enak, loh. Walaupun cuma gerobak kaki lima, sih.”

“Tapi beneran enak, kan?” Shilla balik bertanya. Perutnya memang sudah keroncongan sedari tadi.

“Makanya dicoba sendiri dulu. Yuk!” Rio berdiri duluan, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Shilla.

Mau tidak mau, perempuan itu pun tenggelam dalam genggamannya.

***

            “Loh, loh, ini kenapa?”

“Ada apa, Dok?”

“Ini, loh...” Duk!

Mesin mobil mati mendadak. Cakka langsung memutar kunci mobil. Mesin menyala sejenak, lalu kembali mati. “Tunggu dulu ya, Dok. Saya periksa sebentar,” ucapnya kemudian, ke arah Dokter Ify yang duduk di jok sebelahnya.

Lelaki itu kemudian turun dari range rover sport miliknya. Melangkah ke bagian depan mobil, lalu membuka kap dan meneliti mesin-mesin di dalamnya. Tapi dasar dokter untuk bagian tubuh manusia, ia tidak mengerti apapun.

“Mobilnya kenapa, Dok?” tanya Dokter Ify. Wanita itu sudah berdiri di sebelah Cakka.

“Saya juga gak tau, Dok. Mungkin ada masalah sama mesinnya. Saya mau nelepon bengkel langganan dulu,” balas Cakka sambil mengeluarkan ponsel yang ia taruh di saku celana kainnya.

Dokter Ify hanya mengangguk sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu kembali menatap Cakka yang sedang sibuk berbicara via telepon.

“Orang dari bengkel udah dalam perjalanan ke sini. Dokter Ify masuk ke dalam mobil aja, nyalain ac. Di sini kan panas. Biar saya aja yang nungguin mereka di luar.”

“Gak pa-pa, kok. Saya di sini aja nemenin Dokter Cakka. Lagian di situ kan ada ada pohon sama bangku.” Wanita itu menunjuk sebuah pohon yang lumayan rindang di dekat trotoar dengan dagunya.

“Ya udah. Kita duduk di sana aja.” Cakka berjalan mendahului Dokter Ify. Kemudian duduk di bangku semen yang ada di sana sambil sesekali celingukan ke jalan raya, mencari mobil dari bengkel langganannya.

Dokter Ify ikut duduk di sebelahnya. Rambut panjangnya yang lurus dan agak kecoklatan terlihat berantakan diterbang-terbangkan angin. Tapi tidak mengurangi aura kecantikan miliknya.

Cakka melirik wanita itu sekilas. Dewasa... dan cantik. Dengan mata bulat, hidung mancung, bibir merah merekah, kulit putih mulus, dan senyum yang menawan.

“Kenapa, Dok?” tanya Dokter Ify tiba-tiba. Heran dengan ekspresi lelaki yang sedang mengamatinya saat ini.

“Hah? Eh, gak kenapa-kenapa kok, Dok.” Cakka tersenyum kikuk. Salah tingkah. 

“Dokter gak mau ke kampus duluan? Saya bisa nelepon taksi dan nyuruh jemput sekarang, kok.”

“Gak usah, deh. Udah terlanjur di sini. Mending nunggu orang dari bengkel aja,” balasnya, lengkap dengan senyum manis.

“Beneran? Ntar kalo Dokter dicariin di kampus, gimana? Mending Dokter duluan aja. Biar saya sendiri yang nungguin mobil di sini. Lagian kan panas juga, nih.”

“Gak usah, Dok. Saya nemenin di sini aja. Gak pa-pa, kok.” Tiba-tiba, wanita itu meletakkan telapak tangan kanannya ke atas punggung tangan milik Cakka.

Bukannya menyambut, lelaki itu buru-buru menarik tangannya dengan halus. Agar tidak terkesan menolak. “Saya beli minum dulu yah, Dok. Permisi...” ujarnya. Kemudian berdiri dari duduknya, dan beranjak ke mini market di seberang jalan.

***

            “Kamu dimana?” tanya Dokter Ify sambil menempelkan handphone keluaran terbarunya ke telinga kiri.

“Masih di rumah sakit Bunda, Dok. Kenapa?” tanya suara berat dari sana, milik Rio.

“Kamu bareng Shilla, kan?”

“Iya. Saya sama dia terus kok dari tadi. Dokter sendiri?”

“Saya juga bareng Cakka. Ini, saya lagi nungguin dia beli minum di pinggir jalan. Mobilnya tiba-tiba mogok,” jawabnya sambil menyeka keringat yang menetes di pelipis kanannya.

“Mogok dimana, Dok? Gak dibawa ke bengkel?” Rio terdengar khawatir.

“Dia udah nelepon bengkel langganannya, kok. Ntar lagi kayaknya mereka 
dateng,” ucap Dokter Ify. “Kamu sendiri lagi ngapain di sana?”

“Saya sama Shilla baru aja selesai makan bakso Mas Tiar di belakang rumah sakit Bunda. Dia kayaknya seneng banget.”

“Trus sekarang dia lagi dimana? Kamu gak lagi di deket dia kan sekarang? Bisa berabe kalo dia denger pembicaraan kita.”

“Enggaklah, Dok. Dia udah masuk ke dalem. Saya masih duduk-duduk di luar, tadi abis ngobrol sama pasien.”

“Ya udah kalo gitu. Kamu terus deketin Shilla, ya! Dokter Cakka juga udah balik dari mini market.”

“Baik, Dok.”

***

            Shilla melepaskan jas dokter yang hampir seharian ini melekat di tubuh mungilnya. Jam di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun cakka belum juga muncul.

Bukannya tadi dia bilang cuma ke kampus? Tapi kok belum balik sampe sekarang? batinnya. Tak mau menunggu lama, ia memilih menelepon tunangannya tersebut.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada–”

Klik! Perempuan itu langsung menekan gambar telepon berwarna merah pada layar ponsel touch screen miliknya. Cakka kemana, sih? Bisa-bisanya ngebiarin handphone nonaktif pas lagi dibutuhin. Ck!

“Kenapa, Shill?”

Shilla menoleh. Lalu menemukan Rio sudah berdiri di sebelahnya. Masih lengkap dengan jas dokter dan diktat tebal. “Ini, abis nelepon Dokter Cakka. Tapi nomornya gak aktif.”

“Emang udah mau pulang?”

Perempuan dengan rambut lepek dan wajah yang mulai kusam karena seharian sibuk menangani pasien itu hanya mengangguk dengan bibir manyun.

“Bareng aja, yuk!” ajak Rio.

“Ciyus?” Wajah Shilla berubah ceria. “Eh, maksudnya... serius?”

Rio tertawa lepas. Kemudian mengangguk.

***

            Shilla keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambut hitamnya yang agak ikal. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam dan baru setengah jam yang lalu ia sampai di rumah. Semakin hari, kemacetan semakin merajalela menguasai harinya.

Tok! Tok! Tok!

“Siapa?” sorak perempuan itu dari balik pintu kamarnya. Ayah dan Ibu belum pulang dari rumah sakit sejak mereka berangkat keesokan hari setelah membicarakan masalah pernikahan. Sedangkan Cakka juga tidak ada di rumah saat ia tiba.

“Aku. Kamu udah balik?” suara Cakka.

Shilla pun langsung memutar kunci kamarnya. Berbagai macam kalimat gerutu sudah siap meluncur dari bibir mungilnya.

Pintu terbuka. Cakka berdiri di depan sana. Raut wajahnya terlihat... “KAMU DARIMANA AJA, SIH? AKU TUH CAPEK NYARIIN KAMU DI RUMAH SAKIT!” bentaknya, sebelum perempuan itu sempat membuka mulut.

“Aku–”

“Kamu harusnya mikir gimana paniknya aku pas kamu gak ada di rumah sakit. Aku keliling nyari kamu, aku nanya keberadaan kamu sama semua orang yang aku liat. Tapi apa? Gak ada yang liat kamu. Kamu mikir gak, sih?”

“Aku–”

“Seharian ini tuh aku udah capek banget sama kerjaan di rumah sakit sama kampus. Apa kamu gak kasian sama aku? Kenapa kamu malah nambah-nambahin, sih? Aku capek, tau! Aku–”

“STOP!” seru Shilla. Telinganya hampir panas mendengar teriakan demi teriakan Cakka di depan wajahnya. “KAMU PIKIR AKU MAU NINGGALIN KAMU GITU AJA? AKU JUGA CAPEK! KAMU PIKIR SEHARIAN NANGANIN PASIEN ITU GAK CAPEK, HAH? AKU UDAH HAMPIR PINGSAN NUNGGUIN KAMU DI RUMAH SAKIT, DAN KAMU MALAH KEMANA? HANDPHONE KAMU GAK AKTIF! TRUS KAMU PIKIR, AKU MAU NUNGGUIN KAMU YANG GAK JELAS ADA DIMANA SEMENTARA BADANKU UDAH LEMES BANGET? KAMU YANG HARUSNYA MIKIR!”

Cakka terdiam. Lalu, “Handphone-ku emang lowbatt. Tapi seenggaknya kamu nungguin aku. Atau minta tolong sama receptionist rumah sakit buat nyampein kalo kamu udah pulang duluan. Easy, right?”

“Aku udah terlalu capek buat mikirin hal lain. Yang aku pikirin cuma rumah, mandi, dan tidur. Enough.”

“Kamu gak bisa nungguin aku bentar aja? Aku gak mungkin gak jemput kamu.”

“Iya! Iya! Aku salah! Puas?” tandas Shilla, kemudian berbalik dan berniat masuk kamar.

Cakka kontan mencekal tangan kanannya sebelum sempat melangkah.

“What else, hah?”

“Kamu... pulang sama siapa?” tanya Cakka, dengan nada menghakimi.

“Rio,” jawabnya, malas-malasan.

“Apa?” teriak Cakka lagi. “Jadi kamu ninggalin aku pulang dari rumah sakit karna kamu pulang bareng Rio? Iya?”

“Kamu kenapa, sih? Apa masalahnya? Aku cuma pulang bareng, kok. Gak lebih.” Shilla membela diri.

“Iya, tapi seenggaknya kamu ngomong sama aku dulu.”

“Gimana mau ngomong sama kamu kalo handphone kamu aja gak aktif? Lagian, aku gak mungkin pulang bareng Rio kalo tadi kamu gak jelas banget ada dimana.”

“Aku kan udah bilang, aku gak mungkin ngebiarin kamu sendirian di rumah sakit. Aku masih punya tanggung jawab, kali!”

“Udahlah, sampe kapan sih kita berantem gini? Adu urat kayak tarzan di rumah ini? Hah?” tanya Shilla, putus asa.

“Aku gak mau kita berantem. Aku cuma nanya, kenapa pikiran kamu sedangkal itu buat pulang bareng laki-laki lain, sementara kamu sendiri punya tunangan?”

“Dangkal? Kamu bilang dangkal? Jadi kamu pikir... Aku bego, gitu?” Bahu Shilla sudah naik-turun meredam emosi.

“Siapa yang bilang? Aku cuma–”

“Kamu pikir aku gak sakit hati pas denger kamu mau ke kampus bareng Dokter Ify tadi siang? Hah?” balas Shilla. “Aku gak rela, Kka! Biar gimanapun, kamu itu tunangan aku. Oke, aku emang gak inget apa-apa tentang kamu. Tapi seenggaknya kamu ngertiin perasaan aku. Aku ini perempuan. Perempuan mana yang tega ngeliat tunangannya pergi sama perempuan lain? Perempuan yang... lebih cantik dari dia?”

Shilla menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang sudah dialiri kristal bening berwujud air mata yang dengan kurang ajarnya menetes tanpa permisi.

“Shill...” lirih Cakka. Ia menggenggam bahu kanan perempuan itu. Bahu mungil yang bergetar perlahan. Diiringi sesenggukan yang berusaha ditahan. “Maafin aku.”

“Hiks...”

“Aku yang salah. Aku emang gak pengertian sama kamu. Aku–”

“Enggak,” potong Shilla, masih diselingi isakan. “Bukan kamu yang salah. Tapi kita.”

“Kita?”

“Iya, kita.” Shilla mengangkat dagunya tepat di depan wajah Caka. “Kita yang sedang menyalahi takdir. Kita yang sedang memaksakan kehendak karna status yang sudah terlanjur terjadi. Tunangan...”

“Maksud kamu?” Dahi lelaki itu semakin berkerut. Tidak mengerti.

“Kita sebaiknya ngebatalin pertunangan ini. Karna kayaknya... Kita gak jodoh.”

*TBC*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Remember Me #1 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi TUNANGAN? Karena cinta... Tidak akan pernah saling melupakan. Shilla keluar dari gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.             Tiba-tiba, seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja turun dari mobil silver langsung menghampirinya.             “SURPRISEEEEE!!!” sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya. Tepat di hadapan Shilla.             Shilla menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh dengan tingkah lelaki tersebut.  ...

Remember Me #9 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi “Kamu ngomong apa, sih?” sorak Cakka, meluapkan emosinya. Seharian ini ia sudah dibuat stress gara-gara masalah rumah sakit, kampus, mobil mogok, Shilla tiba-tiba menghilang dan pulang bersama Rio, sekarang apa lagi? Perempuan itu membatalkan pertunangan? Apa tidak cukup masalahnya seharian ini? “Pertunangan ini gak bisa aku lanjutin lagi,” balas Shilla. “Maafin aku selama ini.” “Shilla, please... Kamu kenapa? Oke, aku minta maaf. Kamu boleh nyuruh aku apa aja. Kamu boleh mukul aku sampe babak belur sekalipun, tapi kamu jangan mutusin sesuatu dengan gampang!” Cakka membekap kepalanya sendiri. Membuat rambutnya yang sudah menutupi telinga jadi berantakan. Perempuan itu terdiam. “Asal kamu tau, kita udah tunangan enam tahun ini. Kamu pikir gampang memutuskan semuanya dalam waktu beberapa menit aja? Hah?” seru Cakka, frustasi. “Aku gak inget apapun tentang kamu.” “Iya, aku tau! Trus kamu pikir aku bakal nerima keputusan ka...

Remember Me #ENDING Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi             Rio menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Ngel... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Shilla langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!” Angel semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Shilla. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini. Hiks...” Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which is sembilan tahun yang lalu,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Shilla biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.” Perempuan berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi. “Rio bener, Ngel. Shilla butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Cakka ikut menatap na...