Oleh
Cakka langsung kikuk.
Apalagi saat melihat Shilla yang melotot ke arahnya. Aduh, kok aku bisa lupa
sih kalo gak ada pihak kampus yang tau soal hubunganku sama Shilla? Ck!
rutuknya dalam hati.
“Maaf, Dok–”
“Harusnya saya yang
minta maaf.” Cakka buru-buru memotong kalimat Dokter Ify. “Saya sama Shilla
memang sepakat tidak mengumbar masalah pertunangan kami ke pihak kampus.”
“Tunangan?” Lelaki
yang disebut Rio dan Dokter Ify sontak berseru.
Cakka mengangguk.
Shilla memilih
menunduk malu.
“Sejak kapan, Dok?”
tanya Dokter Ify.
“Sejak dia masih kelas
satu SMA,” jawab Cakka, tetap terlihat kalem. Senyum pun tak sirna dari
wajahnya.
“SMA?” Kali ini,
giliran Shilla yang shock.
Dokter Ify dan Rio
saling bertukar pandang. Lalu mengalihkan tatapannya ke arah Cakka. Menuntut
penjelasan.
“Ceritanya panjang.
Shilla amnesia dan dia cuma lupa sama saya.”
***
“Aku suka sama dia. Dia lucu, suka senyum, ramah. Pokoknya aku suka semua
tentang dia.” Shilla menatap ke satu titik di koridor kelas XII IPA. Sosok
lelaki berkemeja putih dan celana kain hitam dengan id-card yang tergantung di
lehernya.
“Kamu mah enak. Dia
kan kenal deket sama keluarga kamu. Jadi kamu bisa curi start dari
perempuan-perempuan lain di sekolah ini,” komentar Dinda, sahabat semasa SMA
Shilla. Perempuan tomboy dengan rambut kuncir kuda yang asal-asalan.
“Iya, sih. Tapi aku
masih malu. Apalagi dia banyak penggemarnya. Aku kan gak secantik
perempuan-perempuan yang selalu ada di deket dia,” balas Shilla sambil menopang
dagunya dengan telapak tangan kanan. Ia sedang duduk di bangku yang terletak di
taman kecil dekat lapangan basket.
Dari kejauhan, sosok
lelaki beralmamater abu-abu tersebut menghampiri Shilla dan Dinda. “Hai, Shill.
Udah makan siang?” sapanya saat sudah berdiri di depan perempuan itu.
Shilla tergagap
sejenak, lalu melirik Dinda. Yang dilirik cuma mengendikkan bahu. Mau tidak
mau, Shilla pun menggeleng.
Lelaki itu mengulurkan
tangan kanannya ke depan Shilla. “Temenin aku makan siang, yuk! Aku laper, tapi
maunya cuma makan sama kamu.” Lalu tanpa persetujuan si empunya, ia langsung
menarik jemari perempuan di hadapannya. Mengabaikan pandangan orang-orang di
sekitar mereka. Baik teman murid SMA tersebut, maupun teman-temannya sesama
mahasiswa yang sedang bersosialisasi di sekolah Shilla.
“Kak Cakka...” lirih
Shilla. Ia melirik tangannya yang digandeng dan beberapa senior yang
dilewatinya.
Lelaki yang dipanggil
Cakka itu pun kontan menghentikan langkah. Kemudian menatap perempuan itu.
Kedua alisnya menyatu.
“Gini, sebenernya, aku
gak laper...”
“Oh, ya udah. Kamu
minum aja. Sekalian temenin aku makan,” jawab Cakka sembari melanjutkan
langkahnya.
“Tapi–”
“Kenapa? Kamu gak mau?
Kamu tega ngebiarin aku makan sendiri di sini? Kamu takut diliat sama pacarmu,
ya?” Cakka berhenti berjalan lagi.
Shilla sontak mengunci
bibirnya rapat-rapat. Lalu menggeleng pelan. Ia menunduk. Menyembunyikan
semburat merah pada wajahnya, sekaligus senyum tipis yang tersungging di bibir
tipisnya karena bertatapan dengan Cakka.
“Ya udah. Yuk!” Lelaki
yang mengenakan name tag dari kampusnya tersebut kembali menarik jemari mungil
Shilla.
Perempuan itu menurut.
Ia ikut berjalan di sebelah Cakka. Menikmati hangat genggaman lelaki itu.
Menikmati rasa hangat yang menjalar di wajahnya. Serta menikmati aura hangat di
dalam hatinya sendiri. Dalam balutan senyum lebar.
***
Shilla membuka matanya perlahan. Kepalanya masih terasa berat. Namun ia
berusaha bangkit. Aku dimana, nih? batinnya. Namun beberapa foto di
dalam ruangan tersebut menyadarkannya bahwa itu adalah kamarnya sendiri.
“Udah bangun?” tegur
seseorang.
Ia kontan menoleh.
Lalu mendapati lelaki yang baru saja muncul di dalam mimpinya sedang duduk di
sana. Tepatnya, sedang duduk bersandar sambil menyelonjorkan kakinya di atas
tempat tidur Shilla.
“Eh, ngapain kamu di
sini?” seru gadis itu. Ia buru-buru mengecek tubuhnya. Masih mengenakan pakaian
tadi pagi. Tidak ada yang kurang. Kecuali kaus kaki dan flat shoes. Juga
peralatan kuliahnya.
“Loh, aku kan
ngejagain kamu, sayang. Aku gak mau kamu bangun dan kaget karna udah ada di
sini,” jawab Cakka, kalem.
“Emangnya kenapa aku
bisa ada di sini? Bukannya tadi kita lagi ngobrol di kampus? Di ruangan kamu?
Bareng Dokter Ify sama Rio, kan?”
“Iya, tapi kamu
tiba-tiba pingsan. Pasti kamu berusaha inget semuanya lagi, kan? Aku harus
ngomong berapa kali, sih? Kamu ini gak usah inget yang macem-macem.” Cakka
mencubiti hidung gadis itu. Gemas.
“Gimana aku gak
berusaha nginget? Aku kaget banget waktu kamu bilang kita udah tunangan sejak
aku SMA. Kok bisa secepat itu, sih? Kok aku bisa mau sama kamu? Emang aku gak
pusing mikirin sekolah? Sampe harus nerima pertunangan secepat itu?”
“Jadi kamu mau aku
ceritain, nih?” Cakka balik bertanya. Ia memperbaiki posisi duduknya menghadap
Shilla.
Yang ditanya langsung
mengangguk kuat-kuat. Seakan melupakan nyeri di kepalanya.
Cakka menghela nafas
panjang. “Jadi gini, kita berdua itu ketemu di acara keluarga. Papa kamu sama
Papa aku sahabat lama. Waktu itu aku udah kuliah kedokteran, sementara kamu
masih kelas satu SMA. Ya udah. Akhirnya kita kenalan, deket, sampe akhirnya
kamu mau tunangan sama aku pas aku harus berangkat ke Aussie dan ngelanjutin
koas di sana.” Ia memulai ceritanya.
“Trus? Aku mau aja,
gitu?” Dahi Shilla berkerut. Tidak percaya.
Cakka mengangguk.
“Emang aku suka sama
kamu?”
Dahi lelaki itu
berkerut. Lalu tertawa geli. “Kamu bahkan cemburuan banget kalo ngeliat ada
perempuan yang ngelirik aku,” jawabnya. “Dan ternyata, cemburuan kamu masih
kronis meskipun kamu amnesia. Buktinya, kamu masih ngambek pas aku ngobrol sama
Dokter Ify.”
Shilla langsung
mencibir. Lalu tiba-tiba, ia mengingat sepotong mimpinya tadi. Mimpi yang
bersetting di SMA-nya dulu. Dan anehnya, ada Cakka di sana. “Kamu pernah ke
sekolahku, gak? Pake almamater abu-abu, kemeja putih sama celana hitam, trus
pake-pake name tag? Kayak sales, gitu?”
Cakka langsung menatap
langit-langit kamar Shilla. Berusaha mengingat-ingat.
“Oh, iya! Pas kamu
masih kelas satu, kan?”
“Kayaknya, sih. Aku
juga udah lupa.”
“Waktu itu aku lagi
ada kunjungan. Kalo gak salah dalam rangka Hari Anti Narkoba, sih. Jadi
kampusku ngadain sosialisasi kesehatan tiga hari di sekolah kamu. Dan selama
itu, aku sama kamu terus. Sampe kamu dikatain ganjen sama senior perempuan
kamu. Padahal kan aku yang sering minta ditemenin kamu.”
Shilla
manggut-manggut.
“Kok kamu tau kalo aku
pernah ke sekolah kamu?” tanya Cakka.
Gadis yang tadinya
ngobrol sambil berbaring itu langsung beringsut ke atas paha Cakka. Memilih
lebih dekat dengan lelaki yang mengaku tunangannya itu. “Tadi aku mimpi. Kamu
ke sekolahku, aku lagi ngobrol sama Dinda, trus kamu tiba-tiba dateng dan
ngajak makan siang di kantin. Gitulah pokoknya. Aku juga gak ngerti.”
“Serius?” Lelaki
ber-polo shirt tersebut langsung mendekatkan tubuhnya pada Shilla.
“Iya. Ngapain aku
bohong?”
“Kamu pernah mimpi
kayak gitu juga gak sebelumnya?”
Shilla menggeleng
pelan. “Baru sekali ini. Anehnya, aku ngerasa mimpi yang tadi itu nyata banget.
Mungkin karna emang pernah kejadian?”
Cakka mengalihkan
pandangannya pada jendela yang lumayan besar di sana. “Mungkin juga. Siapa tau
ini salah satu tanda ingatan kamu udah mulai pulih.”
“Gitu, ya?” Mata
Shilla berbinar cerah.
“Iya, insya Allah...”
balas lelaki itu seraya menatap tunangannya. Ikut tersenyum penuh kebahagiaan.
Lalu mengelus kepala gadis yang berbaring di atas pahanya itu.
***
Shilla berjalan meninggalkan ruang administrasi fakultasnya. Surat-surat yang
akan melancarkan proses KKN-nya sudah selesai. Kalau tidak ada halangan, minggu
depan rektor kampusnya akan melepas para mahasiswa yang akan menjalani KKN,
baik di kota ini, luar kota, sampai daerah terpencil. Ia sendiri mendapat
tempat di salah satu rumah sakit ibu dan anak di kota ini.
“Shilla?” Sebuah suara
muncul dari belakang.
Gadis ber-cardigan
merah muda dan jeans hitam tersebut kontan menoleh. Senyumnya merekah saat
menyadari siapa yang memanggilnya barusan. “Hai, Rio!”
Rio terlihat dewasa
pagi itu. Sebenarnya, ia seumuran dengan Shilla. Namun karena ia sempat
mengikuti program pertukaran pelajar saat SMA dulu, ia pun harus terlambat satu
tahun di bawah Shilla. Makanya, saat gadis itu sudah sibuk dengan KKN, Rio
masih sibuk kuliah sekaligus menjadi asisten dosen karena kepintarannya yang di
atas rata-rata.
“Lagi ngurus KKN, ya?
Asik banget yang udah semester enam,” ucap lelaki berjas putih khas dokter
tersebut. Ia duduk di bangku kayu depan ruang administrasi.
Shilla ikut duduk di
sebelahnya. “Iya, nih. Ribet banget,” balasnya. “Kamu lagi ngapain? Gak ada
kuliah?”
“Enggak. Cuma mau ketemu
sama Dokter Cakka. Tapi kata Dokter Ify, dia lagi ngajar.”
Gadis itu
manggut-manggut seraya membentuk bibirnya menyerupai huruf o.
“Gimana kabar kamu?”
Rio membuka pembicaraan setelah hening agak lama.
“Alhamdulillah, sehat.
Kamu sendiri?” Ia balik bertanya.
“Kayak yang kamu
liat,” balas lelaki berkaus hijau itu. “Aku denger, kamu abis kecelakaan, ya?”
Shilla mengangguk
pelan. “Beberapa tahun yang lalu. Kecelakaan mobil sama nyokap.”
“Trus? Nyokap gak
pa-pa, kan?”
“Gak pa-pa, sih. Cuma
aku amnesia. Kamu pasti udah tau kan pas Dokter Cakka nyeritain itu di
ruangannya kemaren?”
“Iya, aku denger. Aku
pikir, amnesia itu cuma ada di sinetron sama novel doang.” Rio tertawa di ujung
kalimatnya.
“Sialan!” Gadis yang
duduk di sampingnya langsung mencubit lengan lelaki itu.
Lalu tertawa bersama.
Tiba-tiba...
“Ehem!”
Shilla dan Rio kontan
menoleh ke arah deheman yang lumayan besar di depan mereka.
“Eh, Dokter Cakka...”
Rio sontak berdiri.
Shilla hanya
menatapnya dengan dahi berkerut.
“Kamu nyari saya? Ada
apa?” tanya Cakka. Nada ketus sangat nampak dalam pertanyaannya. Ditambah
dengan raut yang disetel tegas.
“Ini, Dok. Saya mau
bertanya tentang mata kuliah yang akan saya isi di kelas Dokter,” jawab Rio. Ia
mengacungkan beberapa buku di tangannya.
“Ya sudah. Kita bicara
di ruangan saya,” ujar Cakka. Kedua rahangnya tiba-tiba mengeras. “Kamu ngapain
di sini?” lanjutnya. Ke arah Shilla.
“Abis ngurus
surat-surat KKN-ku. Tapi aku udah mau pulang. Soalnya hari ini aku gak ada
kuliah,” jawab Shilla. Ia berdiri di sebelah Rio. Lalu menyelempangkan tas
putih andalannya. Berniat meninggalkan kampus.
“Aku anter kamu
pulang,” balas Caka. “Kamu mau isi mata kuliah saya seharian ini, kan?” Kali
ini, ia bertanya ke arah lelaki yang berdiri di sebelah tunangannya.
Mau tidak mau, Rio
hanya mengangguk. Kemudian mengikuti Cakka yang sudah berjalan mendahuluinya.
Memasuki ruang jurusan.
Shilla hanya
memandangi kedua lelaki itu dengan dahi berkerut. Lalu kembali duduk di depan
ruang administrasi.
***
“Kamu ngapain ngobrol sama Rio?” tanya Haykal sambil duduk di meja makan.
Siap-siap menyantap makan siang buatan tunangannya sejak Ayah dan Ibu
benar-benar sibuk di rumah sakit dan hampir tidak pernah pulang.
“Emangnya kenapa? Dia
kan temen lamaku. Masa gak boleh ngobrol, sih?” balas Shilla sambil meletakkan
piring berisi nugget ayam di atas meja. Kemudian langsung duduk di samping
lelaki yang sudah berganti pakaian dengan celana pendek coklat dan kaus besar
dengan tulisan ‘The Beatles’ di tengahnya.
“Dia kan mantan kamu,”
ketus Cakka sembari mengansurkan piring kosongnya ke depan Shilla.
Shilla meraihnya. Lalu
menyendokkan nasi ke atas piring putih polos tersebut. “Itu masa lalu, Kka.
Lagian masih cinta anak SMP. Cinta monyet gak jelas.” Ia menambah sesendok
sayur tumis kangkung dan beberapa potong nugget, juga mie goreng.
“Mantan yah tetep
mantan. Cinta itu bisa muncul kapan saja, sayang. Mending kamu menghindar, deh.
Aku gak mau kamu ngasih harapan lagi ke Rio.” Lelaki itu mengambil kembali
piringnya. Kemudian mulai memasukkan sesendok penuh nasi dan lauk ke dalam
mulutnya. Antara lapar dan meluapkan emosi.
“Siapa yang ngasih
harapan, sih? Ngaco!”
“Kamu, tuh.”
“Kamu kali yang ngasih
harapan ke Dokter Ify!” Emosi Shilla mulai terpancing.
“Kok malah aku? Kita
ini lagi bicarain kamu sama Rio. Gak ada sangkut-pautnya ke orang lain. Apalagi
Dokter Ify.”
“Apa bedanya? Kamu
juga sering banget ngobrol sama Dokter Ify. Kok aku gak boleh? Egois banget,
sih!” Gadis yang mengenakan terusan selutut bergambar shincan tersebut
menunjuk-nunjuk Cakka dengan sendok di tangan kanannya. Saking emosi.
“Aku sama Dokter Ify
kan ngomongin masalah kampus, masalah rumah sakit juga. Kamu sama Rio apa?
Palingan cuma hal-hal gak penting aja. Iya, kan?”
“Apa bedanya, coba? Sama
aja judulnya ngobrol!”
“Aku sama Dokter Ify–”
“Alah, ngeles mulu!
Bilang aja kalo kamu mau leluasa ngobrol sama Dokter Ify, tapi aku gak boleh
berhubungan sama rio. Iya, kan? Itu kan mau kamu? Dasar egois!”
“Bukan gitu!
Masalahnya, kalian itu pernah pacaran. Sedangkan aku sama Dokter Ify cuma temen
sesama dokter. Gak lebih, Shilla!”
Deg! Wajah Shilla
langsung tegang. Selama beberapa bulan kehadiran Caka di kehidupannya, baru
kali ini ia mendengar cakka memanggil namanya dengan nada keras.
Cakka baru menyadari
kesalahannya setelah melihat tunangannya tersebut berdiri dari duduknya.
Berniat meninggalkan sepiring penuh makanan miliknya di atas meja. “Maksud
aku... Hm... Kamu...” Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Gue heran, kok gue
bisa-bisanya mau tunangan sama laki-laki tempramental kayak lo, ya? Cemburuan
gak jelas, lagi. Kalo lo gak percaya sama gue, ya udah. Mending pertunangan ini
gak usah dilanjutin!” tandas Shilla. Lalu melangkah –nyaris berlari–
meninggalkan Cakka yang masih bergeming di meja makan.
***
“Sayang, kamu masih marah?” Cakka mengetuk pintu kamar Shilla untuk ke sekian
kalinya. Sudah hampir jam sepuluh malam dan tunangannya itu belum juga keluar
kamar sejak pertengkaran mereka tadi siang.
Tidak ada suara.
Tok!
Tok! Tok! Ia mengetuk pintu dengan tulisan ‘Girls
Only!’ tersebut sekali lagi. “Shilla... Udahan dong marahnya. Aku kan udah
minta maaf daritadi. Aku cuma gak mau perasaan kamu ke dia muncul lagi. Apalagi
kamu kan belum inget apa-apa tentang aku. Emang salah, ya? Aku sayang sama
kamu. Jelas aja aku cemburu.”
Hening.
“Kalo kamu udah gak
marah, aku ada di depan kamar kamu, kok. Gak bakal kemana-mana sampe kamu
keluar dan maafin aku,” tutup Cakka. Ia lalu duduk bersandar pada dinding di
samping pintu kamar Shilla. Meluruskan kedua kakinya sembari melanjutkan
beberapa tugas yang harus ia selesaikan pada laptop di pangkuannya.
***
Sudah jam setengah dua belas malam. Shilla melekatkan telinganya pada daun
pintu. Mencoba mendengar suara dari luar kamarnya. Suara ketikan pada keyboard
laptop dan krasak-krusuk sudah menghilang dari sana. Dia udah tidur kali,
ya? tanyanya dalam hati.
Ia pun memberanikan
membuka knop pintu secara perlahan. Takut menimbulkan bunyi dan membuat sosok
yang dihindarinya itu muncul kembali. Rasa lapar yang menguasai sistem
pencernaannya sudah tidak dapat ditahan lagi. Dan satu-satunya jalan keluar
menuju dapur adalah melalui pintu ini.
Saat pintu kamar
terbuka lebar, suasana gelap langsung menyambutnya. Sepertinya Cakka lupa
menyalakan lampu ruang santai di depan kamar mereka berdua.
“Auw,” ringis Shilla
pelan. Ia nyaris tersandung ketika kaki kanannya menendang sesuatu di samping
pintu kamarnya.
Klik! Ia langsung
menyalakan lampu dengan telunjuk kirinya. Kemudian menemukan sesosok laki-laki
berkaus putih dan celana pendek abu-abu sedang duduk berselonjor sambil
menunduk. Laptop sedang dalam mode sleep di atas pahanya, terlihat dari lampu
merah yang masih berkedip-kedip di bagian bawah.
Shilla berjongkok di
samping tubuh Cakka. Menyadari bahwa lelaki tersebut sedang tertidur pulas.
Kelihatan damai dengan gerakan bahu dan suara nafasnya yang teratur.
Pelan-pelan, ia menutup laptop Cakka. Menaruhnya di lantai, dan menarik
kacamata yang masih melekat di atas hidung tunangannya. Menatap mata teduh yang
sedang dalam posisi terpejam itu. Dengan hidung mancung, bibir tipis, dan
beberapa bulu halus di bawah hidung dan dagunya. Ganteng... batinnya
tanpa sadar.
“Eh, aku mikir apa,
sih? Ck!” gumamnya sembari geleng-geleng kepala. Lalu buru-buru berdiri dan
berniat melanjutkan rencananya ke dapur. Namun tiba-tiba...
Sret! Sebuah tangan
meraih jemarinya. Kemudian menariknya sampai berbalik ke belakang, dan langsung
jatuh ke atas pangkuan lelaki yang sedang duduk di samping kamarnya tersebut.
“Ih, lo apa-apaan,
sih?” Shilla langsung memberontak. Tapi tidak berhasil. Jemari Cakka
menggenggamnya dengan erat.
“Gak bakal aku lepasin
sebelum kamu mau maafin aku,” balas Cakka. Ia sengaja memajukan wajahnya ke
arah Shilla. Mengintimidasi lebih dekat.
“Gak mau! Lo itu
egois! Gue gak mau punya tunangan kayak lo!” Gadis dengan piyama shincan
tersebut masih berusaha mengenyahkan tangan lelaki itu darinya. Sekuat tenaga
dan hasilnya tetap sama. Tenaga Cakka lebih kuat.
“Never. Sebelum
kamu maafin aku. Aku kan udah jelasin alasanku daritadi. Jangan bikin
kata-kataku jadi sia-sia, deh.”
Shilla langsung
manyun. Sebenarnya, ia masih sebal. Bagaimana tidak? Perasaannya pada Rio sudah
terkubur sejak dulu. Apalagi ia dan Rio berpacaran sewaktu mereka berdua masih
kelas 1 SMP. Itupun jadian dan putus dengan tidak jelas. Mungkin karena saat
itu mereka masih sama-sama labil.
“Kok diem? Mau maafin
gak, nih?” tanya Cakka. “Kalo gak mau, aku cium, loh. Mumpung Ayah sama Ibu
belum pulang. Mau?” sambungnya. Lengkap dengan seringai nakal.
Mata Shilla kontan
membulat. Oh, no!
“Diem berarti iya,
kan?” Kali ini, Cakka mengedipkan matanya berulang-ulang.
“Eh, jangan
macem-macem, ya! Lo mau gue teriak? Hah?” ancam gadis itu.
“Emang kamu tega
tunangan kamu dikeroyok tetangga? Ntar kamu dikira punya tunangan yang mesum,
loh...” balas Cakka. Ia terus memajukan wajahnya mendekati wajah Shilla.
“Bukannya lo emang
mesum, ya?” Shilla mencibir sembari tetap berusaha menjauhkan dirinya dari
jamahan tunangannya itu.
cakka cengengesan.
Kruuuk...
Suara barusan
menghentikan cengengesan lelaki tersebut. Matanya langsung menatap lekat ke
arah Shilla. “Itu... tadi...”
“Suara perut gue. Gue
laper banget, tau! Lo sih pake acara nahan-nahan segala!” sungut Shilla.
Bibirnya semakin manyun. Ia memegangi perutnya sendiri.
“Ya ampun, kenapa gak
bilang daritadi, sih? Sana, cepetan makan!” Cakka langsung melepaskan cekalan
lembutnya pada pergelangan tangan Shilla.
Tidak mau membuang
kesempatan, Shilla kontan berniat berdiri. Namun usahanya gagal gara-gara...
CUP!
Cakka kembali
mendaratkan ciuman singkat yang bertahan hampir satu menit di atas bibir tipis
miliknya. Tidak berkembang. Hanya saling menempelkan bibir satu sama lain.
Tanpa lumatan apalagi hal lain yang dilakukan pasangan tunangan pada umumnya.
Shila masih terdiam
sampai Cakka benar-benar bersandar kembali pada dinding dibelakangnya. Lalu
beranjak menuju dapur.
“Sayang, sekalian
bikinin kopi bisa, gak? Aku mau begadang. Masih ada tugas dari kampus yang
belum kelar,” pinta Cakka setengah berteriak. Ia juga ikut berdiri dan
melangkah menuju dapur. Menyusul Shilla.
“Hm...” Gadis itu
hanya berdehem membalasnya. Terlalu sibuk dengan wajan di depannya. Ia berniat
memanaskan sayur kangkung tadi siang.
“Sekalian nemenin aku
begadang, ya! Mau, kan?” Tiba-tiba, Cakka sudah memeluk pinggang Shilla dari
belakang. Sembari membisiknya dengan kalimat tadi. Menciptakan sensasi geli
yang luar biasa di telinganya.
Shilla hanya bisa
mengangguk pelan dengan mata terpejam. Menahan desahannya sekuat tenaga.
“Ya udah. Kalo gitu,
aku tunggu di atas ya, sayang...” Cakka melenggang setelah mengecup daun
telinga tunangannya tersebut.
“Sialan!” rutuk Shilla
kesal. Bisa-bisanya aku masuk perangkap dia. Huh! Dasar! lanjutnya dalam
hati. Kemudian mencomot nugget di atas meja makan.
***
Reff ‘Call Me Maybe’-nya Carley Rae Jepsen memecah keheningan pagi itu.
Shilla mencoba meraih
benda yang seingatnya ia taruh di meja samping tempat tidurnya. Berhasil. “Halo,
assalamu alaikum...” sapanya dengan suara serak. Efek baru bangun tidur.
“Shilla? Kamu dimana,
Nak?” Suara Ibu terdengar.
“Masih di kamar, Bu.
Baru bangun. Ibu ngapain nelfon Shilla pagi-pagi gini?” Ia melirik jam weker di
atas meja. Masih jam setengah lima subuh.
“Perasaan Ibu nelfon
Cakka, deh. Bukan kamu. Tapi kok kamu yang angkat telfonnya, ya?”
Alis Fanya sontak
menyatu. Nelfon Cakka? Ini kan handphone... Cakka? Ia semakin bingung saat
menyadari benda yang sedang digenggamnya adalah smartphone touch screen milik
lelaki itu. Kok bisa ada di kamarku?
Ia cepat-cepat menoleh
ke samping kanannya. Dan... benar saja. Caka berada di sana. Tidur bersamanya.
Dalam satu ranjang. Di dalam kamarnya. “CAKKKAAAAA! NGAPAIN KAMU DI SINI?”
soraknya seraya memukul-mukul lengan kekar tunangannya.
“Hm...” Cakka malah
ngulet. Belum berniat membuka matanya sedikitpun.
“Halo? Shilla? Kamu
kenapa? Cakka kenapa? Kalian gak macem-macem, kan? Suara Ibu terdengar khawatir
di seberang sana.
Shilla kontan
gelagapan. “Anu, Bu... Ini... Cakka... Cakka lagi... Lagi... Lagi...” Ia
berdecak kesal karena tidak bisa menemukan jawaban yang tepat dan tidak membuat
Ibu kena serangan jantung mendadak.
“Siapa?” lirih Cakka,
juga dengan suara yang serak. Ia mencoba meraih Shilla ke dalam pelukannya.
“Ibu nelfon. Dia nanya
kenapa kamu bisa ada di kamarku. Aku jawab apa, nih?” bisik Shilla. Berusaha
sekuat tenaga agar Ibu tidak mendengarnya.
Mata Cakka yang
tadinya masih terpejam, langsung melotot maksimal. Ia buru-buru merebut handphone-nya
dari genggaman Shilla. “Assalamu alaikum, Bu. Kenapa?” tanyanya saat benda itu
sudah menempel di telinga. Mencoba terdengar sebiasa mungkin.
“Cakka, kamu udah
bangun?” tanya Ibu.
“Iya, Bu. Ada apa,
ya?”
“Ibu mau nanya. Kamu
bisa ke rumah sakit sekarang, gak? Ayah mau minta bantuan kamu nanganin
pasiennya. Bisa?”
Cakka melirik jam
dinding berbentuk chasper di kamar Shilla. Sebentar lagi, adzan subuh akan
berkumandang. “Bisa, Bu. Tapi aku mandi dulu. Abis sholat subuh aku ke sana.”
“Ya udah. Makasih yah,
Nak. Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam,”
balas lelaki yang masih mengenakan pakaiannya dari semalam tersebut. Kemudian
kembali meletakkan handphone miliknya ke atas meja.
Shilla menatap lelaki
itu dengan mata berkilat marah. Kedua tangannya ia lipat di depan dada.
“Ngapain kamu di kamarku?”
Cakka menyingkap
selimut yang masih membungkus sebagian tubuhnya. “Semalem kamu ketiduran pas
nemenin aku begadang. Jadi aku gendong kamu ke kamar, deh. Karena aku juga
capek banget, jadi aku udah gak bisa jalan ke kamar lagi. Mending tidur di
sini. Sama kamu.” Ia mengerling nakal ke arah tunangannya.
“Kamu gak ngambil
kesempatan, kan?” tembak Shilla.
Cakka memandangi Shila
sejenak. Tersenyum menggoda. Lalu menjawab,
“Enggak, kok.”
Gadis itu sontak menghela
nafas lega.
“Dikit aja,” sambung
Cakka seraya berlari keluar kamar. Menghindari amukan Shilla.
Buk! Sebuah bantal
melayang bebas dan sukses mengenai kepala lelaki itu sebelum ia menghilang dari
balik pintu kamar.
“SIALAAAAN!” teriak
Shilla meluapkan emosinya.
Sementara tawa puas
Cakka terdengar membahana dari luar sana.
***
Shilla memasuki lorong rumah sakit. Di sampingnya, cakka
berjalan dengan gagah. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya yang
melangkah penuh rasa gamang. Sesekali, ia mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Beberapa suster terlihat sibuk mondar-mandir bersama dokter, dan
ada banyak keluarga pasien di sana-sini. Membuat suasana rumah sakit tersebut
semakin ramai.
“Selamat siang,
Dokter...” sapa sebuah suara yang bahkan sudah dihafal Shilla.
“Siang, Dokter Ify,”
balas Haykal. Ia menjabat tangan dokter cantik itu dengan senyuman hangat.
Ada sesuatu yang
berdesir aneh di dalam dada Shilla saat melihat keduanya. Entah apa. Namun ia
tetap menjabat tangan halus milik Dokter Ify saat wanita itu mengulurkan tangan
ke arahnya.
“Gimana, Shill? Siap
menangani pasien rumah sakit ini?” tanya Dokter Ify. Senyum manis tidak pernah
luntur dari wajah mulusnya.
Shilla melirik Cakka
sesaat. Kemudian menemukan kembali semangatnya saat lelaki berjas putih
tersebut memberinya senyum menenangkan. Sembari mengelus lembut puncak
kepalanya. Ia pun langsung mengangguk ke arah kedua dokter di depannya.
Ia menoleh lagi ke
sekitar. Sepertinya beberapa temannya yang juga menjalani KKN di rumah sakit
Bunda ini sudah datang. Jadi tidah butuh waktu lama lagi untuknya merasakan
tugas sebagai dokter yang sesungguhnya. Walaupun ia ingin menjadi dokter umum
yang mengabdikan diri pada desa terpencil dan memberikan pelayanan kesehatan yang
memadai pada orang-orang tidak mampu, namun rumah sakit ibu dan anak yang
lumayan terkenal ini juga merupakan tempat pembelajaran yang tidak buruk
pastinya.
“Kamu kenapa, sih?”
bisik Cakka saat rombongan mereka memasuki bagian dalam rumah sakit. Ia sengaja
berjalan paling belakang dengan Shilla. Agar mahasiswa yang lain tidak
merasakan keganjilan pada hubungan mereka yang
bertingkah hanya
sebatas ‘dosen-mahasiswi’.
Shilla menggeleng. Ia
memasukkan kedua tangannya pada saku jas dokter yang ia kenakan. “Aku cuma gak
nyangka aja kalo udah KKN gini. Gak kerasa.”
“Kirain kamu beneran
serius gak suka di rumah sakit ibu dan anak ini,” balas Cakka.
“Salah satunya sih
itu. Aku gak terlalu suka suara anak-anak. Bikin sakit kepala,” Shilla
mengerucutkan bibirnya. Apalagi saat melihat seorang anak kecil berlarian
mengelilingi tubuh mungilnya dan tubuh menjulang milik Cakka sambil
tertawa-tawa.
“Bukannya anak kecil
lucu, ya?”
Baru saja ingin
menjawab, semua mata di depannya kontan menoleh. Seakan memintanya untuk bergabung.
Ia pun buru-buru berjalan dan masuk ke dalam
kerumunan
teman-temannya.
Cakka menatap punggung
gadis itu sambil geleng-geleng kepala. Lalu berbelok di ujung koridor rumah
sakit Bunda. Bertemu dengan kepala rumah sakit tersebut.
***
Cakka duduk di sebelah brankar tempat Shilla berbaring sembari memijat kepala
tunangannya itu dengan lembut. “Kamu ini kenapa, sih? Masa cuma gara-gara
ngurusin anak kecil yang kena typus aja kamu sampe pingsan gitu?”
Shilla melirik lelaki
itu, kesal. “Bukan masalah penyakitnya, Kka. Dia tuh iseng banget. Gak berenti
ngomong. Aku lagi serius mau meriksa dia, eh dianya malah gak berenti gerak.
Pake acara narik-narik rambut aku, lagi. Kamu tau kan aku gak suka banget kalo
rambutku berantakan? Apalagi sama anak kecil yang bandelnya naudzubillah gitu.
Amit-amit deh aku punya anak kayak dia,” cerocosnya panjang-lebar. Diakhiri
dengan mengetuk nakas di samping brankar tiga kali.
Cakka tertawa sekilas.
Ia mengusap kepala Shilla penuh rasa sayang. “Dimana-mana, yang namanya anak
kecil itu pasti aktif, sayang. Itu kan waktunya mereka mengeksplorasi bagian di
dalam diri mereka. Aku juga pernah baca di salah satu artikel kesehatan, anak
kecil yang cenderung aktif itu bisa jadi tanda-tanda bahwa anak itu sehat dan
memiliki IQ di atas rata-rata. Keren, kan?”
“Cih!” Shilla mencibir
sesaat. “Pokoknya, aku benci banget sama anak kecil yang nakal. Titik!”
“Anak kecil itu gak
ada yang nakal, sayang. Mereka cuma aktif.” Cakka menegaskan.
“Apapun namanya. Aku
gak suka!”
“Eh, gak boleh gitu.
Kalo ntar kita udah nikah dan punya anak, gimana?”
“Aku bakal ngajarin
mereka biar sopan sama orang yang lebih tua. Supaya mereka bisa kalem dan jaga
sikap. Kayak Mamanya. Mereka gak boleh terlalu dimanjain,” jawab Shilla mantap.
Cakka mengernyitkan
dahinya. “Mamanya kalem? Dari mana, coba? Cerewet gitu...”
“Enak aja! Aku kalem,
tau!” Gadis yang sejak pagi tadi mengenakan kemeja motif tribal dan rok panjang
coklat polos tersebut sontak mencubit lengan sang dokter muda yang ganteng itu.
Cakka langsung
meringis menahan rasa sakit seraya mengelus-elus lengan kanannya yang memerah.
Sedangkan Shilla yang
masih terbaring dengan wajah pucat dan selang infus di tangan kirinya malah
tertawa puas.
Di depan pintu kamar
rawat tersebut, sepasang mata mengawasi mereka berdua.
***
Shilla keluar dari kamar rawatnya setelah menghabiskan satu kantung cairan
infus. Ia menolak menjalani rawat inap karena hal tersebut sudah sering ia
alami jika anemia menyerangnya, atau ketika ia mencoba mengingat kenangan masa
lalunya bersama Cakka.
Saat ia dan Cakka
berbelok di koridor utama rumah sakit Bunda, mata Shilla tanpa sengaja
menangkap sesosok laki-laki yang sangat dikenalnya. Sedang duduk di dekat meja
resepsionis bersama seorang perempuan cantik. Keduanya sama-sama mengenakan jas
dokter. Rio dan Dokter Ify.
Namun Shilla memilih
tidak menggubris. Ia bahkan meneruskan langkahnya tanpa berniat memberi tahu
Cakka bahwa Dokter Ify dan Rio sedang berada di rumah sakit yang sama dan asik
mengobrol.
Tiba-tiba, handphone
Shilla berbunyi. Dering ‘Call Me Maybe’ yang khas miliknya. Tapi kini, sang
tunangan juga ternyata menggunakan ringtone yang sama. Entah apa maksudnya.
***
“Hari ini mereka kayaknya deket banget,” komentar Dokter Ify. Ia mengakhiri
tawanya tepat saat Shilla dan Cakka menghilang di tikungan lobby utama rumah
sakit Bunda.
Rio mengikuti arah
pandangan perempuan cantik tersebut.
“Jadi gimana tawaran
saya? Tertarik?”
Lelaki itu
mengembalikan perhatiannya pada Dokter Ify. “Gak tau deh, Dok. Saya gak tega
sama Shilla. Saya kan maunya dia bahagia. Itu aja.”
“Yakin? Saya malah gak
mau kamu menyesal nantinya. Bukannya cinta juga harus diperjuangkan?”
*TBC*
Komentar
Posting Komentar