Langsung ke konten utama

Remember Me #5 Versi CakShill



“Kamu nunggu kelamaan, ya?” tanya Cakka saat ia baru saja menyalakan mesin mobil.

Shilla bergeming. Tetap menekan tombol-tombol di handphone-nya bergantian. 
Tanpa memedulikan sosok laki-laki dengan jas dokter di sebelahnya.

“Tadi aku sama Dokter Ify cuma ngobrolin masalah rumah sakit, kok. Gak lebih,” ujar Cakka. Mencoba menjelaskan seraya menyetir mobil ke luar area kampus.

“Gue gak nanya. Lagian gak penting banget, deh.”

Laki-laki tersebut melirik Shilla sekilas. “Kamu gak cemburu, kan?” godanya.

Dan sepertinya tepat sasaran. Karena Shilla langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam. “Ngapain gue cemburu? Kenal lo aja enggak!” balasnya. 
“Jadi terserah lo mau pacaran sama siapa aja. Apalagi Dokter Ify. Gue malah dukung. Kasian dia gak laku dari dulu. Ntar jadi perawan tua, jadi mending lo sama dia aja daripada gangguin hidup gue!”

“Idih, kok sewot gitu sih sayang jawabannya?” Cakka mengerlingkan matanya sambil menoleh ke arah Shilla. Yang sukses membuat gadis itu berlagak mau muntah.

“Lo gak usah banyak ngomong, deh! Nyetir aja. Lo mau bikin gue kecelakaan untuk kedua kalinya?” ucap Shilla seraya kembali menatap layar ponsel miliknya.

Dan Cakka pun tidak bisa menyembunyikan seringai geli dari bibir tipisnya.

***

            “Kita mau kemana, sih?” tanya Shilla saat ia menyadari mobil Cakka membawanya ke arah yang lain dari rumahnya.

“Ke tempat yang pernah jadi kenangan kita, sayang...” jawab cakka, kalem.

“Kenangan? Emang kita punya kenangan? Kenal lo aja enggak.” Gadis itu langsung membuang pandangannya ke luar jendela mobil. Mengamati jalanan yang mereka lewati. Deretan pohon cemara, bau aspal basah akibat hujan, dan suara burung-burung memancingnya untuk membuka jendela tersebut. Yang langsung disambut oleh semilir kesejukan. Menentramkan jiwa.

Cakka hanya bisa tersenyum di sebelahnya.

Tiba-tiba, dahi Shilla berkerut. Ia merasa pernah melewati jalanan ini. Bukan hanya melewati, bahkan menghabiskan waktu di sekitar sini. Tapi saat ia mencoba mengingatnya, sakit kepala itu kembali mendera. “Auw,” ringis gadis itu sembari memijat kepalanya.

Ciiiiiiiitttttt! Cakka kontan mengerem mobil secara mendadak. “Kamu kenapa?” paniknya. Kemudian membantu Shilla memijat kepalanya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya sibuk menjelajahi isi dashboard. Mencari obat pereda sakit kepala milik Shilla yang memang selalu ia bawa.

“Nih, minum dulu...” ucap cakka sambil menyodorkan sebuah obat dan sebotol air mineral dari dalam dashboard.

Shilla menurut. Ia tidak bisa menolak tindakan Cakka kalau itu berhubungan dengan sakit yang sering ia alami pasca kecelakaan beberapa tahun silam. Dan hanya dengan obat itulah ia bisa bertahan menahan rasa sakit yang dideritanya selama ini.

“Udah mendingan?” tanya Cakka. Penuh perhatian.

Shilla mengangguk pelan. Lalu bersandar ke jok mobil. Ia merasa tubuhnya melemah. Hal biasa yang sering ia alami setiap selesai meminum obat tersebut.

“Ya udah.” Cakka langsung menggeser tubuhnya mendekat ke arah Shilla. Melingkarkan tangannya ke sisi kiri gadis itu. Kemudian memasangkan seatbelt pada tubuh tunangannya.

Shilla menatap tingkah Cakka tanpa berkedip. Ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Entah apa itu.

“Kenapa?” tanya Cakka. Menyadari tatapan tunangannya tersebut. Masih dalam posisinya yang sangat dekat. Bahkan, hidung mereka berdua nyaris bersentuhan.

“Enggak,” balas Shilla sambil menunduk. Menghindari tatapan dan deru nafas lelaki itu di wajahnya.

Dahi Cakka berkerut sesaat. Namun, sepertinya ia memilih diam dan memperbaiki posisi duduknya ke semula. Menghadap stir mobil. Lalu menyalakan mesin dan kembali melaju ke pinggiran kota tempat tinggal mereka.

Di sebelahnya, Shilla mulai terlelap.

***

“Hmmm...” Shilla ngulet sejenak saat merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Tidak menyengat seperti yang selalu dirasakannya di rumah. Namun cukup menyilaukan.

“Kamu udah bangun, Nak?” Suara lembut terdengar.

Shilla sontak menoleh. Kemudian memandangi sesosok wanita setengah baya di sebelahnya. Sedang duduk di atas ranjang yang ditiduri Shilla –entah punya siapa–. Ia merasa mengenali wanita berjilbab yang terlihat kalem dengan senyum menentramkan tersebut.

“Kok diem? Kamu juga lupa sama Mama, ya?” tanya wanita itu lagi.

Dahi Shilla berkerut maksimal. Mama? Siapa, ya? Tapi aku emang ngerasa pernah ketemu sih, cuma dimana? Kapan? Duh, masa aku ngelupain orang lain? Bukannya cuma Cakka, kan? batinnya. Eh, si Cakkamana? Aku ada dimana? Perasaan tadi aku pergi bareng dia, deh.

“Cakka lagi ke puskesmas di deket sini,” ujar wanita yang masih duduk di sampingnya tersebut. Mungkin menyadari Shilla yang sedari tadi celingukan tidak jelas.

“Puskesmas?”

“Iya, dia emang sering ke sini seminggu sekali sejak pulang ke Indonesia. Kasian sama puskesmas di dekat kantor kecamatan. Gak ada yang ngurus,” balas wanita tersebut. “Kamu udah makan? Mama baru aja masak buat makan siang kalian berdua. Sebentar lagi Cakka juga udah pulang, kok.”

Shilla berpikir sejenak. Namun saat merasakan perutnya nyeri, ia pun bangkit. Khawatir maag-nya kambuh karena makan siangnya di kantin tadi sempat diganggu oleh Cakka.

“Yuk!” ajak beliau sambil mengulurkan tangannya. Meminta disambut oleh Shilla.

Gadis itu menurut. Menggenggam jemari tersebut, lalu merasakan kelembutan mengaliri saraf-sarafnya seketika. Mereka berdua pun melangkah keluar kamar. Menuju ruang makan.

“Ini, Mama bikinin sup ayam sama udang saus tiram kesukaan kamu. Kamu masih inget, kan? Jangan-jangan kamu juga lupa, lagi.” Wanita itu tersenyum sambil mengangsurkan piring ke arah Shilla.

Shila hanya tersenyum membalasnya. Walaupun ia merasa baru melihat wanita di depannya, namun ia merasa sangat familiar. Dan nyaman. “Aku masih inget makanan kesukaanku kok, Tante.”

“Tante? Panggil Mama aja, sayang. Biasanya juga kamu manggilnya gitu.”

Shilla memilih mengangguk. Kemudian menyendokkan sup ayam ke atas mangkuk dengan sumringah. Di saat-saat perutnya menuntut hak, ia malah dihadapkan pada menu favoritnya.

***

“Mamaaa, assalamu alaikuummm...” sorak Cakka sembari berlari memasuki kediamannya. Sudah tidak sabar melihat keadaan Shilla yang tadi ia tinggalkan bersama sang Mama.

“Wa alaikum salam,” balas Mamanya, kalem.

Lelaki itu langsung menghampiri Mama dan menciumi tangan serta kedua pipinya. Penuh rasa sayang. Kemudian beralih ke Shilla yang duduk di samping kiri sang Mama. Dan anehnya, Shilla seakan pasrah. Tidak menolak apalagi berteriak. Membuatnya tersenyum penuh kemenangan.

“Makannya lahap banget, sayang. Tumben, deh.” Cakka pun duduk di sebelah Shilla.

Shilla tidak menggubris lagi. Ia lebih memilih menikmati sup ayam dan udang saus tiram super lezat di hadapannya.

“Mama seneng deh kamu bawa Shilla ke sini. Mama udah kangen banget sama dia,” ucap Mama. “Ternyata walaupun dia hilang ingatan, dia tetep suka sama masakan Mama.”

Cakka tersenyum setuju. Ia juga terus memandangi Shilla yang terlihat sangat lahap menghabiskan semangkuk sup ayam buatan Mamanya.

Tiba-tiba, Shilla menjatuhkan sendok yang digenggamnya. Sebagai ganti, jemari yang tadi ia pakai kini memegangi kepalanya sendiri. Nyaris menjambak rambutnya kuat-kuat jika Cakka tidak cepat-cepat menarik kedua tangan gadis tersebut. “Sakit, Kka!!!” serunya.

“Iya, iya... Aku tau. Kamu tahan dulu, ya. Aku ambilin obatnya di mobil.” Lelaki itu ikut panik. Lalu langsung berlari keluar rumah. Meninggalkan kedua wanita yang sangat dicintainya di dalam sana.

***

            Cakka melepaskan stetoskop yang menempel di kedua telinganya. Kemudian menghela nafas panjang dan berat. Seakan ikut membuang beban yang selama ini ia pikul. Sejak pulang ke Indonesia dan harus dihadapkan pada kenyataan bahwa tunangannya menderita amnesia –apalagi hanya dia yang dilupakan–, ia benar-benar sangat terpukul.

“Gimana keadaan Shilla, Nak?” tanya Mama, masih dengan raut khawatir sedari tadi.

“Dia gak pa-pa kok, Ma. Cuma stress ringan. Mungkin dia berusaha nginget masa lalunya lagi. Padahal aku udah wanti-wanti jangan terlalu maksain diri kalo gak mau sakit. Dasar kerasa kepala!”

Mama membelai kepala Shilla yang terlelap di atas tempat tidur milik Cakka. 
“Apa ini gara-gara Mama maksa kamu bawa dia ke sini?” tanyanya. Lebih kepada diri sendiri karena ia hanya menatap wajah calon menantunya tersebut.

Cakka ikut duduk di sebelah Mama. “Enggak kok, Ma. Shilla emang kayak gini sejak kedatangan aku. Berarti, aku yang udah bikin dia menderita.”

Mama langsung mengalihkan pandangannya ke arah putra semata wayangnya itu. “Ini semua bukan salah kamu kok, Nak. Ini udah takdir Allah. Dan kamu harus inget, Allah gak pernah ngasih cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.”

***

            Shilla membuka mata saat ia merasa keadaan menjadi sepi. Sebenarnya, ia sudah sadar sejak tadi. Namun ia memilih tetap terpejam sembari mendengarkan percakapan Mama dan anak tersebut.

Sesaat kemudian, pertahanannya runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan sudah mengucur dengan deras. Membuat muara di sepanjang pipi mulus miliknya. 
Dadanya terasa dihimpit bongkahan batu gunung super besar yang menyesakkan.

“Kenapa aku cuma lupa semua hal tentang kamu, Kka? Kenapa? Apa gak ada hal spesial yang pantas aku inget tentang kita?” lirihnya di dalam isakan.

“Asal kamu tau, selama ini aku berusaha cuek sama kamu sebagai bentuk rasa marahku! Yah, aku benci sama diriku sendiri! Aku benci karna aku gak bisa ingat apapun tentang kamu. Kamu, tunanganku!” lanjutnya. Seraya menatap foto ukuran besar di atas tempat tidur Cakka. Foto yang memuat dirinya dan lelaki itu dalam balutan busana formal sambil tersenyum lebar. Dan memamerkan cincin di kedua jari manis tangan mereka. Cincin yang hingga saat ini masih dipakainya. Walaupun ia belum tau apa-apa tentang hubungan mereka di masa lalu.

***

            “Malem ini, kita nginep di rumah Mama. Gak pa-pa, kan?” tanya Cakka sambil mengambil sebuah kaus rumah dan celana pendek jeans dari dalam lemari di dalam kamarnya.

Shilla yang duduk di atas tempat tidur, hanya mengamatinya tanpa balasan apa-apa. Sebagai bentuk persetujuan. Menurutnya, tidak ada salahnya menginap di rumah ini. Mama Cakka sangat baik dan lembut, juga penuh perhatian. Shilla bisa merasakan bahwa wanita paruh baya tersebut sangat menyayanginya.

Tiba-tiba, mata Shilla membelalak melihat pemandangan di depannya. “HEH! NGAPAIN LO GANTI BAJU DI SINI?” soraknya saat melihat Cakka sudah melepaskan kemeja yang tadi ia kenakan.

Caka berbalik dengan alis berkerut. “Emangnya kenapa, sih? Ini kan kamarku, sayang.” Ia lalu melanjutkan membuka kancing celana katun yang melekat di tubuhnya. Menurunkan resleting, dan kontan membuat mata Shilla membulat.

“HUWAAAAAAAAA!!! MAMAAAAAA, CAKKA PORNOOOO!!!” histerisnya sambil berlari tunggang-langgang ke luar kamar sambil menutup wajah. Tak ayal, ia pun menabrak pintu, lemari, dan barang-barang di sekitar kamar Cakka.

“Dasar!” cibir Cakka seraya menanggalkan celana panjang katun tersebut. Memperlihatkan boxer berwarna hitam di baliknya. “Dia pikir aku mau bugil di depan dia, apa?” Ia geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli.

Yang terakhir didengar lelaki itu adalah bunyi “Buk! Duk! Praaang!” Kemudian diikuti suara mengaduh dari Shilla. Kontan membuatnya berlari ke luar dengan tergesa-gesa.

“Kamu kenapa?” tanyanya panik saat menemukan kaki kiri tunangannya tersebut sudah berlumuran darah. Di sekitar gadis itu, berserakan pecahan guci yang terletak di samping pintu kamarnya.

“Gucinya... Pecah... Hiks... Sakit...” ringis Shilla. Ia menangis sambil memegangi kakinya.

“Tunggu di sini! Aku ambil kotak P3K dulu. Tahan, ya!” Cakka segera berlari ke ruang tengah. Tempat kotak berisi obat-obatan tersebut berada.

Dengan sigap, ia kembali menghampiri Cakka. Tanpa banyak bicara, ia menggendong gadis itu. Membawanya ke sofa terdekat. Di atas meja, sudah ada kotak P3K yang tadi diambilnya.

“Pelan-pelan, itu sakit banget... Hiks...” pinta Shilla. Ia sesenggukan menahan rasa sakit di pergelangan kakinya.

Cakka terus mengusap luka tersebut dengan kapas yang sudah diolesi alkohol. Tidak memedulikan rengekan tunangannya.

“Cakka, sakit...” keluh Shilla lagi. Air mata terus membasahi wajahnya.

“Bawel! Siapa suruh sih lari-larian gak jelas gitu? Kayak anak kecil aja!” balas Cakka sembari membalut pergelangan kaki kiri Shilla yang terkena pecahan guci akibat insiden ‘melarikan diri’ yang ia lakukan tadi. Nyaris membentak. Masih mengenakan boxer hitam dan bertelanjang dada.

“Elo tuh, ngapain buka-buka baju di depan gue? Lo mau bikin gue bintitan? Lo mau bikin mata gue terkontaminasi gara-gara otak lo yang mesum itu?” Shilla tidak terima. Bibirnya manyun menunggui lelaki itu selesai membersihkan dan mengobati kakinya.

“Siapa yang mesum, sih? Kamu aja tuh yang mikirin jorok mulu.”

“Heh? Enak aja!” Shilla langsung menjambak rambut Cakka yang sudah tumbuh menutupi telinganya.

“Adaw!” ringis lelaki itu sambil mengelus kepalanya sendiri. “Jahat banget sih sama tunangannya...”

“Tunangan?”

“Kenal lo aja enggak!”

Baru saja Shilla menarik nafas untuk melanjutkan kalimatnya, Cakka sudah mendahului.

“Kamu mau ngomong kayak gitu, kan? Aku bahkan udah hafal di luar kepala,” balas Cakka. Ia lalu mengelus perban yang membalut kaki gadis di depannya. Meneliti, apakah perban tersebut sudah melekat sempurna dan tidak menimbulkan infeksi. “Darahnya udah gak keluar, nih. Kamu jangan lari-lari gak jelas dulu, ntar lukanya melebar trus malah infeksi. Aku mau ke kamar, ganti baju sekalian meriksa dokumen dari puskesmas tadi pagi.”

Shilla bergeming. Menatap punggung lelaki yang baru saja meninggalkannya di atas sofa ruang tengah. Tiba-tiba, ia merasakan ada yang bergetar di hatinya. Entah apa itu.

“Gimana kakinya, sayang? Masih sakit, gak?” Mama Cakka muncul dari arah dapur. Kemudian ikut duduk di sebelah Shilla.

Gadis itu tersenyum tipis. Lalu memegang kakinya yang masih terasa nyeri bila digerakkan. Sepertinya pecahan guci yang tadi menggores kaki mungilnya sudah mengakibatkan luka yang lumayan lebar. “Udah lumayan kok, Ma. Oh iya, maafin Shilla, ya. Shilla gak sengaja mecahin guci Mama.”

Mama mengelus puncak kepala Shilla. “Gak pa-pa kok, sayang. Yang penting kamu gak kenapa-kenapa.”

Gadis berkaus merah muda dan celana pendek krem tersebut tersenyum manis. Entah mengapa, ia bisa merasakan aura keibuan yang sangat kental dari sosok Mama Cakka. Sama seperti yang ia rasakan setiap mengingat ibunya. Dan ia pun tidak ragu memanggil beliau dengan sebutan Mama, seperti yang beliau minta. Berbeda dengan saat ia bertemu Cakka. Hingga sekarang, ia bahkan masih memanggil lelaki itu dengan sebutan ‘elo’ daripada ‘kamu’.

“Tadi Ibu kamu nelfon. Mama udah cerita kalo kaki kamu kena pecahan guci. Dia khawatir banget. Sampe mau nyusulin ke sini segala,” cerita Mama.

“Ya ampuuun, kok Mama ngasih tau Ibu, sih? Ibu kan emang panikan banget.”
Mama tersenyum. “Kalo gak panik yah gak sayang, dong. Cakka aja tadi kayak cacing kepanasan pas liat kamu berdarah.”

Shilla tersentak. Ia baru menyadari tingkah lelaki itu. Raut wajahnya saat melihat Shilla terluka. Suara bernada paniknya. Ia yang lari tergesa-gesa mengambil kotak obat. Ia yang menggendongnya ke sofa. Ia yang memarahinya karena lari-larian tidak jelas. Ia yang membersihkan dan membalut lukanya. Ia... Cakka.

Tiba-tiba, Shilla menangis. Lagi.

“Kamu kenapa, sayang? Lukanya sakit lagi? Atau kepala kamu? Perlu Mama ambilin obat?” cemas wanita tersebut.

“Enggak kok, Ma. Hiks... Aku cuma sedih. Hiks...” Bahu Shilla berguncang. Mengeluarkan isakannya.

“Sedih kenapa, sayang? Sini, sama Mama...” Beliau membuka kedua tangannya.

Sontak, Shilla langsung menghambur ke dalam pelukan Mama. Tangisnya semakin menjadi. “Aku sedih, Ma... Aku gak bisa inget apa-apa tentang Cakka. Aku udah nyusahin dia. Maafin aku, Ma. Hiks...”

Mama mengelus punggung Shilla. Mencoba menenangkan. “Kamu gak salah kok, sayang. Ini semua kan bukan mau kamu. Mungkin udah takdir-Nya. Kamu tau kan kalo segala sesuatu itu terjadi karena sebuah alasan yang baik?”

Shilla mendongak untuk melihat wajah Mama. Lalu mengangguk lemah.

“Seperti juga kejadian ini, sayang. Mama yakin, Allah pasti lagi nguji kamu. Kamu juga tau kan kalo Allah gak akan ngasih cobaan yang di luar kemampuan hamba-Nya?”

Lagi-lagi, Shilla mengangguk.

“Ya udah. Kalo gitu, kamu jangan sedih lagi. Semua ini pasti ada hikmahnya, kok. Segala sesuatu itu kan akan indah pada waktunya, sayang.” Kali ini, beliau mengusap kepala gadis itu.

Diam-diam, Shilla
 menghela nafas panjang. Membuang segala beban yang menghimpit dadanya. Kemudian tersenyum lebar.


***

            Shilla melangkah memasuki kamar Cakka. Kaki kirinya ia seret sekuat tenaga agar bisa berjalan sehingga menimbulkan bunyi ‘sreeeet’ dari sendal rumah yang ia pakai. Membuat konsentrasi Cakka buyar dan langsung menoleh.

“Kamu ngapain ke sini?” tanya Cakka. Ia berdiri dan memegangi kedua lengan gadis itu. Memapahnya agar lebih mudah menggerakkan kaki.

“Gue mau ke balkon,” jawab Cakka. Ia tidak menolak saat lelaki tersebut merangkul tubuhnya.

Mereka pun mendekati balkon.

Saat Shilla sudah duduk di atas kursi rotan di balkon, Cakka kembali memasuki kamarnya. Kemudian muncul lagi dengan dua buah jaket tebal di genggaman. 
“Nih... Udara di sini dingin banget. Gak kayak di rumah kamu,” ujarnya sambil memakaikan jaket berwarna coklat muda itu ke tubuh Shilla. Lalu memasang jaket hitam ke tubuhnya sendiri.

Shila bergeming. Ia memejamkan matanya. Merasakan semilir angin malam menerpa wajah dan menerbang-nerbangkan rambut panjangnya. Dingin menusuk.

“Gimana kakinya? Udah sembuh? Kalo belum, kamu jangan maksain terlalu banyak gerak dulu,” ucap Cakka. Memecah keheningan yang sempat memenjarakan mereka berdua.

“Udah agak mendingan, kok. Makasih, ya!” balas Shilla. Ia menoleh dan menatap wajah Cakka. Lelaki yang malam itu terlihat ganteng di bawah terangnya bulan purnama. Dengan kulit putih, hidung mancung, dan bibir tipisnya yang seksi.

“Sama-sama. Itu kan udah kerjaan aku sebagai dokter.” Cakka tersenyum sambil ikut menatap gadis tersebut.

“Dokter sekaligus tunanganku, kan?”

“Heh?” Dahi Cakka berkerut dengan sukses. Baru kali ini ia mendengar Shilla menyebutnya ‘tunangan’. “Kamu gak salah ngomong, kan?” tanyanya. Mencoba meyakinkan diri sendiri.

“Masalah tunangan?” Shilla balik bertanya. Ia memperbaiki duduknya di bangku panjang tersebut.

Cakka mengangguk.

“Aku cuma lagi nyoba inget semuanya.” Shilla menerawang. Memandangi langit yang terang karena cahaya rembulan dan jutaan bintang yang berkedip indah.

Dahi Cakka pasti sudah sangat kusut saat ini. Baru saja ia mendengar kata ‘tunangan’ dari bibir Shilla, sekarang ia mendengar kata baru lagi. ‘Aku’, bukan ‘gue’ yang biasa keluar dari bibir gadis itu saat berbicara padanya.

“Kamu gak usah maksain diri, Shill. Aku gak mau kamu makin parah. Aku gak mau denger teriakan kesakitan kamu. Aku gak mau kamu malah bisa ngelupain semuanya,” balas cakka akhirnya.

Shilla langsung mengalihkan pandangannya dari langit malam ke wajah Cakka. Menatapnya lekat untuk sesaat, lalu bertanya, “Kamu sayang gak sama aku?” tanyanya.

Deg! Jantung Cakka langsung berdetak lebih cepat dari biasanya. Mata itu... Sorot mata yang dulu selalu menghiasi harinya. Bukan sorot benci yang beberapa minggu ini ia lihat. Tanpa diperintah, ia langsung mengangguk.

“Kalo gitu, aku mau minta sesuatu sama kamu,” ujar Shilla. Masih menatap Cakka.

“Apa?”

“Aku minta, kamu bantu aku. Bantu aku inget semuanya tentang kamu.”

Cakka bergeming. Ia masih mencoba mencerna kalimat barusan. Kalimat yang sangat tidak masuk akal jika diucapkan oleh Shilla.

“Kenapa?” suara gadis itu memecah lamunan panjangnya. “Kamu gak mau bantu aku? Kamu mau ngebiarin aku kayak orang bego yang gak tau apa-apa tentang tunanganku sendiri? Kamu mau aku terus nganggep kamu orang yang gak aku kenal?”

“Bukan gitu... Aku cuma gak ngerti kenapa kamu tiba-tiba berubah gini.”

Shilla mengalihkan pandangannya lagi. Ke langit yang membentang luas di atas mereka. Kemudian menghela nafas panjang. “Aku cuma capek. Aku capek pura-pura gak peduli masalah amnesia ini. Padahal, aku gak bisa menghindari kenyataan kalo kita ini udah tunangan. Aku cuma mau nerima kenyataan. Gak lebih.”




*TBC*


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Remember Me #1 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi TUNANGAN? Karena cinta... Tidak akan pernah saling melupakan. Shilla keluar dari gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.             Tiba-tiba, seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja turun dari mobil silver langsung menghampirinya.             “SURPRISEEEEE!!!” sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya. Tepat di hadapan Shilla.             Shilla menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh dengan tingkah lelaki tersebut.  ...

Remember Me #9 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi “Kamu ngomong apa, sih?” sorak Cakka, meluapkan emosinya. Seharian ini ia sudah dibuat stress gara-gara masalah rumah sakit, kampus, mobil mogok, Shilla tiba-tiba menghilang dan pulang bersama Rio, sekarang apa lagi? Perempuan itu membatalkan pertunangan? Apa tidak cukup masalahnya seharian ini? “Pertunangan ini gak bisa aku lanjutin lagi,” balas Shilla. “Maafin aku selama ini.” “Shilla, please... Kamu kenapa? Oke, aku minta maaf. Kamu boleh nyuruh aku apa aja. Kamu boleh mukul aku sampe babak belur sekalipun, tapi kamu jangan mutusin sesuatu dengan gampang!” Cakka membekap kepalanya sendiri. Membuat rambutnya yang sudah menutupi telinga jadi berantakan. Perempuan itu terdiam. “Asal kamu tau, kita udah tunangan enam tahun ini. Kamu pikir gampang memutuskan semuanya dalam waktu beberapa menit aja? Hah?” seru Cakka, frustasi. “Aku gak inget apapun tentang kamu.” “Iya, aku tau! Trus kamu pikir aku bakal nerima keputusan ka...

Remember Me #ENDING Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi             Rio menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Ngel... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Shilla langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!” Angel semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Shilla. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini. Hiks...” Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which is sembilan tahun yang lalu,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Shilla biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.” Perempuan berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi. “Rio bener, Ngel. Shilla butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Cakka ikut menatap na...