“Kamu nunggu kelamaan,
ya?” tanya Cakka saat ia baru saja menyalakan mesin mobil.
Shilla bergeming.
Tetap menekan tombol-tombol di handphone-nya bergantian.
Tanpa memedulikan
sosok laki-laki dengan jas dokter di sebelahnya.
“Tadi aku sama Dokter
Ify cuma ngobrolin masalah rumah sakit, kok. Gak lebih,” ujar Cakka. Mencoba
menjelaskan seraya menyetir mobil ke luar area kampus.
“Gue gak nanya. Lagian
gak penting banget, deh.”
Laki-laki tersebut
melirik Shilla sekilas. “Kamu gak cemburu, kan?” godanya.
Dan sepertinya tepat
sasaran. Karena Shilla langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam.
“Ngapain gue cemburu? Kenal lo aja enggak!” balasnya.
“Jadi terserah lo mau
pacaran sama siapa aja. Apalagi Dokter Ify. Gue malah dukung. Kasian dia gak
laku dari dulu. Ntar jadi perawan tua, jadi mending lo sama dia aja daripada
gangguin hidup gue!”
“Idih, kok sewot gitu
sih sayang jawabannya?” Cakka mengerlingkan matanya sambil menoleh ke arah
Shilla. Yang sukses membuat gadis itu berlagak mau muntah.
“Lo gak usah banyak
ngomong, deh! Nyetir aja. Lo mau bikin gue kecelakaan untuk kedua kalinya?”
ucap Shilla seraya kembali menatap layar ponsel miliknya.
Dan Cakka pun tidak
bisa menyembunyikan seringai geli dari bibir tipisnya.
***
“Kita mau kemana, sih?” tanya Shilla saat ia menyadari mobil Cakka membawanya
ke arah yang lain dari rumahnya.
“Ke tempat yang pernah
jadi kenangan kita, sayang...” jawab cakka, kalem.
“Kenangan? Emang kita
punya kenangan? Kenal lo aja enggak.” Gadis itu langsung membuang pandangannya
ke luar jendela mobil. Mengamati jalanan yang mereka lewati. Deretan pohon
cemara, bau aspal basah akibat hujan, dan suara burung-burung memancingnya
untuk membuka jendela tersebut. Yang langsung disambut oleh semilir kesejukan.
Menentramkan jiwa.
Cakka hanya bisa
tersenyum di sebelahnya.
Tiba-tiba, dahi Shilla
berkerut. Ia merasa pernah melewati jalanan ini. Bukan hanya melewati, bahkan
menghabiskan waktu di sekitar sini. Tapi saat ia mencoba mengingatnya, sakit
kepala itu kembali mendera. “Auw,” ringis gadis itu sembari memijat kepalanya.
Ciiiiiiiitttttt! Cakka
kontan mengerem mobil secara mendadak. “Kamu kenapa?” paniknya. Kemudian
membantu Shilla memijat kepalanya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya
sibuk menjelajahi isi dashboard. Mencari obat pereda sakit kepala milik Shilla
yang memang selalu ia bawa.
“Nih, minum dulu...”
ucap cakka sambil menyodorkan sebuah obat dan sebotol air mineral dari dalam
dashboard.
Shilla menurut. Ia
tidak bisa menolak tindakan Cakka kalau itu berhubungan dengan sakit yang
sering ia alami pasca kecelakaan beberapa tahun silam. Dan hanya dengan obat
itulah ia bisa bertahan menahan rasa sakit yang dideritanya selama ini.
“Udah mendingan?”
tanya Cakka. Penuh perhatian.
Shilla mengangguk
pelan. Lalu bersandar ke jok mobil. Ia merasa tubuhnya melemah. Hal biasa yang
sering ia alami setiap selesai meminum obat tersebut.
“Ya udah.” Cakka
langsung menggeser tubuhnya mendekat ke arah Shilla. Melingkarkan tangannya ke
sisi kiri gadis itu. Kemudian memasangkan seatbelt pada tubuh tunangannya.
Shilla menatap tingkah
Cakka tanpa berkedip. Ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Entah apa itu.
“Kenapa?” tanya Cakka.
Menyadari tatapan tunangannya tersebut. Masih dalam posisinya yang sangat
dekat. Bahkan, hidung mereka berdua nyaris bersentuhan.
“Enggak,” balas Shilla
sambil menunduk. Menghindari tatapan dan deru nafas lelaki itu di wajahnya.
Dahi Cakka berkerut
sesaat. Namun, sepertinya ia memilih diam dan memperbaiki posisi duduknya ke
semula. Menghadap stir mobil. Lalu menyalakan mesin dan kembali melaju ke
pinggiran kota tempat tinggal mereka.
Di sebelahnya, Shilla
mulai terlelap.
***
“Hmmm...” Shilla
ngulet sejenak saat merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Tidak menyengat
seperti yang selalu dirasakannya di rumah. Namun cukup menyilaukan.
“Kamu udah bangun,
Nak?” Suara lembut terdengar.
Shilla sontak menoleh.
Kemudian memandangi sesosok wanita setengah baya di sebelahnya. Sedang duduk di
atas ranjang yang ditiduri Shilla –entah punya siapa–. Ia merasa mengenali
wanita berjilbab yang terlihat kalem dengan senyum menentramkan tersebut.
“Kok diem? Kamu juga
lupa sama Mama, ya?” tanya wanita itu lagi.
Dahi Shilla berkerut
maksimal. Mama? Siapa, ya? Tapi aku emang ngerasa pernah ketemu sih, cuma
dimana? Kapan? Duh, masa aku ngelupain orang lain? Bukannya cuma Cakka, kan?
batinnya. Eh, si Cakkamana? Aku ada dimana? Perasaan tadi aku pergi bareng
dia, deh.
“Cakka lagi ke
puskesmas di deket sini,” ujar wanita yang masih duduk di sampingnya tersebut.
Mungkin menyadari Shilla yang sedari tadi celingukan tidak jelas.
“Puskesmas?”
“Iya, dia emang sering
ke sini seminggu sekali sejak pulang ke Indonesia. Kasian sama puskesmas di
dekat kantor kecamatan. Gak ada yang ngurus,” balas wanita tersebut. “Kamu udah
makan? Mama baru aja masak buat makan siang kalian berdua. Sebentar lagi Cakka
juga udah pulang, kok.”
Shilla berpikir
sejenak. Namun saat merasakan perutnya nyeri, ia pun bangkit. Khawatir maag-nya
kambuh karena makan siangnya di kantin tadi sempat diganggu oleh Cakka.
“Yuk!” ajak beliau
sambil mengulurkan tangannya. Meminta disambut oleh Shilla.
Gadis itu menurut.
Menggenggam jemari tersebut, lalu merasakan kelembutan mengaliri saraf-sarafnya
seketika. Mereka berdua pun melangkah keluar kamar. Menuju ruang makan.
“Ini, Mama bikinin sup
ayam sama udang saus tiram kesukaan kamu. Kamu masih inget, kan? Jangan-jangan
kamu juga lupa, lagi.” Wanita itu tersenyum sambil mengangsurkan piring ke arah
Shilla.
Shila hanya tersenyum
membalasnya. Walaupun ia merasa baru melihat wanita di depannya, namun ia
merasa sangat familiar. Dan nyaman. “Aku masih inget makanan kesukaanku kok,
Tante.”
“Tante? Panggil Mama
aja, sayang. Biasanya juga kamu manggilnya gitu.”
Shilla memilih
mengangguk. Kemudian menyendokkan sup ayam ke atas mangkuk dengan sumringah. Di
saat-saat perutnya menuntut hak, ia malah dihadapkan pada menu favoritnya.
***
“Mamaaa, assalamu
alaikuummm...” sorak Cakka sembari berlari memasuki kediamannya. Sudah tidak
sabar melihat keadaan Shilla yang tadi ia tinggalkan bersama sang Mama.
“Wa alaikum salam,”
balas Mamanya, kalem.
Lelaki itu langsung
menghampiri Mama dan menciumi tangan serta kedua pipinya. Penuh rasa sayang.
Kemudian beralih ke Shilla yang duduk di samping kiri sang Mama. Dan anehnya,
Shilla seakan pasrah. Tidak menolak apalagi berteriak. Membuatnya tersenyum penuh
kemenangan.
“Makannya lahap
banget, sayang. Tumben, deh.” Cakka pun duduk di sebelah Shilla.
Shilla tidak
menggubris lagi. Ia lebih memilih menikmati sup ayam dan udang saus tiram super
lezat di hadapannya.
“Mama seneng deh kamu
bawa Shilla ke sini. Mama udah kangen banget sama dia,” ucap Mama. “Ternyata
walaupun dia hilang ingatan, dia tetep suka sama masakan Mama.”
Cakka tersenyum
setuju. Ia juga terus memandangi Shilla yang terlihat sangat lahap menghabiskan
semangkuk sup ayam buatan Mamanya.
Tiba-tiba, Shilla
menjatuhkan sendok yang digenggamnya. Sebagai ganti, jemari yang tadi ia pakai
kini memegangi kepalanya sendiri. Nyaris menjambak rambutnya kuat-kuat jika
Cakka tidak cepat-cepat menarik kedua tangan gadis tersebut. “Sakit, Kka!!!”
serunya.
“Iya, iya... Aku tau.
Kamu tahan dulu, ya. Aku ambilin obatnya di mobil.” Lelaki itu ikut panik. Lalu
langsung berlari keluar rumah. Meninggalkan kedua wanita yang sangat
dicintainya di dalam sana.
***
Cakka melepaskan stetoskop yang menempel di kedua telinganya. Kemudian menghela
nafas panjang dan berat. Seakan ikut membuang beban yang selama ini ia pikul.
Sejak pulang ke Indonesia dan harus dihadapkan pada kenyataan bahwa tunangannya
menderita amnesia –apalagi hanya dia yang dilupakan–, ia benar-benar sangat
terpukul.
“Gimana keadaan
Shilla, Nak?” tanya Mama, masih dengan raut khawatir sedari tadi.
“Dia gak pa-pa kok,
Ma. Cuma stress ringan. Mungkin dia berusaha nginget masa lalunya lagi. Padahal
aku udah wanti-wanti jangan terlalu maksain diri kalo gak mau sakit. Dasar
kerasa kepala!”
Mama membelai kepala
Shilla yang terlelap di atas tempat tidur milik Cakka.
“Apa ini gara-gara
Mama maksa kamu bawa dia ke sini?” tanyanya. Lebih kepada diri sendiri karena
ia hanya menatap wajah calon menantunya tersebut.
Cakka ikut duduk di
sebelah Mama. “Enggak kok, Ma. Shilla emang kayak gini sejak kedatangan aku.
Berarti, aku yang udah bikin dia menderita.”
Mama langsung
mengalihkan pandangannya ke arah putra semata wayangnya itu. “Ini semua bukan
salah kamu kok, Nak. Ini udah takdir Allah. Dan kamu harus inget, Allah gak
pernah ngasih cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.”
***
Shilla membuka mata saat ia merasa keadaan menjadi sepi. Sebenarnya, ia sudah
sadar sejak tadi. Namun ia memilih tetap terpejam sembari mendengarkan
percakapan Mama dan anak tersebut.
Sesaat kemudian,
pertahanannya runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan sudah mengucur dengan
deras. Membuat muara di sepanjang pipi mulus miliknya.
Dadanya terasa
dihimpit bongkahan batu gunung super besar yang menyesakkan.
“Kenapa aku cuma lupa
semua hal tentang kamu, Kka? Kenapa? Apa gak ada hal spesial yang pantas aku
inget tentang kita?” lirihnya di dalam isakan.
“Asal kamu tau, selama
ini aku berusaha cuek sama kamu sebagai bentuk rasa marahku! Yah, aku benci
sama diriku sendiri! Aku benci karna aku gak bisa ingat apapun tentang kamu.
Kamu, tunanganku!” lanjutnya. Seraya menatap foto ukuran besar di atas tempat
tidur Cakka. Foto yang memuat dirinya dan lelaki itu dalam balutan busana
formal sambil tersenyum lebar. Dan memamerkan cincin di kedua jari manis tangan
mereka. Cincin yang hingga saat ini masih dipakainya. Walaupun ia belum tau
apa-apa tentang hubungan mereka di masa lalu.
***
“Malem ini, kita nginep di rumah Mama. Gak pa-pa, kan?” tanya Cakka sambil
mengambil sebuah kaus rumah dan celana pendek jeans dari dalam lemari di dalam
kamarnya.
Shilla yang duduk di
atas tempat tidur, hanya mengamatinya tanpa balasan apa-apa. Sebagai bentuk
persetujuan. Menurutnya, tidak ada salahnya menginap di rumah ini. Mama Cakka
sangat baik dan lembut, juga penuh perhatian. Shilla bisa merasakan bahwa
wanita paruh baya tersebut sangat menyayanginya.
Tiba-tiba, mata Shilla
membelalak melihat pemandangan di depannya. “HEH! NGAPAIN LO GANTI BAJU DI
SINI?” soraknya saat melihat Cakka sudah melepaskan kemeja yang tadi ia
kenakan.
Caka berbalik dengan
alis berkerut. “Emangnya kenapa, sih? Ini kan kamarku, sayang.” Ia lalu
melanjutkan membuka kancing celana katun yang melekat di tubuhnya. Menurunkan
resleting, dan kontan membuat mata Shilla membulat.
“HUWAAAAAAAAA!!!
MAMAAAAAA, CAKKA PORNOOOO!!!” histerisnya sambil berlari tunggang-langgang ke
luar kamar sambil menutup wajah. Tak ayal, ia pun menabrak pintu, lemari, dan barang-barang
di sekitar kamar Cakka.
“Dasar!” cibir Cakka
seraya menanggalkan celana panjang katun tersebut. Memperlihatkan boxer
berwarna hitam di baliknya. “Dia pikir aku mau bugil di depan dia, apa?” Ia
geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli.
Yang terakhir didengar
lelaki itu adalah bunyi “Buk! Duk! Praaang!” Kemudian diikuti suara mengaduh
dari Shilla. Kontan membuatnya berlari ke luar dengan tergesa-gesa.
“Kamu kenapa?”
tanyanya panik saat menemukan kaki kiri tunangannya tersebut sudah berlumuran
darah. Di sekitar gadis itu, berserakan pecahan guci yang terletak di samping
pintu kamarnya.
“Gucinya... Pecah...
Hiks... Sakit...” ringis Shilla. Ia menangis sambil memegangi kakinya.
“Tunggu di sini! Aku
ambil kotak P3K dulu. Tahan, ya!” Cakka segera berlari ke ruang tengah. Tempat
kotak berisi obat-obatan tersebut berada.
Dengan sigap, ia
kembali menghampiri Cakka. Tanpa banyak bicara, ia menggendong gadis itu.
Membawanya ke sofa terdekat. Di atas meja, sudah ada kotak P3K yang tadi
diambilnya.
“Pelan-pelan, itu
sakit banget... Hiks...” pinta Shilla. Ia sesenggukan menahan rasa sakit di
pergelangan kakinya.
Cakka terus mengusap
luka tersebut dengan kapas yang sudah diolesi alkohol. Tidak memedulikan
rengekan tunangannya.
“Cakka, sakit...”
keluh Shilla lagi. Air mata terus membasahi wajahnya.
“Bawel! Siapa suruh
sih lari-larian gak jelas gitu? Kayak anak kecil aja!” balas Cakka sembari
membalut pergelangan kaki kiri Shilla yang terkena pecahan guci akibat insiden
‘melarikan diri’ yang ia lakukan tadi. Nyaris membentak. Masih mengenakan boxer
hitam dan bertelanjang dada.
“Elo tuh, ngapain
buka-buka baju di depan gue? Lo mau bikin gue bintitan? Lo mau bikin mata gue
terkontaminasi gara-gara otak lo yang mesum itu?” Shilla tidak terima. Bibirnya
manyun menunggui lelaki itu selesai membersihkan dan mengobati kakinya.
“Siapa yang mesum,
sih? Kamu aja tuh yang mikirin jorok mulu.”
“Heh? Enak aja!”
Shilla langsung menjambak rambut Cakka yang sudah tumbuh menutupi telinganya.
“Adaw!” ringis lelaki
itu sambil mengelus kepalanya sendiri. “Jahat banget sih sama tunangannya...”
“Tunangan?”
“Kenal lo aja enggak!”
Baru saja Shilla
menarik nafas untuk melanjutkan kalimatnya, Cakka sudah mendahului.
“Kamu mau ngomong
kayak gitu, kan? Aku bahkan udah hafal di luar kepala,” balas Cakka. Ia lalu
mengelus perban yang membalut kaki gadis di depannya. Meneliti, apakah perban
tersebut sudah melekat sempurna dan tidak menimbulkan infeksi. “Darahnya udah
gak keluar, nih. Kamu jangan lari-lari gak jelas dulu, ntar lukanya melebar
trus malah infeksi. Aku mau ke kamar, ganti baju sekalian meriksa dokumen dari
puskesmas tadi pagi.”
Shilla bergeming.
Menatap punggung lelaki yang baru saja meninggalkannya di atas sofa ruang
tengah. Tiba-tiba, ia merasakan ada yang bergetar di hatinya. Entah apa itu.
“Gimana kakinya,
sayang? Masih sakit, gak?” Mama Cakka muncul dari arah dapur. Kemudian ikut
duduk di sebelah Shilla.
Gadis itu tersenyum
tipis. Lalu memegang kakinya yang masih terasa nyeri bila digerakkan.
Sepertinya pecahan guci yang tadi menggores kaki mungilnya sudah mengakibatkan
luka yang lumayan lebar. “Udah lumayan kok, Ma. Oh iya, maafin Shilla, ya.
Shilla gak sengaja mecahin guci Mama.”
Mama mengelus puncak
kepala Shilla. “Gak pa-pa kok, sayang. Yang penting kamu gak kenapa-kenapa.”
Gadis berkaus merah
muda dan celana pendek krem tersebut tersenyum manis. Entah mengapa, ia bisa
merasakan aura keibuan yang sangat kental dari sosok Mama Cakka. Sama seperti
yang ia rasakan setiap mengingat ibunya. Dan ia pun tidak ragu memanggil beliau
dengan sebutan Mama, seperti yang beliau minta. Berbeda dengan saat ia bertemu
Cakka. Hingga sekarang, ia bahkan masih memanggil lelaki itu dengan sebutan
‘elo’ daripada ‘kamu’.
“Tadi Ibu kamu nelfon.
Mama udah cerita kalo kaki kamu kena pecahan guci. Dia khawatir banget. Sampe
mau nyusulin ke sini segala,” cerita Mama.
“Ya ampuuun, kok Mama
ngasih tau Ibu, sih? Ibu kan emang panikan banget.”
Mama tersenyum. “Kalo
gak panik yah gak sayang, dong. Cakka aja tadi kayak cacing kepanasan pas liat
kamu berdarah.”
Shilla tersentak. Ia
baru menyadari tingkah lelaki itu. Raut wajahnya saat melihat Shilla terluka.
Suara bernada paniknya. Ia yang lari tergesa-gesa mengambil kotak obat. Ia yang
menggendongnya ke sofa. Ia yang memarahinya karena lari-larian tidak jelas. Ia
yang membersihkan dan membalut lukanya. Ia... Cakka.
Tiba-tiba, Shilla
menangis. Lagi.
“Kamu kenapa, sayang?
Lukanya sakit lagi? Atau kepala kamu? Perlu Mama ambilin obat?” cemas wanita
tersebut.
“Enggak kok, Ma.
Hiks... Aku cuma sedih. Hiks...” Bahu Shilla berguncang. Mengeluarkan
isakannya.
“Sedih kenapa, sayang?
Sini, sama Mama...” Beliau membuka kedua tangannya.
Sontak, Shilla
langsung menghambur ke dalam pelukan Mama. Tangisnya semakin menjadi. “Aku
sedih, Ma... Aku gak bisa inget apa-apa tentang Cakka. Aku udah nyusahin dia.
Maafin aku, Ma. Hiks...”
Mama mengelus punggung
Shilla. Mencoba menenangkan. “Kamu gak salah kok, sayang. Ini semua kan bukan
mau kamu. Mungkin udah takdir-Nya. Kamu tau kan kalo segala sesuatu itu terjadi
karena sebuah alasan yang baik?”
Shilla mendongak untuk
melihat wajah Mama. Lalu mengangguk lemah.
“Seperti juga kejadian
ini, sayang. Mama yakin, Allah pasti lagi nguji kamu. Kamu juga tau kan kalo
Allah gak akan ngasih cobaan yang di luar kemampuan hamba-Nya?”
Lagi-lagi, Shilla
mengangguk.
“Ya udah. Kalo gitu,
kamu jangan sedih lagi. Semua ini pasti ada hikmahnya, kok. Segala sesuatu itu
kan akan indah pada waktunya, sayang.” Kali ini, beliau mengusap kepala gadis
itu.
Diam-diam, Shilla
menghela nafas panjang. Membuang segala beban
yang menghimpit dadanya. Kemudian tersenyum lebar.
***
Shilla melangkah memasuki kamar Cakka. Kaki kirinya ia seret sekuat tenaga agar
bisa berjalan sehingga menimbulkan bunyi ‘sreeeet’ dari sendal rumah yang ia
pakai. Membuat konsentrasi Cakka buyar dan langsung menoleh.
“Kamu ngapain ke
sini?” tanya Cakka. Ia berdiri dan memegangi kedua lengan gadis itu. Memapahnya
agar lebih mudah menggerakkan kaki.
“Gue mau ke balkon,”
jawab Cakka. Ia tidak menolak saat lelaki tersebut merangkul tubuhnya.
Mereka pun mendekati
balkon.
Saat Shilla sudah
duduk di atas kursi rotan di balkon, Cakka kembali memasuki kamarnya. Kemudian
muncul lagi dengan dua buah jaket tebal di genggaman.
“Nih... Udara di sini
dingin banget. Gak kayak di rumah kamu,” ujarnya sambil memakaikan jaket
berwarna coklat muda itu ke tubuh Shilla. Lalu memasang jaket hitam ke tubuhnya
sendiri.
Shila bergeming. Ia
memejamkan matanya. Merasakan semilir angin malam menerpa wajah dan
menerbang-nerbangkan rambut panjangnya. Dingin menusuk.
“Gimana kakinya? Udah
sembuh? Kalo belum, kamu jangan maksain terlalu banyak gerak dulu,” ucap Cakka.
Memecah keheningan yang sempat memenjarakan mereka berdua.
“Udah agak mendingan,
kok. Makasih, ya!” balas Shilla. Ia menoleh dan menatap wajah Cakka. Lelaki
yang malam itu terlihat ganteng di bawah terangnya bulan purnama. Dengan kulit
putih, hidung mancung, dan bibir tipisnya yang seksi.
“Sama-sama. Itu kan
udah kerjaan aku sebagai dokter.” Cakka tersenyum sambil ikut menatap gadis
tersebut.
“Dokter sekaligus
tunanganku, kan?”
“Heh?” Dahi Cakka
berkerut dengan sukses. Baru kali ini ia mendengar Shilla menyebutnya
‘tunangan’. “Kamu gak salah ngomong, kan?” tanyanya. Mencoba meyakinkan diri
sendiri.
“Masalah tunangan?”
Shilla balik bertanya. Ia memperbaiki duduknya di bangku panjang tersebut.
Cakka mengangguk.
“Aku cuma lagi nyoba
inget semuanya.” Shilla menerawang. Memandangi langit yang terang karena cahaya
rembulan dan jutaan bintang yang berkedip indah.
Dahi Cakka pasti sudah
sangat kusut saat ini. Baru saja ia mendengar kata ‘tunangan’ dari bibir
Shilla, sekarang ia mendengar kata baru lagi. ‘Aku’, bukan ‘gue’ yang biasa
keluar dari bibir gadis itu saat berbicara padanya.
“Kamu gak usah maksain
diri, Shill. Aku gak mau kamu makin parah. Aku gak mau denger teriakan
kesakitan kamu. Aku gak mau kamu malah bisa ngelupain semuanya,” balas cakka
akhirnya.
Shilla langsung
mengalihkan pandangannya dari langit malam ke wajah Cakka. Menatapnya lekat
untuk sesaat, lalu bertanya, “Kamu sayang gak sama aku?” tanyanya.
Deg! Jantung Cakka
langsung berdetak lebih cepat dari biasanya. Mata itu... Sorot mata yang dulu
selalu menghiasi harinya. Bukan sorot benci yang beberapa minggu ini ia lihat.
Tanpa diperintah, ia langsung mengangguk.
“Kalo gitu, aku mau
minta sesuatu sama kamu,” ujar Shilla. Masih menatap Cakka.
“Apa?”
“Aku minta, kamu bantu
aku. Bantu aku inget semuanya tentang kamu.”
Cakka bergeming. Ia
masih mencoba mencerna kalimat barusan. Kalimat yang sangat tidak masuk akal
jika diucapkan oleh Shilla.
“Kenapa?” suara gadis
itu memecah lamunan panjangnya. “Kamu gak mau bantu aku? Kamu mau ngebiarin aku
kayak orang bego yang gak tau apa-apa tentang tunanganku sendiri? Kamu mau aku
terus nganggep kamu orang yang gak aku kenal?”
“Bukan gitu... Aku
cuma gak ngerti kenapa kamu tiba-tiba berubah gini.”
Shilla mengalihkan
pandangannya lagi. Ke langit yang membentang luas di atas mereka. Kemudian
menghela nafas panjang. “Aku cuma capek. Aku capek pura-pura gak peduli masalah
amnesia ini. Padahal, aku gak bisa menghindari kenyataan kalo kita ini udah
tunangan. Aku cuma mau nerima kenyataan. Gak lebih.”
*TBC*
Komentar
Posting Komentar