Oleh
TUNANGAN?
Karena
cinta... Tidak akan pernah saling melupakan.
Shilla keluar dari
gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah
menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa
menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.
Tiba-tiba, seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja
kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja
turun dari mobil silver langsung menghampirinya.
“SURPRISEEEEE!!!” sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan
kedua tangannya. Tepat di hadapan Shilla.
Shilla menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh
dengan tingkah lelaki tersebut.
Si lelaki melepaskan kacamata bening yang tadi ia pakai. Dahinya ikut berkerut.
“Kamu... Shilla, kan? Atau aku salah orang, ya?” Ia mulai ragu. Walaupun hati
kecilnya menampik kemungkinan tersebut. Mana mungkin ia bisa melupakan wajah
perempuan itu?
“Gue emang Shilla. Trus, lo siapa? Emangnya kita pernah kenal, ya?” balas
Shilla. Matanya mengamati lelaki yang sekarang berdiri di depannya. Mencoba
mengingat-ingat. Tapi tidak berhasil.
Lelaki itu memakai kacamatanya kembali. “Jangan becanda deh, Shill! Aku ini
Cakka. Apa aku makin ganteng sampe kamu jadi lupa sama tunangan kamu ini?
Gitu?” ujarnya, berniat bercanda seraya tersenyum lebar.
Mata Shilla membulat. Lalu menggeleng perlahan. Dahinya semakin berlipat-lipat.
“Elo tuh yang becanda! Gimana bisa lo jadi tunangan gue? Kenal aja enggak!”
Deg! Jantung Cakka seakan berhenti berdetak. Perasaannya jadi tidak enak. Dan
sekarang, ia hanya bisa berdiri mematung di tempatnya. Menatap Shilla. Tidak
percaya dengan apa yang baru saja diucapkan tunangannya tersebut.
***
Tunangan? Haha... Shilla menggelengkan kepalanya berkali-kali sambil
melangkah memasuki rumah. Terlalu banyak hal yang membuatnya letih hari ini.
Sesekali, ia memijat dahinya sendiri dengan tangan kiri. Sedangkan tangan
kanannya masih memegang beberapa buku yang dibawanya dari kampus tadi.
“Kamu sudah pulang, Nak?” sapa Ayah. Beliau sedang duduk di sofa ruang tengah.
Menyesap kopi panasnya.
Shilla kontan menghampiri laki-laki paruh baya tersebut. Kemudian mencium
punggung tangan kanannya dengan lesu.
“Kamu kenapa? Kok kayaknya gak semangat banget?” tanya Ayah lembut,
sembari mengelus
puncak kepala putri satu-satunya tersebut.
Ashilla Zahrantiara, putri tunggal keluarga Zaenal yang notabene adalah seorang
dokter ahli bedah terkenal di Indonesia. Ibunya sendiri, Wiwid, merupakan ahli
psikiater anak. Sedangkan Shilla, sedang menyelesaikan studinya di Fakultas
Kedokteran salah satu universitas negeri kota ini. Jadi bisa dikatakan,
keluarga mereka memiliki basic di bidang kedokteran.
Bukannya menjawab,
Shilla malah menyandarkan kepalanya ke bahu sang Ayah. Lalu menghela nafas
panjang. “Capek, Yah...” jawabnya singkat.
Ayah hanya tersenyum. Jemari hangatnya mengelus kepala anak semata wayangnya
tersebut.
“Capek kenapa, sayang?” Ibu muncul dari dapur. Masih mengenakan celemek biru,
pertanda beliau baru saja selesai memasak.
“Banyak tugas, dosen banyak maunya, kunjungan ke rumah sakit, dan ketemu orang
gak jelas,” jawab Shilla. Wajahnya masih ditekuk.
“Orang gak jelas?” tanya Ibu. Beliau bertukar pandang dengan Ayah. Penuh arti.
Shilla cuma mengangguk.
“Ya udah. Kamu istirahat dulu aja. Bentar lagi makan malam,” ucap Ibu, diikuti
anggukan Ayah.
Perempuan berusia dua puluh satu tahun itu mengangguk patuh. “Aku naik ke atas
dulu yah, Bu... Yah...” Ia menciumi pipi kedua orangtuanya bergantian. Lalu
bergegas menaiki tangga, menuju lantai dua rumah. Dengan tas di bahu kanannya
dan setumpuk buku di genggamannya.
Sesampainya di lantai atas, Shilla melirik sejenak ke arah pintu yang terletak
tepat di seberang pintu kamarnya. Tempat kamar tamu berada. Dahinya berkerut
mendapati pintu itu tertutup rapat tanpa kunci yang menggantung di bawah kenopnya.
Tidak seperti biasa.
Baru berencana masuk ke dalam sana, tiba-tiba ia menghentikan langkah. Ngapain,
sih? Palingan tadi Ibu abis beres-beres. Mending aku mandi aja, batin
Shilla. Kemudian
memasuki kamarnya sendiri.
***
Shilla menyandarkan punggung ke kursi yang didudukinya saat ini. Aroma masakan
Ibu mengundang selera. Tanpa diperintah, telunjuk tangan kanannya mencolek
bumbu ayam goreng di atas meja.
“Husss!” Ibu sontak menyentil jemari mungil putrinya tersebut.
Ayah menatapnya sambil geleng-geleng kepala.
Sedangkan yang ditatap hanya mesem-mesem tidak jelas. “Udah laper, Bu... Ayah,
ayo buruan pimpin doa,” ia merajuk.
“Tunggu dulu, Cakka kan belum turun,” balas Ayah. Yang dibalas dengan tatapan
penuh tanya dan dahi berkerut dari Shilla.
Namun belum sempat mengungkapkan keheranannya, sesosok lelaki dengan kaos polos
berwarna biru muda dan celana jeans hitam melangkah menuruni tangga. Lengkap
dengan aroma musk dan senyum lebar.
Shilla memicingkan matanya. Berusaha mengamati wajah itu. Kayaknya aku
pernah liat, deh. Tapi dimana, ya? Ia bertanya-tanya dalam hati.
“Maaf ya, Yah... Bu... Tadi aku mandi dulu. Soalnya gerah banget. Jadi kelamaan,”
ucap lelaki tersebut dengan ekspresi menyesal.
Yah? Bu? Kenapa dia manggil Ayah sama Ibu juga? Emang dia keluarga kami, ya?
Tapi kok aku gak pernah liat sebelumnya, sih? batin Shilla.
“Iya, gak pa-pa, kok.
Kita juga baru ngumpul,” balas Ayah. Beliau menatap istrinya dan sang anak
bergantian. Lalu mendapati wajah putrinya yang melongo hebat.
“Kamu kenapa, Shill?”
tanyanya kemudian.
Shilla mengalihkan pandangannya ke wajah sang Ayah. Kemudian menggeleng pelan.
Walaupun ekspresi menyelidiknya belum berubah.
“Ini Cakka, Nak. Bukannya tadi kalian udah ketemu di kampus, ya?” Ibu ikut
bersuara.
Cakka tersenyum tipis.
Shilla tertegun. Ketemu di kampus? Tadi? Ia kembali mengamati wajah
lelaki bernama Cakka yang masih berdiri di samping Ayahnya saat ini. Sesaat
kemudian, matanya membulat. Ia pun langsung berdiri. “ELO? NGAPAIN LO DI SINI?”
serunya.
“Shilla ! Siapa yang ngajarin kamu teriak-teriak sama orang kayak gitu? Duduk!”
hardik Ayah.
“Tapi, Yah... Dia itu orang gak jelas yang tadi Shila ceritain. Dia ngaku-ngaku
tunangannya Shilla. Gak mungkin, kan? Trus, kenapa sekarang dia ada di sini?”
Shilla tidak terima.
“Shilla... Duduk, sayang.” Ibu menghampiri kursi Shilla. Lalu memegang kedua
pundak anaknya tersebut dan memaksanya duduk. Walaupun dengan halus.
Shilla menurut. Mukanya ditekuk maksimal.
“Duduk, Nak. Kok daritadi berdiri, sih?” tanya Ibu sambil memandangi Cakka dan
kembali ke kursinya di sebelah kiri Ayah.
Cakka mengangguk. Kemudian menarik kursi di sebelah Shilla.
“Eh, ngapain lo duduk di sini? Pindah!” bentak perempuan itu. Tangan mungil
miliknya dengan senang hati mendorong tubuh Cakka menjauh dari kursi di
sampingnya.
“Shilla!” Ayah kembali bersuara. Matanya melotot. Sukses membuat Shilla
bungkam.
“Jangan bentak-bentak Cakka, sayang. Itu gak sopan,” sela Ibu.
“Apa sih salahnya kalo aku mau duduk di sebelah tunanganku sendiri? Bukannya
dari dulu aku selalu duduk di sini?” Cakka yang sedari tadi memilih diam, kini
ikut bersuara. Sembari duduk di sebelah Shilla dengan tenang.
“What?” Shilla kontan shock. “Ayah, Ibu... Liat, deh! Gimana aku gak ngatain
dia orang gak jelas? Masa dia bilang kalo aku tunangannya?” Tangannya menunjuk
wajah Cakka yang duduk di samping kirinya. Penuh emosi.
“Tenang, sayang. Kita makan dulu. Abis makan, kita omongin sama-sama,” balas
Ibu.
“Tapi, Bu–”
“Udah, Shilla. Ayah mau pimpin doa. Bukannya kamu udah lapar?” Ayah angkat
suara.
Cakka tersenyum penuh kemenangan di sampingnya.
Di sebelah kiri lelaki itu, Shilla duduk dengan mata berkilat marah. Bibirnya manyun.
***
“HAH? TUNANGAN?” sorak Shilla. Ia langsung berdiri dari duduknya. “Gak mungkin!
Ibu sama Ayah jangan becanda, deh! Ini bener-bener gak lucu!”
Ibu menghela nafas panjang. “Maafin Ibu, Shill.”
Ayah langsung mengelus pundak Ibu yang berada di dalam rangkulannya.
“Kalo Ibu nurutin kata Ayah buat naik taksi aja waktu itu. Kalo Ibu gak minta
ditemenin sama kamu. Kalo Ibu gak maksa kamu buat bawa mobil. Kalo Ibu gak
nyuruh kamu buru-buru dan nyalip kendaraan di depan kita, Shill. Kalo aja...”
Ibu tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Beliau sudah sesenggukan.
Ayah sontak memeluk
dan membiarkan istrinya tersebut tenang di dalam pelukannya. “Tenang, Bu...
Semuanya udah takdir. Bukannya kita udah ikhlas beberapa tahun yang lalu?”
Shill kembali duduk.
Sesekali, ia memijat kepalanya yang terasa sakit. Lalu menatap Cakka yang duduk
tepat di hadapannya. “Lo siapa?” tanyanya. Entah sudah keberapa kali sejak
mengetahui kenyataan yang sebenarnya dari Ayah dan Ibunya sendiri beberapa
menit yang lalu.
“Shilla, dia itu
tunangan kamu, Nak.” Ayah yang menjawab. Beliau terdengar putus asa.
“Aku gak punya
tunangan, Yah!”
Cakka ikut memijat
kepalanya sejenak. Kemudian berdiri dari duduknya. “Maafin aku. Harusnya aku
bisa nahan diri buat gak muncul di depan Shilla secepat ini,” ucapnya. “Tapi
aku bener-bener gak bisa. Aku terlalu kangen sama dia. Aku bahkan lupa sama
cerita Ayah dan Ibu kalo Shilla hilang ingatan. Aku gak bisa nerima kenyataan
kalo semuanya berubah sesulit ini pas aku lagi jauh sama dia. Harusnya aku gak
kuliah sejauh ini. Harusnya aku selalu ada di deket Shilla dan jagain dia.
Maafin aku, Yah... Bu...”
Shilla semakin
mengerutkan dahinya. Apalagi saat ia lihat Cakka membalikkan tubuh dan
melangkah ke lantai dua. Lalu memasuki kamar tamu tepat di depan kamarnya
dengan letih.
Kini, pandangannya
beralih ke wajah Ayah dan Ibu yang masih duduk di sebelahnya. “Kalo bener dia
itu tunangan aku, kenapa aku cuma gak inget sama dia?” tanyanya menuntut jawaban.
“Ayah juga gak ngerti,
Nak. Yang Ayah tau, dokter bilang kalo kamu cuma lupa sama hal-hal yang selalu
kamu inget waktu itu. Mungkin karna kamu selalu mikirin Cakka, jadi dia yang
kamu lupain,” jelas Ayah.
Shilla lagi-lagi
memijat kepalanya sendiri. “Kenapa selama ini Ayah sama Ibu gak cerita kalo aku
amnesia? Kenapa kalian gak cerita kalo aku udah tunangan? Kenapa kalian gak
pernah nyeritain tentang Cakka sama aku? Kenapaaa?” Nada suara Shilla
meningkat.
“Itu semua juga demi
kesehatan kamu, Shill. Kita gak boleh maksa kamu buat mengingat semuanya. Karna
bukannya kembali, ingatan kamu malah bisa hilang semuanya. Kamu malah bisa
ngelupain kita semua. Ibu dan Ayah gak mau itu semua kejadian, sayang.” Kali
ini, Ibu yang menjawab. Air mata masih mengalir di pipi mulusnya.
Shilla menggeleng
pelan. Kepalanya semakin sakit. Mungkin karena efek dari usaha Cakka dan kedua
orangtuanya untuk mengembalikan ingatannya. Amnesia? Aku pikir ini cuma
penyakit yang ada di sinetron. Ck, kenapa aku jadi sial begini, sih?
“Auw,” ringis Shilla
seraya meremas rambutnya.
“Kamu kenapa, sayang?
Apanya yang sakit? Bilang sama Ibu.” Kontan, Ibu dan Ayah menghampirinya. Wajah
mereka berubah panik.
“Gak pa-pa kok, Bu...
Yah... Kayaknya aku butuh istirahat, deh.” Shilla mencoba tersenyum.
“Ya udah. Sini, Ayah
antar ke kamar,” Ayah membantu Shilla berdiri. Kemudian meletakkan tangan kanan
Fanya melingkari bahu lebar miliknya.
Shilla hanya menurut.
“Shilla,” panggil Ibu
saat melihat putri dan suaminya sudah berada di anak tangga. Menuju lantai
atas.
Shilla dan Ayah
menoleh bersamaan.
“Kamu jangan maksain
diri buat ingat semuanya dulu, ya. Nanti kami bakal nyoba bantuin kamu
pelan-pelan. Ibu gak mau kamu malah lupa sama kami semua, sayang...” sambung
wanita itu. Matanya berkaca-kaca.
Shilla mengangguk.
Lalu tersenyum. Terlalu lelah untuk membalasnya dengan kata-kata.
***
*TBC*
Kakk, versi full baca dimana ya
BalasHapus