Langsung ke konten utama

Remember Me #6 Versi CakShill



***

            “Lo nyari siapa?” tanya Angel saat menyadari gadis di sebelahnya sedang sibuk celingukan di depan pintu ruang jurusan.

“Dokter Kaka. Gue mau nanya gimana KKN gue nanti.”

“Emang lo ada masalah sama rumah sakit tempat lo bakal KKN?” tanya Angel lagi. Ia membuka-buka beberapa map di tangannya.

Shilla menggeleng. “Enggak, sih. Gue cuma mau nanya aja. Soalnya ada beberapa hal yang belum gue ngerti.”

“Nya, ngapain di sini?” Sebuah suara serak muncul di belakang kedua gadis tersebut.

Shilla yang sangat menghafal suara itu kontan menoleh. Senyumnya mengembang. Mengingat bagaimana mereka menghabiskan malam di balkon kamar lelaki itu kemarin. Bertukar senyum, kehangatan, dan rasa nyaman. 
“Nyariin Dokter Kaka. Kamu –eh– Dokter liat?”

Cakka ikut tersenyum. “Dokter Kaka kan lagi ke Jakarta.”

“Hah? Ngapain?”

Lelaki berjas dokter tersebut mengendikkan bahu. “Kalo gak salah denger sih, ada pertemuan sama dokter ahli fisioterapi. Mereka mau ngadain penelitian rutin. Mungkin sampe sebulan atau dua bulan. Emangnya kenapa?”

“Serius?” Shilla langsung menutup mulutnya saat menyadari suaranya yang naik satu oktaf itu memancing perhatian beberapa orang yang berada di sekitar mereka. “Maksud saya, kok mendadak gitu sih, Dok? Besok kan saya sudah mulai KKN di rumah sakit Bunda.”

“Oh, kamu anak bimbingannya Dokter Kaka itu, ya?”

Gadis itu menoleh ke arah Angel sekilas. Lalu mengangguk pelan.

“Dokter Kaka nyerahin keperluan KKN kamu ke saya. Siang nanti kamu temui saya di ruang jurusan. Nanti kita bicarain lagi.”

“Serius?” seru Shilla lagi.

“Buat apa saya bohong, Dek?” balas Cakka. Ia menekankan kata ‘dek’ ke arah Shilla. Membuat gadis itu bergidik geli.

Namun baru berniat membalasnya, sebuah suara muncul lagi di tengah mereka.

“Dokter Cakka, bisa kita bicara sebentar?”

Cakka, Shilla, dan Angel menoleh ke sumber suara yang terletak di belakang tubuh jangkung lelaki itu. Suara milik Dokter Ify.

“Anda ada waktu kan, Dok?” tanyanya lagi. Memecah keheningan yang sempat tercipta.

Cakka melirik Shilla. Seakan meminta persetujuan.

Yang dilirik langsung buang muka.

“Ya udah, Dok. Kami ke kelas dulu. Permisi...” Angel pamit mewakili sahabatnya. Kemudian menggandeng Shilla setelah Dokter Caka dan Dokter Ify mengangguk 
ke arah mereka berdua.

“Lo kenapa, sih? Langsung jutek gitu pas Dokter Ify dateng?” tanya Angel saat ia dan gadis itu sudah hampir sampai di kelas.

“Gak pa-pa,” jawab Shilla sambil duduk di atas kursi kelasnya. Masih tak acuh.

“Aha! Lo cemburu, yaaaa?” tebak Angel. Ia duduk di depan Shilla agar lebih mudah menatap wajah sahabatnya tersebut.

“What? Jangan becanda deh, lo! Gak lucu banget.”

“Buktinya, tadi gue denger lo manggil Dokter Cakka pake aku-kamu. Itu artinya apa, coba?”

“Loh, bukannya kalo di kampus gue emang gak pernah manggil ‘elo’ ke dia? Emangnya gue mau di-skors gara-gara gak sopan sama dosen?” kilah Shilla sambil membuka-buka diktat miliknya.

“Beda, Shill. Lo bahkan senyum ke dia. Pake acara ngobrol, lagi. Biasanya kalo lo ngeliat Dokter Cakka, lo pasti langsung pergi. Lo kan males banget ngomong banyak-banyak sama dia. Nah, tadi?”

“Ih, cerewet banget sih lo!”

Shilla langsung tertawa. “Tapi dugaan gue bener, kan?”

Shilla mendengus sekilas. “Iya. Gue sama dia emang lagi ngelakuin aksi damai. Genjatan senjata.”

“Ciyus? Enelan? Miapah?”

“ANGEL! STOP BERGAUL SAMA ABABIL! NGESELIN, TAU GAK!” sorak Shilla. Ia memang paling benci melihat perkembangan abg jaman sekarang yang katanya minta ditabok banget.

Angel cekikikan sendiri. “Hehe... Maksudnya, lo beneran damai sama Dokter Cakka?”

Shilla mengangguk. Kembali sibuk dengan materi kuliah di dalam diktatnya.

“Kok bisa? Lo gak kesambet malaikat, kan?”

“Sialan lo! Gue musuhan, lo kasian sama Cakka. Sekalinya gue mau damai, lo herannya selangit. Lo maunya apa, sih?”

“Yah, gak gitu maksud gue. Gue kan cuma nanya. Sensi bener lo,” balas gadis dengan kemeja putih dan rok panjang berwarna biru langit tersebut. Rambut sebahunya tergerai tanpa hiasan.

“Gue sama dia emang udah sepakat buat damai. Lagian, gue gak suka ngeladenin dia kalo lagi berantem.” Shilla menerawang. Mengingat saat Cakka memberinya ciuman singkat beberapa waktu lalu.

“Baguslah. Gue ikut seneng. Trus, hubungan kalian gimana?”

“Hm?” Dahi Shilla berkerut.

Angel mengangguk. “Iya, hubungan lo sama Dokter Cakka gimana? Lo udah nerima dia jadi tunangan lo, kan?”

Gadis itu sontak menunduk. Tunangan? batinnya. Apa aku bener-bener siap nerima kenyataan kalo Cakka itu tunanganku? Dia aja bisa akrab gitu sama perempuan lain. Apa hubunganku dan dia sebelumnya baik-baik aja?

“Kok diem, Shill?” tanya Angel. Membuyarkan lamunan Shilla.

“Ah? Enggak, kok. Bisa gak kita ganti topik aja? Gue lagi gak mau bahas masalah ini. Ntar kepala gue sakit lagi. Obatnya kan ada di mobilnya Cakka.”
Mau tidak mau, Angel hanya mengangguk setuju.

***

            “Lo mau kemana? Bukannya lo mau ketemu sama Dokter Cakka?” heran Angel saat melihat sahabatnya itu berjalan ke arah yang berlawanan dengan ruang jurusan fakultas mereka.

“Gue mau pulang. Lagian, gue sama dia kan bisa ketemu di rumah,” jawab gadis yang memakai mini dress selutut tersebut. Cuek.

“Lo masih cemburu sama Dokter Ify, ya?” tebak Angel. Dan untuk ke-sekian kalinya, selalu tepat sasaran.

Shilla bergeming. Ia memilih meneruskan langkah daripada bertemu Cakka yang akan menyeretnya memasuki ruang jurusan atau memaksanya untuk pulang bersama.

Angel pun hanya terdiam. Karena dengan diamnya Shilla, itu berarti ‘iya’.

“Ashilla Zahrantiara!!!” sorak sebuah suara yang sangat dihafal Shilla terdengar. “Kamu mau kemana? Bukannya kamu mau ngobrolin masalah KKN sama saya?”

Deg! Jantung Shilla langsung berdetak dua kali lebih cepat. Menyadari sosok lelaki berkemeja kotak-kotak hitam, celana kain, pantofel, lengkap dengan jas dokter tersebut sudah berdiri di depannya setelah berlari entah darimana.

“Ntar aja. Di rumah.” Shilla membuang pandangannya ke arah lain.

“Tapi aku gak bisa pulang cepet. Ada tugas di rumah sakit, mungkin sampe malem,” balas Cakka.

“Ya udah. Besok aja. Gue lagi pengen pulang cepet. Capek.” Gadis itu langsung menggandeng jemari Angel yang masih berdiri di sampingnya. Berniat meninggalkan Cakka.

“Tunggu dulu, Shill!” Cakka mencekal tangan Shilla yang bebas. “Kamu kenapa, sih? Kok judes gitu ke aku?”

“Aduh, Dok. Ini masih di lingkungan kampus. Dokter jangan megang-megang saya, dong! Saya gak mau ada berita macem-macem.” Shilla berusaha menarik lengannya dari genggaman lelaki tersebut. Namun gagal.

“Aku anter kamu pulang. Yuk!” Cakka menarik tangan tunangannya tanpa persetujuan. Membuat si empunya terhuyung sejenak. Lalu mengikuti langkahnya dengan satu tangan yang masih menggenggam jemari Angel.

“Tapi gue mau pulang bareng Angel!” sorak Shilla. Berusaha menyentakkan tangan kekar tersebut sekuat tenaga.

Di belakangnya, Angel ikut-ikutan nyaris berlari gara-gara insiden tarik-menarik itu. Sambil sesekali meringis menatap tangannya yang digenggam dengan keras oleh sahabatnya.

“Angel ikut di mobil kita,” tandas Cakka. Final.

Membuat Shilla maupun Angel langsung bungkam.

***

            Angel duduk di belakang. Matanya memandangi kedua sosok yang duduk di depan. Seakan melihat kobaran api dari atas kepala Shilla. Dan pusaran angin tornado di atas kepala Cakka. Yang jelas, keduanya sama-sama menyeramkan.

Ya ampuuun, kapan sih gue nyampenya... Ini mobil apa pemakaman? Auranya angker banget. Gak dua kali deh gue naik ke sini. Huh! gumamnya dalam hati.

“Di depan sebelah kiri,” ketus Shilla. Mengistruksikan arah rumah Angel.

“Alhamdulillah...” ujar Angel lega. Sedetik kemudian, ia langsung menutup mulutnya sendiri.

Shilla sontak menoleh ke belakang. Dahinya berkerut. “Kenapa lo?”

“Ah? Enggak. Gak pa-pa, kok!” balasnya sambil cengengesan. “Ya udah. Gue duluan, ya! Makasih, Dok...” Angel buru-buru pamit.

“Oke. Bye!” Shilla menurunkan kaca mobil di sampingnya saat Angel sudah turun dan hendak membuka pagar rumah bergaya minimalis di depannya. Lalu melambaikan tangan.

Cakka hanya tersenyum. Juga ke arah Angel.

“Alhamdulillah, alhamdulillah... Makasih ya Allah...” Angel komat-kamit tidak jelas saat mobil Shilla dan Cakka mulai menjauh. Saking senangnya karena sudah terlepas dari dari belenggu ‘mobil angker’ sang dokter muda.

***

            “Kamu kenapa sih, Shill?” tanya Cakka saat mereka berdua sudah memasuki rumah.

Shilla yang berjalan terlebih dahulu memilih diam. Sama seperti aksinya dalam perjalanan dari kampus ke rumah Angel, bahkan hingga tiba di rumahnya.

“Shill, jawab aku!” Cakka yang baru saja melepas jas dokternya langsung mencekal jemari tunangannya. Antara kesal dan gemas karena sudah tidak diacuhkan sedemikian rupa.

Gadis itu sontak menghentikan langkah. Kemudian menoleh dan menatap Cakka tepat di manik matanya. Dengan pandangan menghujam dan penuh amarah. 
“Gue? Kenapa? Lo ini peka gak, sih?” soraknya. Mencoba meluapkan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun sejak tadi.

“Emang aku kenapa?” Cakka balik bertanya.

“Lo bener-bener bego!” maki Shilla. Ia berusaha menyentakkan tangannya dari cekalan Cakka. Namun tidak berhasil.

“Jelasin aku dulu! Kamu sebenernya kenapa?” Laki-laki itu menuntun Shilla ke sofa di ruang tengah. Walaupun dengan paksa.

Shilla langsung duduk dengan pasrah. Wajah mungil miliknya masih ditekuk. Ia menghindari kontak mata dengan sang tunangan.

“Kalo kamu gak ngomong-ngomong juga, aku gak bakal ngelepas kamu,” ancam Cakka. “Biar kamu gak bisa bikin makalah ilmiah buat mata kuliahku besok. Dan aku bakal hukum kamu dengan sadis. Mau?” lanjutnya.

Berhasil. Shila kontan menoleh dan menatapnya lagi. “Mau lo apa, sih?” balasnya. Masih dengan volume suara yang tinggi dan penekanan keras pada kata ‘lo’.

“Aku cuma tanya, kamu kenapa? Kok tiba-tiba jutek lagi? Bukannya kemaren udah akur, ya?” tanya laki-laki tersebut. Ia tetap menggenggam pergelangan tangan Shilla agar tunangannya itu tidak berniat melarikan diri. Namun sekarang lebih lembut. Mungkin ia juga takut melukai perempuan yang paling dicintainya setelah Ibunya tersebut.

“Gue malah pengen nanya sama lo, gimana caranya kita bisa pacaran? Sampe tunangan, lagi! Sementara lo bisa deket sama perempuan lain! Hah?” emosi Shilla.

Dahi Cakka berkerut untuk beberapa saat. Namun detik kemudian, ia langsung tertawa geli. Cekalannya pada gadis itu pun terlepas. Ia memilih memegangi perutnya sendiri dalam tawa. Sembari geleng-geleng kepala.

“Lo ngetawain gue? Setelah sok tebar pesona sama perempuan lain? Sok ganteng banget, sih!” gerutu Shila sambil mendengus kesal.

“Cuma senyum kali, sayang... Apa salahnya, coba?” balas Cakka. Setelah tawanya reda. Walaupun masih menyisakan sedikit gelak di antara kalimatnya.

“Tau, ah!”

“Ih, kamu cemburu? Wohooo, tunanganku cemburu sama perempuan lain, nih ye... Peningkatan kamu drastis banget kayaknya,” Lelaki itu malah mengusap-usap puncak kepala Shilla penuh sayang. Lalu mencium keningnya.

“Lo apa-apaan! Hah? Abis tebar pesona sama perempuan-perempuan di kampus, lo malah seenaknya nyium gue, gitu? Lo pikir gue juga bakal terpesona sama lo? Idih, jangan harap! Lelaki macem lo tuh banyak! Gue nyari di Tanah Ab–”

CUP!

Shilla membatu.

Cakka tersenyum puas.

“ELO YAH BENER–”

“Apa? Kalo teriak-teriak, artinya mau lagi loh!” Cakka berusaha sekuat tenaga menyembunyikan seringainya.

Dan Shilla hanya bisa mendengus. Memalingkan wajahnya yang menyaingi kepiting rebus gara-gara dicium Cakka beberapa saat yang lalu. Ciuman singkat memang, namun cukup menghangatkan bibir tipis miliknya. Dan merubah detak jantungnya menjadi di atas normal. Hanya gara-gara gesekan bibir Cakka yang sangat memabukkan.

“Kok malah diem? Jangan-jangan malah pengen nambah, lagi!” goda lelaki itu lagi.

“Apaan sih lo!” sungut Shilla. Menyetel ekspresi pura-pura kesal. “Minggir! Gue mau ke kamar,” lanjutnya seraya berdiri dari sofa.

Namun baru berniat beranjak, tangan Shilla langsung dicekal oleh Cakka yang masih dalam posisi duduk. Membuatnya gadis itu kontan berbalik secara paksa. Karena tidak bisa menjaga keseimbangannya akibat ditarik secara paksa, ia malah terjatuh tepat ke dalam pelukan tunangannya.

Cakka merasa di atas angin. Lelaki itu segera melingkarkan tangannya di pinggang Shilla dengan erat. Seakan tak mau melepaskan. Dan memang sangat menikmati keadaan tersebut. Apalagi Ayah dan Ibu Shilla sedang sibuk di rumah sakit. Menciptakan akses untuknya dalam frekuensi yang lebih besar lagi.

Shilla benar-benar membeku sekarang. Ia ingin berteriak minta dilepaskan, tapi lidahnya seakan kelu. Ia ingin membuang pandangannya ke arah lain, tapi tatapan teduh Cakka seakan menguncinya. Ia ingin memberontak, namun aroma Cakka benar-benar membujuknya untuk tetap menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lama mereka bertatapan dalam diam. Seakan sama-sama menggali kenangan. Memunculkan rasa yang semakin membuncah. Meminta kembali diulang menjadi sejarah baru setelah sekian tahun tak ditengok.

“I love you,” lirih Cakka.

Shilla menghirup aroma mint dari nafas lelaki itu, kemudian bergeming lagi.

“Kok diem?” tanya lelaki tersebut. Ia masih setia memeluk pinggang gadis di depannya. Sesuatu yang dulu sering ia lakukan. Sekaligus hal yang paling ingin diulangnya. Duduk berdua, membiarkan Shilla di pangkuannya, sementara ia memeluk pinggang sang tunangan. Lalu gadis itu juga akan melingkarkan kedua tangan ke lehernya dan merebahkan kepala ke dadanya. Bahkan bisa tertidur di sana.

“Aku... Gak tau mau ngomong apa. I just... Don’t understand how to reply it,” jawab Shilla akhirnya.

“Ikutin aja apa yang hati kamu mau.” Cakka tersenyum di ujung kalimatnya. Senyum yang begitu menenangkan.

Hati Shilla berdesir aneh. Detak jantungnya? Tidak usah ditanya. Dalam waktu beberapa menit lagi, mungkin sudah keluar dari dada kirinya saking hebatnya menghentak-hentak.

“Jadi sekarang gimana? Just stay in silence like this?” pancing Cakka. Matanya mengerling nakal, sekaligus menggoda.

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Shilla melengkung. Ia langsung melingkarkan kedua tangannya ke leher lelaki yang sedang memangkunya saat ini. Kemudian merebahkan kepalanya pada dada bidang lelaki tersebut. “Gak tau kenapa, aku pengen begini aja. Kayaknya nyaman, deh. Kebetulan, aku juga lagi ngantuk,” ujarnya seraya menggerakkan tubuh dan kepalanya. Mencari posisi yang nyaman.

Entah bagaimana menggambarkannya, yang jelas Cakka merasa sangat bahagia. Perasaan yang terakhir kali dirasakannya saat mengetahui berita kepulangannya ke Indonesia dan akan mengajar di kelas Shilla.

“Kok diem? Aku boleh kan tidur di sini?” tanya Shilla. Gadis itu mengangkat dagu. Mencoba melihat wajah lelaki yang sedang memangkunya kini.

Cakka mengangguk mantap. Lalu mengelus kepala tunangannya tersebut. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya rindu saat-saat seperti ini. Yah, sesederhana itu.

***

            Shilla sedang mengunyah roti bakar selai coklat buatan Ibu dan susu coklat di depannya sambil membaca-baca diktat di atas meja makan. Mempelajari materi kuis yang akan diadakan Cakka hari ini.

Walaupun mereka sepasang tunangan, namun Cakka sangat menjunjung tinggi keprofesionalan seorang dosen. Begitupun Shilla, ia tidak mungkin mau mengemis pada dosennya tersebut untuk membocorkan soal padanya. Karena ia memang lebih suka menikmati nilai dari usahanya sendiri. Jika sudah mengetahui soal kuisnya terlebih dahulu, ia pasti kehilangan greget saat mengerjakan soal di kelas nanti. Ia tidak mau mendapatkan gelar cuma-cuma, apalagi harus menerapkan segala hasil mata kuliahnya selama ini ke rumah sakit tanpa modal apa-apa.

“Cakka, Shilla...” tegur Ayah. Menghentikan aktifitas keduanya.

Cakka yang sibuk memperbaiki letak dasinya pun langsung mengalihkan pandangan ke arah calon mertua yang duduk di ujung meja seorang diri.

“Mungkin untuk beberapa hari ke depan, Ayah sama Ibu bakal sibuk banget di rumah sakit. Kalian pasti tau kan bagaimana sibuknya orang-orang di sana?” lanjut Ayah. Ketika melihat kedua orang di sisi kirinya mengangguk, beliau kembali berujar, “Jadi mungkin kami bakal nginap di rumah sakit beberapa hari ini. Kalian berdua gak apa-apa kan kalo kami tinggal berdua di rumah?”

Shilla buru-buru meneguk susu coklat untuk membantu menelan roti yang masih di dalam mulutnya. “Loh, kok nginep di rumah sakit? Biasanya kan gak pernah kayak gitu!” protesnya cepat.

“Rumah kita sama rumah sakit tempat Ayah dan Ibu kerja kan jauh banget, sayang. Gimana kalo ada pasien yang harus mendadak dioperasi sama Ayah karena udah sekarat? Gimana kalo ada Ibu yang anaknya kebetulan punya masalah? Kan kasian kalo mereka harus nunggu lama sampe kami sampai di rumah sakit.” Ibu yang menjawab.

“Ayah juga udah kepikiran beli rumah yang dekat dari rumah sakit. Rumah ini nanti ditinggali sama kalian berdua aja kalo udah nikah,” sambung Ayah.

“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Shilla langsung tersedak.

Cakka buru-buru menyodorkannya air putih. Yang segera disambut oleh gadis itu. 
“Makannya hati-hati, dong.” Ia menepuk-nepuk punggung tunangannya tersebut. Berniat membantu meredakan rasa kaget sekaligus mengatasi sedak yang dialami Shilla.

Shilla mengangguk sekilas. Lalu menyingkirkan jemari kiri Cakka dari tubuhnya. 
“Ayah sama Ibu jangan macem-macem, deh. Mana mungkin aku mau tinggal serumah sama Cakka? Cuma berdua, lagi. Ntar apa kata tetangga? Mending aku nginep di rumahnya Angel aja. Lebih aman.”

“Tetangga kita kan udah tau kalo kalian mau nikah. Udah, ah. Kamu di rumah aja. Malah lebih bagus kalo ada Cakka, ada yang ngejagain kamu. Jangan suka nyusahin orang lain, kasian Angel.” Suara Ayah sarat akan ketegasan.

“Tapi, Yah–”

“Ayah sama Ibu mau ke rumah sakit dulu. Kamu sama Caka juga buruan ke kampus. Ini udah jam berapa,” potong lelaki paruh baya tersebut. Seraya menyeka bibirnya dengan tisu, kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan.

Di belakangnya, Ibu melangkah sambil berusaha menyembunyikan senyum.

“Wah, asik nih! Ntar malem enaknya ngapain, ya? Kita kan berduaan doang. Lumayan nih kalo tiba-tiba hujan, ada kamu yang bikin hangat. Eh, atau malah panas ya kalo kita berdua aja?” bisik Cakka tepat di telinga Shilla ketika Ayah dan Ibu sudah berada di teras depan.

Shilla sontak merinding saat merasakan geli karena helaan nafas hangat di telinganya. “Kamu jangan macem-macem, ya!” ancamnya. Ia langsung mencubit perut rata milik tunangannya. Kemudian berlari mengikuti orangtuanya sebelum Cakka kumat lagi.

Cakka meringis sesaat sambil mengelus perutnya. “Sayang, tas sama buku kamu masih di meja makan, nih!” soraknya kemudian.

Gadis berkemeja abu-abu polos dan rok panjang bermotif tribal tersebut sontak menoleh saat ia sudah berdiri di ambang pintu depan. “Kamu bawain aja. Aku tunggu di mobil, ya! Jangan lama-lama! Dosenku yang jam pertama ini rese’ soalnya.” Ia balas bersorak. Kemudian menghilang ke luar rumah.

Cakka geleng-geleng kepala sejenak. Menyadari bahwa ia adalah dosen yang akan mengajar di kelas Shilla pada jam pertama hari ini. Juga sapaan yang digunakannya tadi. Aku-kamu.

Semoga kamu cepet inget semuanya, Shill. Gak bakal ada kata capek buat bikin kamu inget semua tentang aku lagi. Dan semua tentang kita, tentunya... gumam Cakka dalam hati. Sembari berjalan menuju pintu dengan menenteng tas slempang dan diktat milik tunangannya.

***

            “Kamu suka lagu apa?” tanya Shilla sambil memilih-milih beberapa CD di dashboard mobil Cakka. Ia baru menyadari bahwa lelaki itu memiliki selera musik yang modern dibanding Ayah. Ada CD Secondhand Serenade, David Cook, Maroon 5, Ten 2 Five, Bruno Mars, dan beberapa album lagu jazz.

“Kok keliatannya kamu romantis banget, sih?” Gadis itu mencibir sejenak.

Cakka menoleh ke arahnya saat lampu lalu lintas berubah merah. “Itu semua kan CD favorit kamu. Punyaku cuma yang Secondhand Serenade doang. Itupun gak pernah aku putar lama-lama. Kamu gak terlalu suka soalnya.”

“Beneran?” Mata Shilla berbinar. Ia menyadari bahwa lagu dari penyanyi-penyanyi tersebut adalah kesukaannya. Namun ia pikir, Cakka juga seromantis dirinya. Ia lalu mengeluarkan sekeping CD Ten 2 Five. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di dalam mobil lelaki itu. Lalu menekan tombol 5 di layar sentuh tersebut.

I thought this would be the end of my life
when you told me you're no longer in love with me
I thought the sun would never arise again
when you told me everything was over

            Deg! Cakka langsung shock saat mendengar Shilla menyenandungkan bait pertama lagu itu. Tidak dengan suara yang besar memang, namun cukup membuat jantungnya berdebar tak karuan.

            Ciiiiit!

“Auw!” ringis Shilla. Ia menggenggam seatbelt erat-erat. Jika saja tali pengaman tersebut tidak terpasang, mungkin dadanya sudah membentur dashboard. “Kamu ngapain sih ngerem mendadak gini? Aku kaget, tau!”

“Sorry,” lirih Cakka. Ia kembali menginjak pedal gas perlahan. Pikirannya buyar.

“Kamu kenapa, sih?” Gadis itu memiringkan tubuhnya ke arah lelaki yang duduk di sebelahnya. Penuh rasa penasaran.

Cause my world is full with you
And my world is full with you
Cause my world is full with you
And my world is full with you

            Hening sesaat. Ten 2 Five menghabiskan reff lagu ‘my world is full with you’ miliknya.

“Kamu suka lagu ini?” tanya Cakka akhirnya. Mereka kembali berhenti karena isyarat lampu lalu lintas. Sepertinya mitos bahwa jika kita bertemu dengan lampu merah satu kali, maka lampu lalu lintas selanjutnya juga akan merah itu benar.

Shilla mengembalikan posisi duduknya. “Iya, aku suka. Suka banget, malah.”

And even though we're not together once again
And I found emptiness living without you
It feels so hard to let you go

            “Emangnya kenapa?” Shilla kembali bertanya saat menyadari Cakka masih memilih diam.

“Karena aku cemburu,” balas lelaki yang pagi itu mengenakan kemeja biru muda dan celana katun biru tua. Tak lupa kacamata bening membingkai mata teduhnya.

“Cemburu... Buat?” Dahi Shilla sukses berkerut.

“Karena kamu bahkan gak ngelupain lagu favorit yang sering kamu putar di mobilku. Beda sama aku yang susah banget kamu inget.”

Deg! Shilla langsung bungkam.

***

            “Aku gak bisa disuruh nanganin bayi. Kepalaku suka sakit kalo denger mereka nangis,” keluh Shilla.

Cakka yang duduk di sebelahnya sontak mengerutkan dahi. “Kamu ini gimana, sih? Kan kamu yang pilih rumah sakit ibu dan anak ini. Kamu kan tau konsekuensinya gimana. Lagian, anggap aja itung-itung latihan buat jadi ibu.”

“Itu masih lama banget, Kka. Aku aja baru KKN. Belum lagi koas. Jauh banget mikirnya.”

Mereka berdua sedang berada di dalam ruangan Cakka. Ruangan yang ditempati oleh tiga orang dosen yang mengajar mata kuliah Trauma dan Kegawatan. Namun saat ini, ruangan tersebut kosong. Entah kemana dosen-dosen yang lain.

“Ehem...” Sebuah suara deheman muncul dari pintu masuk.
Shilla yang tadinya sibuk mencubit perut Cakka setelah melemparinya kertas pun kontan menghentikan aktifitasnya. Begitupun dengan lelaki dengan wajah menahan sakit tersebut.

“Maaf, Dokter Cakka. Ini, saya datang bersama mahasiswa yang akan menjadi asisten untuk menggantikan Dokter selama proses KKN nanti,” ujar Dokter Ify. Pagi ini ia tampil cantik dengan jas dokter dan long dress berwarna broken white.

“Oh, iya. Silakan masuk,” balas Cakka. Lelaki itu berdiri dari duduknya. Kemudian melangkah ke meja kerjanya yang terletak paling ujung.

Dokter Ify melangkah masuk. Ia tersenyum ke arah Shilla. Senyum manis yang tidak bisa digolongkan basa-basi. Selain cantik dan pintar, ia sepertinya juga sangat ramah dan tulus.

Shilla balas tersenyum. Agak kikuk.

Di belakang Dokter Ify, muncul sesosok lelaki dengan kemeja polos berwarna putih dan celana jeans ketat biru muda. Tangannya menggenggam beberapa map. Sebuah tas punggung memeluknya dari belakang.

“Selamat siang, Dok...” sapa lelaki itu sembari menyodorkan tangannya.

Cakka berdiri. Kemudian ikut menjabat tangan lelaki yang hampir setinggi dirinya itu dengan erat.

“Perkenalkan, saya–”

“Rio?”

Semua mata langsung tertuju pada Shilla. Gadis yang baru saja memotong kalimat lelaki yang sedang berjabatan dengan tunangannya.

“Loh, Shilla? Hai, long time no see...” suara lelaki yang dipanggil Rio itu. Senyum sumringah terbit di bibirnya yang cenderung penuh. Menambah kesan seksi.

Shilla balas tersenyum.

“Kalian kenal?” heran Dokter Ify.

“Dia siapa, sayang?”

Dan kini, semua mata beralih ke Cakka yang baru saja menyelesaikan kalimatnya. Lengkap dengan nada cemburu yang tidak bisa ditutup-tutupi. Hanya karena melihat senyum bahagia tunangannya saat menyebut nama pria lain di hadapannya. 

*TBC*


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Remember Me #1 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi TUNANGAN? Karena cinta... Tidak akan pernah saling melupakan. Shilla keluar dari gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.             Tiba-tiba, seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja turun dari mobil silver langsung menghampirinya.             “SURPRISEEEEE!!!” sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya. Tepat di hadapan Shilla.             Shilla menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh dengan tingkah lelaki tersebut.  ...

Remember Me #9 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi “Kamu ngomong apa, sih?” sorak Cakka, meluapkan emosinya. Seharian ini ia sudah dibuat stress gara-gara masalah rumah sakit, kampus, mobil mogok, Shilla tiba-tiba menghilang dan pulang bersama Rio, sekarang apa lagi? Perempuan itu membatalkan pertunangan? Apa tidak cukup masalahnya seharian ini? “Pertunangan ini gak bisa aku lanjutin lagi,” balas Shilla. “Maafin aku selama ini.” “Shilla, please... Kamu kenapa? Oke, aku minta maaf. Kamu boleh nyuruh aku apa aja. Kamu boleh mukul aku sampe babak belur sekalipun, tapi kamu jangan mutusin sesuatu dengan gampang!” Cakka membekap kepalanya sendiri. Membuat rambutnya yang sudah menutupi telinga jadi berantakan. Perempuan itu terdiam. “Asal kamu tau, kita udah tunangan enam tahun ini. Kamu pikir gampang memutuskan semuanya dalam waktu beberapa menit aja? Hah?” seru Cakka, frustasi. “Aku gak inget apapun tentang kamu.” “Iya, aku tau! Trus kamu pikir aku bakal nerima keputusan ka...

Remember Me #ENDING Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi             Rio menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Ngel... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Shilla langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!” Angel semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Shilla. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini. Hiks...” Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which is sembilan tahun yang lalu,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Shilla biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.” Perempuan berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi. “Rio bener, Ngel. Shilla butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Cakka ikut menatap na...