Oleh
Hujan deras mengiringi perjalanan pulang Cakka dan Shilla.
“Kamu gak mau tidur?”
tanya lelaki itu sambil melirik tunangannya yang sedang asik melukis sesuatu di
kaca mobil yang berembun.
Shilla langsung
menoleh. Memperlihatkan gambar seorang laki-laki dan perempuan sedang
bergenggaman tangan dan tersenyum lebar dengan gambar hati di sekitarnya.
“Enggak ngantuk.” Ia lalu membuka dashboard mobil, meraih CD Ten 2 Five dari
dalam sana. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di sana.
You
stood in the rain
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
Lagu Don’t Say Goodbye terlantun perlahan.
Will
you call me when you get there?
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again
Shilla dan Cakka langsung bernyanyi bersama.
Baby
please don’t say goodbye
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here
Sementara intro
mengalun, Cakka menggenggam jemari Shilla. Lalu mengecupnya perlahan. Penuh
rasa sayang dan kelembutan. Seakan tak ingin merusaknya. “I love you...”
Perempuan di sebelahnya tersenyum lebar. Mengangguk, dan menjawab, “I... love
you too.”
Tiba-tiba, dari arah
tikungan pada arah berlawanan, sebuah truk muncul dan mengambil jalur yang
dilalui mobil mereka. Sontak saja Cakka melepaskan genggaman pada tangan
tunangannya. Kemudian buru-buru menginjak rem, tapi... “Loh, ini kenapa? Remnya
blong, sayang!”
Shilla kontan
histeris. “Truknya makin deket, sayang! Putar stirnya! Cepetannn!”
Cakka langsung memutar
stir ke arah kiri. Kondisi jalanan yang licin karena hujan deras dan rem yang
tidak berfungsi malah membuat mobil berwarna silver metalik itu tergelincir
menabrak pembatas jalan sejauh sepuluh meter. Seakan tak cukup, mobil tersebut
berguling beberapa kali. Sampai berhenti dalam keadaan bagian bawah mobil
berada di atas. Dan ringsek sedemikian rupa.
Lelaki itu
mengembalikan kesadarannya saat mobil berhenti berguncang. Lalu melirik ke jok
di sebelahnya, mencari perempuan yang baru saja mengatakan ‘I love you’ padanya
beberapa saat lalu. Namun... “Shilla? SHILLAAA? KAMU DIMANAA?”
Baby
please don’t say goodbye
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here ♫♪
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here ♫♪
Cakka langsung membuka pintu mobil dengan bantuan bahunya yang kekar. Walaupun
sempat meringis beberapa kali, ia berhasil terbebas dari posisi tubuhnya di
dalam mobil yang terbalik.
“Shilla? Shilla? Kamu
dimana?” Ia berulang kali merapalkan kalimat yang sama. Dengan langkah
tertatih, ia terus berjalan. Melangkah ke sekitar tempat kejadian. Ia bahkan
tak peduli pada truk yang kini sudah menghilang entah kemana.
Semakin lama, suaranya
memelan. Tubuhnya pun sudah mati rasa karena kebanyakan luka. Namun ia
benar-benar tak mempedulikan hal lain selain keberadaan perempuan yang
dicintainya saat ini.
Ketika pandangannya
mulai buram, akhirnya ia menangkap sesosok tubuh yang tergolek lemah kira-kira
belasan meter dari posisi kecelakaan beberapa menit lalu. Membuatnya melangkah
terseok-seok menghampiri tubuh tersebut.
“Shi... lla...”
lirihnya seraya mencoba merendahkan posisinya sekuat tenaga, mengingat tubuhnya
yang sudah seperti kebanjiran darah. Namun belum sempat melihat wajah perempuan
itu, ia sudah ambruk ke tanah. Tak sadarkan diri.
***
Mama cakka terisak di depan pintu ruang UGD. Sudah hampir dua jam putra dan
calon menantunya berada di dalam sana. Entah sedang berusaha bertahan, atau
malah meregang nyawa. Beliau sendiri hanya bisa mendoakan yang terbaik.
Kedua orangtua Shilla
belum bisa datang ke rumah sakit tersebut, berhubung ibu perempuan itu shock
berat dan tak sadarkan diri. Ibu Shilla memang masih trauma dengan kecelakaan,
apalagi jika putri satu-satunya kembali terlibat di dalamnya. Karena itu mereka
meminta Shilla secepatnya dipindahkan ke rumah sakit tempat mereka bekerja jika
kondisinya sudah memungkinkan.
Pintu ruang UGD
terbuka lebar.
Mama sontak
menghampiri dokter yang keluar dari sana. “Bagaimana keadaan mereka, Dok?
Mereka baik-baik aja, kan?” tanya wanita berjilbab tersebut.
Dokter di depannya
menyeka peluh yang mengaliri dahi sejenak. “Dokter Cakka sudah melewati masa
kritisnya, Bu...” Sepertinya ia mengenal dokter muda itu.
“Tapi perempuan yang
bersamanya...”
“Shilla? Shilla
kenapa, Dok? Dia... gak kenapa-kenapa, kan?” Mama sampai mengguncang bahu
dokter tersebut.
“Kami belum bisa
memutuskan, Bu. Kondisinya sangat buruk. Sepertinya dia terlempar cukup jauh
dari lokasi kecelakaan sehingga tubuhnya mengalami luka yang cukup serius.
Apalagi bagian kepalanya,” jelas sang dokter. “Sampai sekarang, dia masih koma.
Kami belum bisa mengetahui kondisi selanjutnya sampai ia sadar. Dan kami tidak
tahu kapan ia bisa siuman dari koma ini,” tambahnya.
Tangis Mama langsung
pecah.
“Tapi Ibu tenang saja.
Setidaknya, Dokter Cakka masih bisa selamat.”
Tapi saya tau, Cakka
lebih memilih ikut sekarat kalau keadaan Shilla juga belum jelas, bisik wanita paruh baya itu dalam hati.
***
Pandangan Cakka membentur langit-langit kamar rawat tempatnya berada sekarang.
Hampir sekujur tubuhnya nyeri luar biasa, namun tak ada yang diacuhkannya
selain sang tunangan. Ia sempat histeris saat mengetahui perempuan yang
dicintainya masih dirawat di ruang ICU, lengkap dengan alat bantu pernafasan
dan detak jantung. Lelaki itu tak bisa –dan tak mau– membayangkan jika semua
alat bantu penopang hidup tersebut dilepas dari tubuh Shilla. Dunianya pasti
sudah kiamat saat itu juga.
“Kamu mau kemana,
Kka?” Mamanya buru-buru menahan lengan Cakka saat putranya bangkit dari
brankar.
“Aku mau jengukin
Shilla, Ma. Aku gak mau dia bangun dan gak ngeliat aku. Kasian kalo dia nyari
aku, tapi aku gak ada di dekat dia.” Ia mencoba meraih kruk di dinding kamar.
Namun sang mama menghalangi niatnya.
“Tapi kamu masih
lemah. Mama gak mau kamu juga jadi makin parah.”
“Aku udah baikan, kok.
Mama tenang aja,” balas Cakka keras kepala. Ia sudah memegangi dua kruk untuk
membantunya berjalan, berhubung kaki kanannya harus di-gips sedemikian rupa
agar tulang kakinya cepat pulih.
Saat Cakka sudah
mencoba berjalan dengan dua kruk diapit oleh lengan kanan dan kirinya,
tiba-tiba salah satu kruk tersebut terpeleset di atas lantai yang memang agak
licin. Kontan saja tubuh lelaki itu kembali bersandar di badan tempat tidur.
Untungnya ia belum melangkah terlalu jauh sehingga tubuhnya tidak sempat
mencium lantai.
“Cakka!” sorak Mama
sambil buru-buru menghampiri putranya. “Mama bilang juga apa! Kamu gak usah
kemana-mana dulu. Mama udah pesen ke pihak rumah sakit supaya kamu dan Shilla
mendapat pelayanan terbaik. Kamu gak usah khawatir, Kal!”
“Enggak! Pokoknya aku
mau liat keadaan Shilla. Kalo perlu, aku juga mau dipindahin ke ruang ICU biar
bisa satu ruangan sama dia. Dan bisa ngeliat keadaan dia setiap saat. Mama
jangan bikin aku tambah sakit, dong. Aku gak bisa jauh-jauh sama Shilla,
apalagi dalam kondisi kayak gini!”
Mau tak mau, Mama
menghela nafas panjang. Ia tahu benar tabiat darah dagingnya tersebut. Cakka
tak akan menyusutkan keinginannya, sekuat apapun orang lain menahan. Terlebih
lagi ini menyangkut perempuan yang paling dicintainya –setelah sang Mama–.
“Ya udah. Mama minta
kursi roda dulu,” putus wanita itu akhirnya. Kemudian berjalan ke luar kamar.
***
Lelaki berpakaian hijau muda –ala pasien– tersebut memutar roda pada kursi yang
ia duduki. Sampai berhenti di sebelah brankar tempat seorang perempuan yang
terbaring tak berdaya di dalam ruangan tersebut. “Sayang, aku udah datang,”
bisiknya pelan.
Tak ada respon dari
perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Shilla itu. Wajahnya dipasangi
masker oksigen. Kedua tangannya ditempeli selang infus, cairan penambah gula,
dan sekantong darah. Di sampingnya, sebuah alat pendeteksi detak jantung
berbunyi konstan dengan gambar grafik yang naik-turun.
“Kamu capek banget,
ya? Sampe tidur seharian gini.” Cakka mencoba tertawa di ujung kalimatnya.
Hambar.
Jemarinya mengusap
rambut perempuan itu, lembut. Seakan takut menyakiti atau –lebih parah– membuat
tubuh Shilla hancur berkeping-keping akibat sentuhannya.
Lama ia memilih
terpaku dalam posisi itu. Hanya menatap wajah pucat di hadapannya, diiringi
suara alat pendeteksi detak jantung. Bagai menikmati bunyi itu, bunyi yang
menjadi tanda kehidupan bagi tunangannya.
“Shill...” lirih Cakka
seraya mendekatkan wajahnya ke telinga perempuan itu. “Aku akan selalu di sini.
Kamu juga jangan kemana-mana, ya! Aku... Aku masih mau denger kamu ngomong ‘I
love you’ ke aku.”
***
Sayangnya, kondisi Shilla menurun drastis setelah itu. Dokter yang menanganinya
sampai harus keluar-masuk ruang ICU setiap menit untuk mengembalikan kondisi
perempuan itu agar membaik.
Keadaannya semakin
kritis malam ini. Detak jantungnya tak terkontrol, baru saja ia terdengar
normal, kemudian out of control, hingga sangat lemah sama sekali.
Sialnya, kabar
tersebut sampai ke telinga sang tunangan. Lelaki yang kondisinya juga masih
jauh dari sehat itu memaksa menangani Shilla dengan kemampuannya sebagai
dokter. Ia sudah menyingkirkan beberapa suster dan membentak semua dokter yang
menghalangi niatnya. Namun tetap saja ia tak diizinkan.
“Kalian kalo gak mampu
menangani satu pasien aja, langsung undurin diri! Indonesia gak butuh dokter
yang gak becus menyembuhkan, tapi selalu nuntut gaji tinggi!” teriak Cakka
penuh emosi. Ia berdiri tepat di depan pintu ruang ICU yang sudah ditutup rapat
setelah lelaki itu memaksa masuk berulang kali.
“Cakka, kamu jangan
ngomong begitu, dong! Itu sama aja kamu gak mempercayakan keadaan Shilla di
tangan dokter-dokter yang ada di sini,” tegur Mama, berusaha meredam emosinya
sendiri.
Laki-laki yang masih
mengenakan pakaian pasiesn tersebut langsung menarik kerah baju salah satu
perawat yang menjaga pintu ruang ICU. “Kalo sampe tunangan saya kenapa-kenapa
di dalam sana, kamu adalah satu orang yang harus tanggung jawab! Saya gak akan
tinggal diam! Ingat itu!” tandas Cakka, penuh penekanan. Matanya yang biasa
memandang teduh, kini berubah menyeramkan. Kondisi tubuhnya yang sedang sakit
pun tak mengurangi tenaganya yang disulut emosi yang meluap-luap.
Mama menatap putranya,
miris. Beliau pernah ditinggalkan orang yang dicintainya setengah mati. Dan ia
tahu rasanya. Beliau bahkan pernah mencekik leher seorang suster beberapa tahun
lalu, saat suaminya juga sedang berjuang di ruangan yang sama. Yah, wanita
paruh baya itu tahu rasanya...
***
Ibu dan ayah Shilla tiba di rumah sakit saat keadaan putrinya berangsur
membaik.
Setelah beberapa jam
penuh emosi dan perjuangan, perempuan mungil tersebut pun sudah dipindahkan ke
kamar rawat biasa. Dan atas paksaan Cakka, pihak rumah sakit memperbolehkan
mereka berdua mendiami satu kamar VIP bersama.
Shilla belum juga
siuman sejak kecelakaan dua hari yang lalu. Sedangkan Cakka sedang tidur
setelah disuntik obat penenang karena tak berhenti mengkhawatirkan kondisi
tunangannya, saat ia sendiri belum pulih sama sekali.
Cakka mengalami gegar
otak ringan –yang untungnya tidak terlalu parah–. Tulang kering kaki kanannya
bergeser sehingga harus di-gips beberapa minggu. Bagian tubuhnya yang lain juga
penuh luka memar yang tentu saja tidak bisa dianggap luka ringan. Tapi entah
mengapa ia seakan tak merasakan apa-apa. Pikirannya terlalu dipenuhi Shilla.
“Apa gak sebaiknya
Shilla dan Cakka dipindahkan ke rumah sakit tempat kami bekerja aja, Mbak?”
tanya Ibu Shilla. Beliau menatap putri dan calon menantunya bergantian. Tisu
yang beliau genggam sudah basah, dipenuhi air mata.
“Saya terserah kalian,
kok. Kalian berdua pasti lebih mengerti masalah ini,” balas Mama Cakka.
“Kita liat dulu
perkembangan mereka di sini. Saya juga udah ngobrol sama Dokter Suta, beliau
tidak keberatan kalau saya membantu penanganan mereka. Yah, walaupun rumah
sakit ini juga termasuk bagus,” sela Ayah Shilla.
Alat-alat yang
dipasang di tubuh Shilla pun sudah berkurang. Tersisa selang infus dan penambah
gula di kedua lengannya.
“Semoga pemulihan
Cakka berlangsung cepat. Saya butuh bantuannya untuk menangani Shilla,” tambah
lelaki yang rambutnya mulai memutih tersebut.
***
Caka duduk di sebelah ranjang tunangannya. Ia sudah melepas selang infus yang
menurutnya hanya membuat kepalanya semakin sakit. Lelaki itu bahkan memaksa
dokter yang menanganinya agar bisa segera rawat jalan, namun kaki dan luka-luka
di sekujur tubuhnya masih mengkhawatirkan.
“Kamu gak lapar,
sayang?” tanya Cakka seraya menyelipkan helaian rambut Shilla ke belakang
telinga.
Perempuan itu masih
pucat, bahkan tubuhnya semakin mungil dengan tulang pipi yang juga semakin
jelas terlihat.
“Aku sebenarnya masih
mau nemenin kamu di sini. Tidur sekamar biar bisa terus ngontrol keadaan kamu
dengan mata kepalaku sendiri. Tapi bener, deh. Sakit itu gak enak banget.
Padahal kan aku udah sehat, kenapa selalu dianggap kayak orang sakit, sih?
Bener-bener deh dokter di sini...” Lelaki itu menggeleng frustasi. Ia kembali
terkekeh pelan. Menghibur diri sendiri, sepertinya.
“Kamu sendiri, kapan
bisa ngeliat aku lagi? Apa gak capek tidur terus? Aku aja yang kayak gini udah
hampir gila,” lanjutnya sembari memainkan hidung perempuan itu.
“Aku kangen banget loh
sama suara cempreng kamu. Rasanya baru tadi kita nyanyiin lagu Ten 2 Five
bareng, eh sekarang malah... kayak gini jadinya.”
Shilla tak menunjukkan
reaksi apa-apa. Hanya helaan nafas pelannya yang terdengar.
“I love you...” bisik
Cakka. Lalu mendaratkan bibirnya ke atas bibir pucat milik sang tunangan. Penuh
cinta.
***
Cakka melangkah di sebelah brankar yang membawa tunangannya ke lobby rumah
sakit. Lelaki itu sudah menanggalkan status pasien dari dirinya. Tulang kakinya
sudah kembali ke posisi semula, walaupun ia masih harus berjalan agak pincang.
Luka-lukanya juga sudah mulai kering, hanya tinggal luka lebam yang belum pulih
dan masih menyisakan nyeri.
Hari ini, mereka akan
pulang. Bukan ke rumah yang menjadi tujuan akhir setiap perjalanan, melainkan
rumah sakit untuk memberi pelayanan terbaik bagi Shilla yang belum menunjukkan
tanda-tanda akan siuman.
Saat tubuh tunangannya
akan naik ke ambulance, ia mengecup kening perempuan itu. “Sampai ketemu di
rumah sakit, sayang...” gumamnya. Kemudian berbalik menuju mobil Ayah Shilla
–karena di ambulance sudah ada ibu dan mamanya yang menemani Shilla dalam
perjalanan nanti.
***
Ayah Shilla dan Cakka duduk di depan meja Dokter Kaka, selaku dokter yang
menangani perempuan itu di rumah sakit yang sekarang di tempatinya.
“Sepertinya luka yang
dialami Shilla ini cukup serius. Ada beberapa organ dalam yang mengalami
benturan. Tapi yang paling parah... bagian kepalanya,” jelas sang dokter sambil
menyerahkan hasil rontgen ke arah dua laki-laki di depannya.
Ayah Shilla yang juga
mengenakan jas dokter tersebut meneliti hasil rontgen yang kini telah berpindah
ke genggamannya. Ada tanda retak di kepala bagian belakang putrinya.
“Saya juga belum tau
pasti, Dok. Tapi kemungkinan besar, luka pada kepala Shilla ini bisa berdampak
pada memorinya.”
Cakka mendesah putus
asa di kursinya. Ia tak bisa membayangkan kemungkinan apapun, terlebih apabila
menyangkut memori Shilla. Sudah cukup perempuan itu mengidap amnesia dan
melupakannya, ia tak mau sesuatu yang lebih buruk malah terjadi lagi.
“Untuk saat ini, kita
hanya bisa berdoa dan berusaha keras sampai Shilla siuman. Setelah ia sadar,
baru kita bisa mengetahui perkembangan selanjutnya. Yah, semoga tidak ada
apa-apa,” lanjut Dokter Kaka.
“Iya, semoga...” Ayah
Shilla mengamini.
***
Seorang perempuan dengan long dress ungu muda duduk di sebelah ranjang milik
Shilla. Rambut coklatnya yang lurus tergerai tanpa hiasan. Ia menatap perempuan
yang tergolek lemah itu tanpa ekspresi.
“Saya gak tau harus
prihatin atau bahagia atas kejadian ini,” lirihnya seraya meremas kesepuluh
jemari lentik miliknya.
Bahu Shilla naik-turun
dengan konstan. Namun tak juga membuka mata.
“Kamu tau? Saya benci
banget sama kamu. Kamu cuma perempuan beruntung yang kebetulan bertemu lebih
dulu dengan Dokter Cakka. Sedangkan saya? Saya...” Perempuan itu menghela nafas
panjang, mengontrol emosinya. “Saya juga mencintainya, Shilla. Tapi saya tidak
sepicik kamu yang memanfaatkan kedekatan keluarga kalian demi seorang
laki-laki,” tandasnya. Ia berusaha meredam nada suaranya sekuat tenaga.
“Saya gak tau apa
rencana Tuhan selama ini. Kamu amnesia dan hanya melupakan Cakka, lalu kembali
kecelakaan dan koma seperti sekarang...” lanjutnya. “Kenapa... Kamu gak
sekalian meninggal aja, sih? Tuhan kayaknya terlalu bertele-tele menuliskan
takdirmu, Shilla.”
Perempuan di depannya
masih bergeming.
“Atau... Apa kamu
butuh bantuanku untuk membuat takdirmu berjalan lebih mudah?” Senyumnya
perempuan ber-long dress tersebut mengembang. Senyum penuh arti. Jemarinya yang
lentik pun segera merealisasikan niatnya.
***
“Dokter Ify?” seru Cakka sambil memasuki kamar rawat tunangannya dengan langkah
lebar. “Dokter sedang apa di sini?”
Dokter Ify yang pagi
itu mengenakan long dress berwarna ungu muda langsung tergeragap. Ia sontak
berdiri dari duduknya saking kaget. “Dok-Dokter Ca-Cakka?” ucapnya,
terbata-bata. Seakan memastikan penglihatan.
Lelaki berkaus hijau
tersebut mengerutkan dahinya seraya mendekatkan diri di sisi Shilla.
“Saya... sedang
menjenguk Shilla. Kebetulan tadi saya baru bertemu dengan Dokter Tio dan dia
memberitahu kalau Shilla sedang dirawat di sini,” jelas Dokter Ify. “Dokter
sendiri, tidak apa-apa, kan?” tambahnya sembari mengelus pipi kiri lelaki di sampingnya
–yang masih memar–.
Caka tersenyum tipis.
Lalu memalingkan wajahnya yang disentuh perempuan itu.
“Gak pa-pa, kok.”
“Syukurlah, Dok. Saya
khawatir sekali waktu dapat kabar kalau Dokter kecelakaan dan mobilnya hancur.”
Cakka kembali
tersenyum. Ia memandangi tunangannya yang masih terbaring tak sadarkan diri
tersebut. Kemudian mengecek infus dan selang oksigen yang menempel di tubuh
Shilla. Setelah mengetahui bahwa semuanya masih normal, ia kembali menatap
Dokter Ify. “Dokter gak ada tugas hari ini?”
“Sebenarnya saya harus
ke rumah sakit kampus. Ada beberapa pasien yang harus ditangani. Tapi saya
masih mau menjenguk Shilla,” jawabnya. “Apa Dokter ada kepentingan lain? Saya
bisa menjaga Shilla, kok.”
“Oh, tidak usah...”
balas Cakka. “Terima kasih, Dokter. Tapi sebaiknya Dokter ke rumah sakit saja.
Takutnya nanti ada pasien yang terlantarkan. Saya juga mau berduaan saja sama
tunangan saya.”
Wajah Dokter Ify
langsung menegang saat mendengar kalimat terakhir lelaki di sebelahnya. “Ya
sudah. Saya pamit dulu, Dok. Semoga Shilla lekas sembuh. Selamat pagi...” ujar
perempuan cantik itu. Lalu berbalik menuju pintu masuk kamar tersebut.
***
Rio menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Ngel... Kalo lo
nangis gitu, bagus kalo Shilla langsung bangun. Ini malah bikin
sakit kepala, tau!”
Angel semakin
sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan
sama Shilla. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini.
Hiks...”
Lelaki dengan sweater
putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which
is sembilan tahun yang lalu,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat
sedih-sedihan. Harusnya kita doain Shilla biar cepet sembuh. Itu yang paling
dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.”
Perempuan berlesung
pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi.
“Rio bener, Ngel.
Shilla butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang
terbaik buat dia.” Cakka ikut menatap nanar ke arah tunangannya.
Mereka bertiga berdiri
mengelilingi perempuan berbaju pasien tersebut. Sudah tiga hari Shilla dirawat
di rumah sakit ini, tapi belum ada tanda-tanda dirinya akan siuman. Walaupun
harus diakui, Shilla mengalami perkembangan yang signifikan selama di sini.
Bahkan beberapa lukanya mulai mengering.
Saat ketiganya sibuk
dengan pikiran masing-masing –diselingi isakan Angel sesekali–, tiba-tiba Rio
mendapati jemari perempuan di depannya bergerak. Memang sekilas awalnya, ia
bahkan berpikir hanya sedang berhalusinasi. Namun saat mata Shilla ikut
terbuka, ia pun langsung berseru, “SHILLA?”
Cakka kontan terhenyak
dari lamunannya. “SHILLA?” Ia ikut berseru. Kali ini, mengguncangkan lengan
mungil itu tanpa sadar –saking shock-nya–.
Perempuan yang
terbaring lemah itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Seperti mencoba
menetralisir rasa silau yang menyeruak ke dalam pandangannya. “Auw,” ringisnya
pelan. Kedua matanya kembali terpejam kuat.
“Rio, cepet panggil
Dokter Kaka ke sini!” perintah Cakka seraya memegangi kepala tunangannya.
Sebenarnya ia sangat ingin memeriksa keadaan Shilla dengan tangannya sendiri,
tapi ini di luar wewenangnya.
Rio langsung melesat
ke luar.
Beberapa saat
kemudian, ia kembali bersama Dokter Kaka dan beberapa suster.
“Permisi, Dokter...”
ujar dokter yang sudah berusia akhir empat puluhan tersebut. Membuat Cakka
segera menyingkir dari sisi tempat tidur.
Dokter Kaka segera
mengenakan stetoskop ke telinganya, lalu memeriksa detak jantung Shilla.
Sedangkan perawat yang lain sibuk mengecek infus, oksigen, dan detak nadi di
pergelangan tangan kiri perempuan itu. Ada juga yang mencatat sesuatu, entah
apa.
Setelah itu, dokter
tersebut membuka mata Shilla dengan ibu jarinya. “Shilla, kamu bisa dengar
saya?” bisiknya sembari menyenteri bola mata perempuan itu, bergantian.
Shilla langsung
membuka matanya saat Dokter Kaka memundurkan tubuhnya. Kedua alisnya bertaut.
Kemudian menatap orang-orang di dalam ruangan tersebut satu per satu. Ia
berdehem sejenak, seakan memperbaiki pita suara miliknya yang sudah hampir
seminggu tak digunakan.
“Shilla, kamu
merasakan sesuatu?” tanya Dokter Kaka lagi.
Beberapa pasang mata
di sana memandangi Shilla, sama-sama menunggu jawaban.
Bruk! Pintu kamar
dibuka dengan keras. Sosok ayah dan ibu perempuan itu menyeruak masuk. Masih
dengan jas dokter dan ekspresi cemas luar biasa.
“Shilla? Kamu sudah
sadar, Nak?” Ibu Shilla langsung berdiri di sebelah Dokter Kaka. Sang suami
mengikuti di sebelahnya.
Masih dengan dahi
berkerut, perempuan yang masih dalam posisi berbaring tersebut menatap kedua
orangtuanya.
“Shilla... Kok kamu
diem?” sela Cakka. Penasaran dengan respon tunangannya yang sedari tadi tak
juga buka mulut.
Kali ini, pandangan
penuh keheranan dipusatkan perempuan itu pada Cakka. “Shi... lla?” Ia balik
bertanya. Suaranya serak sekali.
Hening sejenak. Bahkan
tak ada suara desahan nafas sama sekali. Ruangan menjadi sarat akan ketegangan.
“Shilla siapa?” lanjut
perempuan itu.
Mama sontak menutup
mulutnya dengan tangan kanan. Menyembunyikan rasa kagetnya. Di belakangnya,
Angel mengerjapkan mata dengan mulut menganga.
“Kamu kenapa, sayang?”
Ayah Shilla memecah keheningan.
“Bapak... siapa?”
tanya Shilla lagi. “Siapa Shilla? Kalian... siapa?” Ia mengedarkan pandangan ke
semua orang yang ada di sekitarnya.
Kali ini, ruangan
benar-benar seperti terselimut awan mendung. Pekat.
“Saya... Siapa?”
tambah perempuan itu.
Bruk! Ibu Shilla
langsung roboh, tak sadarkan diri.
*TBC*
Komentar
Posting Komentar