Langsung ke konten utama

Remember Me #11 Versi CakShill



Oleh

Dokter Ify sedang menyibukkan diri di teras belakang rumah Cakka. Telunjuk tangan kanannya sibuk mengelus layar I-pad di genggamannya dengan kasar. Mencoba melenyapkan semua babi berwarna hijau di sana menggunakan bantuan sekelompok burung kuning dalam game angry bird.

“Pokoknya saya gak terima! Saya gak bakal biarin mereka bahagia! Gimanapun caranya!!!” lirih perempuan itu dengan segenap emosi jiwa.

Laki-laki yang ikut duduk di sebelahnya hanya menghela nafas panjang seraya mendongak. Menatap keindahan malam dengan cahaya bulan purnama dan jutaan bintang di atas sana.

“Kamu ngomong dong, Rio! Kamu punya ide lagi gak buat misahin Dokter Cakka sama shilla?” Dokter Ify kembali mendesis kesal.

Rio menoleh dan ganti menatapnya. Menatap keindahan lain dari malam hari di tempat itu, namun dalam versi agak menyeramkan. Lagi-lagi, ia menghela nafas panjang. “Apa gak sebaiknya... kita give up aja, Dok? Tadi Dokter denger sendiri kan yang diomongin Bu Idha? Beliau gak bakal ngizinin anaknya menikah sama perempuan selain Shilla.”

“Gak ada yang gak mungkin, Rio. Kamu harus inget itu!”

“Tapi kita juga gak bisa menyalahi takdir Tuhan kan, Dok? Kita cuma manusia yang bisanya merencanakan. Malah saya pikir, kita udah dalam konteks memaksakan sekarang.”

Perempuan itu seketika meliriknya denga pandangan tajam. “Kamu itu laki-laki kan, Rio? Masa cuma karna ini kamu udah hopeless? Saya gak mau tau, pokoknya kita harus tetep bikin mereka pisah. Titik!” tandas Dokter Ify sembari buru-buru berdiri, kemudian melangkah memasuki rumah. Meninggalkan Rio.

***

            “Gue udah denger semuanya...” Sebuah suara muncul di sebelah kanan lelaki bersweater coklat tua tersebut.

Rio kontan menoleh dan menemukan perempuan berlesung pipi sudah duduk di sampingnya, menggantikan posisi Dokter Ify beberapa menit lalu.

“Gue udah curiga dari awal. Kalian pasti punya niat jahat sama Shilla dan Dokter Cakka. Tapi gue gak nyangka rencana kalian bisa sepicik ini. Jahat banget, tau gak!” sambung perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Angel itu.

Lelaki di sebelahnya tersenyum sekilas. “Gue juga baru tau kalo lo suka nguping pembicaraan orang,” balasnya. Lalu mengembalikan perhatiannya ke langit di atas mereka.

Angel mencibir sejenak. “Lo kenapa segitu sayangnya sama Shilla, sih? Sampe mau ngerusak kebahagiaan mereka,” tanyanya.

“Gue gak punya niat kayak gitu sedikit pun, Ngel. Cuma karna Dokter Ify nawarin, jadi gue ngikut aja. Mumpung Shilla masih amnesia, kan?” Farhan tertawa getir di ujung kalimatnya. “Tapi setelah gue pikir-pikir, gue emang jahat, ya?”

“Emang jahat! Lo gak pernah denger istilah ‘cinta itu bahagia melihat orang yang dicintainya bahagia, walau bukan bersamanya’? Nah, harusnya lo juga kayak gitu!”

“Bawel lo, ah. Emangnya lo pernah jatuh cinta kayak gue?” Rio meliriknya dengan pandangan meremehkan.

“Sialan! Ya pernah, dong!” Angel langsung meninju bahu kekar milik lelaki di sampingnya. “Tapi yaa, gitu. Nasib kita sama,” lanjutnya. Yang spontan disusul tawa mengejek dari Rio.

***

            Shilla mengitari pekarangan rumah bercat hijau-putih tersebut sambil bertelanjang kaki dan menunduk-nunduk seperti anak babi. Sesekali, ia juga mendecak kesal.

“Lagi ngapain, Shill?”

Perempuan dengan kemeja hijau dan rok putih itu sontak mengangkat wajahnya dan menatap lelaki yang sudah berdiri di depannya saat ini. “Sendalku ilang. Perasaan semalem aku taro’ di sini, tapi sekarang gak ada. Males pake flat shoes, nih.”

Rio yang mengenakan  polo shirt abu-abu dan celana kargo berwarna senada itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Aku mau bantu sih, tapi mau buru-buru ke puskesmas. Hari ini disuruh ngedata pasien yang datang.”

Dahi Shilla berkerut dibuatnya. “Ih, tega banget! Bantu cariin, dong! Aku udah capek nyari sendiri,” keluhnya. Lengkap dengan wajah memelas.

Lelaki itu menghembuskan nafas sejenak. “Tunggu dulu,” ucapnya sambil melangkah memasuki rumah.

Dia mau kemana, coba? Dibilangin ilangnya di luar sini, malah masuk ke dalem. Ada-ada aja, dumelnya dalam hati. Kemudian kembali membungkuk dan mencari sampai ke bawah keset.

“Nyariin aku?”

Deg! Shilla seketika berbalik dan berhadapan dengan dada bidang milik tunangannya. Dari jarak sedekat ini, ia bisa dengan puas menikmati aroma parfum yang membuatnya sangat tergila-gila. Namun perempuan itu memilih mundur dua langkah. Lalu mendongak dan menatap kedua mata teduh milik Cakka dengan ekspresi datar. “Apa?”

Cakka menaikkan sebelah alis miliknya. “Katanya kamu nyariin aku.”

“Siapa bilang?”

“Rio.”

“Hah?” Maksudnya tuh anak apa, coba? Kurang ajar! batinnya. “Trus, sekarang Rio mana?” lanjutnya.

Lelaki berkemeja hijau dan celana kain hitam tersebut ikut celingukan. “Gak tau. Udah ke puskesmas, kali.”

Shilla tak menggubris lagi. Ia masih heran mengapa Rio tiba-tiba menyuruh Cakka mendatanginya. Bukannya laki-laki itu tahu bahwa ia masih kesal dengan tunangannya itu?

“Lagi nyari apa, sih?” heran lelaki tersebut.

“Bukan urusan kamu!”

Cakka mendengus sesaat. Lalu mengangkat bahunya. “Ya udah kalo gitu. Aku berangkat ke puskesmas duluan, ya! Klo udah dapetin apa yang kamu cari, langsung nyusul.”

Perempuan bertubuh mungil itu sukses melongo dibuatnya. Ia seketika berbalik, kemudian berkacak pinggang. “Heh, kamu emang gak peka atau cueknya kebangetan, sih?” hardiknya.

Lelaki itu kontan mundur selangkah dengan dahi berkerut, sembari mengelus dada. “Kamu kenapa teriak-teriak gitu? Emang salah aku apa?”

“Bodo! Bodooo! Pergi sana!!!” Ia langsung memasuki rumah.

Namun langkahnya terhenti saat Mama muncul dari dalam rumah. “Kamu kenapa teriak-teriak, sayang?” paniknya.

Shilla menghampiri Mama. Lalu berdiri menghadap tunangannya yang masih bergeming di teras depan. Wajahnya dipasang memelas. “Itu, Ma... Masa tadi aku minta tolong sama Cakka buat dicariin sendal yang semalem aku taro’ di sini, tapi dia gak mau? Dia malah mau ninggalin aku ke puskesmas duluan, Ma...” Ia mengembang-kempiskan hidungnya, seakan menahan tangis.

Mama serta-merta memandang putranya dengan tatapan membunuh. “Bener, Kka?”

“Loh, Mama nih gimana? Manggil Shilla aja pake ‘sayang’, masa ke aku ‘Kka’ doang?” Cakka tidak terima. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada bidang miliknya.

Shilla beringsut ke belakang tubuh Mama perlahan, mencari perlindungan. Masih dengan ekspresi sedih yang jelas saja dibuat-buat. “Ma, aku takut...” lirihnya.
Cakka melotot maksimal.

Mama malah melangkah mendekati anaknya. Kemudian sedetik kemudian, beliau dengan senang hati menjewer telinga kiri laki-laki dewasa tersebut.

“Aduh! Auwww! Mama ngapain, sih?” sorak Cakka sambil berusaha mengenyahkan cubitan wanita itu dari telinganya yang sudah memerah.

“Siapa suruh gak mau bantuin calon istri kamu? Hah?”

“Siapa yang gak mau bantuin? Dia gak ngomong apa-apa sama aku, Ma!”

“Boong! Cakka boong, Ma. Tadi dia yang nyuekin aku pas aku minta tolong,” sela perempuan itu buru-buru. Bibirnya manyun.

“Hah?” Lelaki itu menganga. “Kamu jangan fit– Auw, sakit tau, Ma!!!”

Mama pun melepaskan telunjuk dan jempolnya yang tadi menjepit telinga Cakka. 
“Kenapa? Kamu mau bilang kalo Shilla yang bohong sama Mama? Iya? Kamu bener-bener, ya! Udah gak mau ngebantuin dia, malah fitnah dia yang enggak-enggak. Mama gak nyangka kamu kayak gini, kka...” Wanita itu geleng-geleng kepala. Lalu berbalik dan mengelus pundak calon menantunya.

Shilla langsung memeluk Mama. Wajahnya yang menghadap Cakka seketika memeletkan lidah dan menggerakkan kedua bola matanya ke tengah.

Lelaki itu mendesis kesal, mencoba menahan amarah. Kemudian meninggalkan kedua wanita yang dicintainya tersebut dan melangkah memasuki rumah. 
Membuat Shilla dan Mama kontan melepaskan pelukan.

Sesaat kemudian, ia kembali dengan sendal berwarna biru bergambar chasper di genggamannya. “Nih, semalem aku taro’ di dalem. Takut ilang,” ucapnya seraya meletakkan sepasang benda itu di depan kaki mungil tunangannya.

Perempuan berjas dokter di depannya langsung memakai sendal miliknya dengan senyum lebar.

“Kamu ini bener-bener ya, Kka! Kamu nyembunyiin sendal Shilla, ya?” sorak Mama seraya berkacak pinggang. Matanya melotot.

Mata Cakka ikut membesar. Ia lalu melirik Shilla yang berusaha menahan tawa di sebelah wanita berjilbab tersebut.

Shilla berdehem sejenak. Mencoba menghalau tawanya yang sudah nyaris keluar. “Gak pa-pa kok, Ma. Yang penting sekarang aku udah bisa berangkat ke puskesmas. Keburu siang, nih.”

“Tuh, liat. Untung Shilla orangnya pemaaf. Awas kalo nanti kamu bikin calon menantu Mama ini sedih. Mama pecat kamu jadi anak!”

Kali ini, Shilla memilih membiarkan tawanya mengambang di udara. Tawa penuh kemenangan.

***

            Shilla turun dari motor ninja milik Cakka di halaman kecil puskesmas tersebut. Sebelum pergi tadi, Mama memaksa mereka untuk naik motor saja agar bisa sampai lebih cepat. Untungnya, sepanjang perjalanan mereka pun terlewati seperti biasa. Seakan tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.

“Aku masuk duluan, ya!” ujar perempuan itu sambil menyerahkan helm yang tadi dipakainya ke arah Cakka.

Sang tunangan meraihnya dan menaruhnya begitu saja di jok motornya. “Kita masuk bareng aja. Yuk!” balasnya sembari menggenggam jemari Shilla erat. Seakan menunjukkan pada dunia bahwa perempuan itu masih miliknya. Akan selalu menjadi miliknya.

Shilla menurut. Tenggelam dalam genggaman hangat tersebut. Genggaman yang menenangkan dan tentu saja sangat ia rindukan.

***

            Perempuan dengan long dress peach yang baru saja melepaskan stetoskop dari telinganya itu spontan menoleh dan melihat pusat keramaian di bagian depan puskesmas. Ke arah sepasang orang yang sama-sama mengenakan jas dokter dan kemeja hijau. Seketika, dahinya berkerut maksimal. Kemudian mengedarkan pandangannya, mencari seseorang.

“Rio!” serunya tertahan saat mendapati lelaki ber-polo shirt abu-abu tersebut juga sedang menatap pemandangan yang sama.

Lelaki itu langsung menoleh ketika Dokter Ify sudah berdiri di sebelahnya. Di dekat pintu masuk ruang pemeriksaan gigi yang lumayan sepi.

“Kok mereka bisa baikan lagi? Kenapa kamu gak ke sini bareng Shilla, sih?”

Rio mengembalikan pandangannya ke arah Shilla yang kini sedang tersipu karena jadi bahan godaan ibu-ibu yang sedang berada di ruang tunggu bagian depan puskesmas. Lalu menghela nafas panjang. “Malah saya yang bikin mereka berdua baikan, Dok.”

“Apa? Kamu udah gila, ya?”

“Maaf, Dok. Bukannya malah Dokter Ify yang gila gara-gara Dokter Cakka?” Lelaki itu menatap tepat ke manik mata coklat muda milik perempuan di depannya.

“Kamu! Siapa yang ngajarin kamu gak sopan gitu ke saya? Saya ini dosen kamu, Rio!” Dokter Ify buru-buru menghela nafas untuk mengontrol emosinya, sebelum orang-orang di sekitar mencurigai pembicaraan mereka. “Saya gak mau tau! Kita harus tetep bikin mereka jauh. Kamu mau bahagia atau enggak, sih?”

“Dokter, maaf beribu maaf, ya. Dokter tau arti bahagia yang sebenarnya gak, sih? Cinta itu kan bahagia ngeliat orang yang dicintainya bahagia walau bukan sama dia. See? Jadi Dokter bener-bener mau bahagia apa nyiksa diri sendiri karena obsesi?”

Deg! Perempuan berambut lurus kecoklatan tersebut kontan melotot. Kedua tangannya terkepal, kemudian sambil terkekeh pelan ia berkata, “Kamu mau berhenti dari perjanjian kita? Okay, fine! Asal kamu jangan ngemis-ngemis ke saya kalo kamu nantinya berubah pikiran!” Lalu membalikkan tubuh semampainya dan berjalan dengan langkah lebar ke dalam ruang pemeriksaan.

***

            “Eh, lo ngapain niruin kata-kata gue semalem? Dasar tukang copy-paste!” Angel tiba-tiba sudah berdiri di belakang Rio sambil cemberut dan melipat kedua tangan di depan dada.

Lelaki itu sontak berbalik dengan dahi berkerut. “Eh, elo keturunan jin apa emang suka nguping, sih? Ngagetin aja!” balasnya, sewot.

Angel langsung cekikikan. Kemudian menepuk pundak kiri Rio dengan tangan kanannya. “Gue bangga sama lo. Semoga lo gak berubah pikiran kayak ancaman terakhirnya Dokter Ify, ya!”

“Apaan sih lo! Gak usah sok sweet, deh.” Ia memilih beranjak meninggalkan perempuan berlesung pipi tersebut. Melangkah memasuki ruangan pemeriksaan gigi puskesmas.

Sepeninggalnya, Angel mengendikkan bahu tak acuh. Lalu menghampiri sahabatnya yang masih dikelilingi ibu-ibu di depan sana.

***

            Shilla menghentikan langkahnya di depan pintu kamar yang ditempati Cakka dan Rio. Lalu melongok ke dalam.

“Kenapa, sayang?” tanya lelaki berkacamata yang duduk di atas tempat tidur, menghadap pintu kamar tersebut.

Perempuan yang kini sudah mengenakan piyama polkadot berwarna kuning itu langsung masuk ke dalam kamar tapa permisi. Kemudian naik ke atas ranjang dan duduk bersila di depan tunangannya. “Aku bete. Angel lagi ngurusin pembukuan dari puskesmas, aku gak ada temen di kamar.”

Cakka tersenyum menenangkan. Lalu melepaskan kacamata yang sudah seharian ini membingkai kedua mata teduh miliknya. Ia menguap beberapa detik. “Gak sadar ya, kita udah mau balik aja.”

Shilla mengangguk. “Besok udah penutupan, kan? Dan aku bakal kembali ke rumah sakit bunda. Huh!”

Lelaki itu tertawa pelan. “Emang KKN kamu masih berapa lama lagi? Ngeluh mulu kerjaannya.”

“Tau, ah. Males ngitung.” Shilla memilih berbaring di sana. “Kamu tidur di kamarmu lagi aja. Aku sama Angel di sini. Bosen di situ terus,” lanjutnya.

Cakka ikut berbaring di sebelah tubuh mungil tunangannya. Menghadap Shilla dan menjadikan tangan kiri sebagai penyangga kepala. “Hm, gimana kalo kamu tidur di sini aja?”

Shilla kontan menoleh dengan senyum lebar. “Serius?”

Lelaki itu mengangguk mantap. “Asal tidurnya sama aku.”

“Huh!” Perempuan itu langsung mencubit pinggang tunangannya. “Kamu nih bener-bener, deh. Kapan bisa seriusnya, sih?”

Cakka mencoba mengelak sambil tertawa. Bukannya merasa sakit, ia malah menahan geli sekuat tenaga. “Itu tadi akunya lagi serius loh, sayang. Hahaha...”

“Kamu bisa bedain serius sama mesum, gak? Hah? Hah?” Shilla masih berusaha mencubiti pinggang Cakka dengan jemarinya. Hingga laki-laki itu berteriak minta ampun setengah mati. Sudut matanya pun sampai berair. Membuat perempuan tersebut semakin semangat mengerjainya.

***

            “Dokter Cakka! Shilla!”

Dua orang yang sedang asik bertukar tawa di dalam kamar itu sontak menoleh. Lalu menemukan wajah shock milik seorang perempuan cantik di sana.

“Kalian... ngapain berduaan di kamar begini?” tanyanya, teredam oleh telapak tangan yang ia gunakan untuk menutup mulut.

Shilla buru-buru merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk dalam posisi tegak. Ekspresinya tak kalah kaget dengan perempuan yang notabene adalah Dokter Ify tersebut. Sedangkan di sebelahnya, Cakka hanya mengerutkan dahi.

“Ini ada apa, sih?” Tiba-tiba, Mama muncul dari balik tubuh semampai Dokter Ify. Diikuti Angel dan Rio di belakangnya. Seketika, tatapan beliau terpaku pada sang anak dan calon menantu yang sedang duduk di atas ranjang bersama.

“Liat deh, Bu! Mereka... Mereka berduaan di kamar ini. Tadi saya liat mereka... Mereka guling-gulingan di atas ranjang, Bu. Mereka juga pelukan. Ini udah gak bener kan, Bu?” Dokter Ify menjelaskan dengan tergesa-gesa. Nafasnya memburu, belum bisa mengendalikan rasa kaget yang mendera.

Mama yang memperhatikan perempuan itu berbicara kembali menoleh dan menatap sang “tersangka” di dalam kamar. Shilla dengan muka merah yang menunduk. Dan Cakka yang memasang wajah tak bersalah.

“Ma, aku sama Shila–”

Wanita paruh baya yang mengenakan jilbab merah marun dan terusan senada tersebut mengibaskan tangan kanannya. Menyuruh Cakka menghentikan belaan yang bahkan belum sempat ia ucapkan. Kemudian menatap perempuan di sebelahnya. “Dokter Ify...”

Semua perhatian ikut tertuju pada objek pembicaraan Ibu Idha.

“Cakka sama Shilla itu udah dewasa. Mereka calon suami istri. Apa salahnya becanda di kamar berdua? Yang penting pintunya dibiarin kebuka, kan? Lagian saya juga yakin mereka bisa bertanggung jawab sama apapun pilihan mereka.Wong di sana aja mereka juga tinggal serumah, kok...” lanjut Mama, cool.

Shilla sontak mengangkat wajahnya yang semakin memerah.

Angel, Rio apalagi Dokter Ify, jangan ditanya lagi. Mulut mereka kompak menganga. Bersamaan.

“Jadi Dokter Ify gak usah musingin kehidupan mereka. Saya yang mamanya Cakka aja gak ambil pusing,” tutup beliau. Seraya melenggang meninggalkan kamar tersebut. Menuju kamarnya sendiri, tanpa menoleh sedikit pun.

Sepeninggal Ibu Idha, Shilla dan Angel bertukar pandang. Lalu sama-sama berusaha menahan tawa melihat ekspresi Dokter Ify. Hidung mancungnya yang kembang-kempis, bahu seksinya yang naik-turun, sampai wajah putih mulusnya yang berubah merah. Menahan amarah sekuat tenaga.

Dengan satu sentakan keras, perempuan itu balik badan dan meninggalkan keempat orang yang langsung saja tertawa puas tanpa bisa dicegah lagi itu.

Tanpa kentara, Angel melirik Rio yang sedang tertawa lebar di sebelahnya. 
Tawa lepas yang pertama kali ia dapati dari lelaki itu. Sekaligus menjadi alasan sesuatu yang tiba-tiba mengusik di hatinya. Entah apa.

***

            “Udah gak ada yang kelupaan kan, sayang?” tanya Mama yang duduk di samping Shilla.

Perempuan ber-cardigan putih tulang itu kembali meneliti isi tasnya. Mengetuk-ngetuk dagu sejenak, kemudian tersenyum simpul. “Udah lengkap kok, Ma...” balasnya. “Hm, sebenernya aku masih mau tinggal di sini. Tapi aku harus balik buat nyelesaiin KKN, Ma.”

Mama langsung memeluk tubuh mungil itu. Mendekapnya erat, seakan tak ingin dilepas. Tanpa permisi pun, butiran bening sudah mengaliri pipi mulus keduanya.

“Loh, apa-apaan, nih?” Suara Cakka kontan merusah moment haru kedua wanita tersebut.

Mama menyeka air matanya pelan. “Cakka, abis ini kamu pasti bawa Shilla ke sini lagi, kan?” tanyanya dengan suara serak. Khas orang yang baru saja menangis.

“Ya iyalah, Ma. Mama jangan sentimental gitu, ah. Kayak rumah ini sama rumah Shilla nyeberang benua aja.” Lelaki itu meraih koper milik tunangannya ke luar kamar.

Mama dan Shilla mengikuti dari belakang.

“Kalian berdua aja kan di mobilnya?” tanya Mama lagi, tepat saat mereka sudah sampai di depan pintu rumah. “Mama udah gerah seminggu ini liat dokter ganjen itu.”

“Hus, Mama nih!” tegus Cakka.

Shilla hanya tersenyum sekilas.

“Iya, iya... Kalian hati-hati, ya! Kamu nyetir mobilnya jangan ngebut. Pake seatbelt biar safety. Jangan becanda yang heboh kalo di jalan. Trus–”

“Siap, Ma.” Lelaki bersweater coklat itu buru-buru mencium pipi mamanya sebelum memperpanjang ceramah. “Mama tumben banget sih ngasih wejangan sebelum pergi gini. Biasanya juga santai banget.”

Mama merangkul bahu calon menantunya. “Gak tau. Kok rasanya Mama gak rela pisah sama Shilla, ya? Kamu bisa tunda jadwal KKN-nya Shilla, gak? Kamu kan dosen, Kka.”

Perempuan mungil tersebut buru-buru mengangguk mantap. Mengamini kata-kata sang calon mertua. Dilengkapi wajah memelas, agar tunangannya ikut tergugah dan mengabulkan keinginannya.

“Gak bisa, Ma. Dia aja udah izin seminggu. Masa mau ditambah lagi? Kecuali dia mau ngulang taun depan,” ujar Cakka sembari memasukkan kopernya dan koper Shilla ke dalam bagasi mobil.

Di belakangnya, kedua perempuan tersebut kembali berpelukan.

“Kamu hati-hati ya, sayang...” lirih Mama sambil mengusap punggung Shilla.

“Iya. Mama juga hati-hati di sini. Aku pasti bakalan rindu banget sama Mama...” Ia balas berbisik. Sepenuh hati.

***

            Hujan deras mengiringi perjalanan pulang Cakka dan Shilla.
“Kamu gak mau tidur?” tanya lelaki itu sambil melirik tunangannya yang sedang asik melukis sesuatu di kaca mobil yang berembun.

Shilla langsung menoleh. Memperlihatkan gambar seorang laki-laki dan perempuan sedang bergenggaman tangan dan tersenyum lebar dengan gambar hati di sekitarnya. “Enggak ngantuk.” Ia lalu membuka dashboard mobil, meraih CD Ten 2 Five dari dalam sana. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di sana.

You stood in the rain
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
           
            Lagu Don’t Say Goodbye terlantun perlahan.

Will you call me when you get there?
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again

            Shilla dan Cakka langsung bernyanyi bersama.

Baby please don’t say goodbye
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here

Sementara intro mengalun, Cakka menggenggam jemari Shilla. Lalu mengecupnya perlahan. Penuh rasa sayang dan kelembutan. Seakan tak ingin merusaknya. “I love you...”

            Perempuan di sebelahnya tersenyum lebar. Mengangguk, dan menjawab, “I... love you too.”

Tiba-tiba, dari arah tikungan pada arah berlawanan, sebuah truk muncul dan mengambil jalur yang dilalui mobil mereka. Sontak saja Cakka melepaskan genggaman pada tangan tunangannya. Kemudian buru-buru menginjak rem, tapi... “Loh, ini kenapa? Remnya blong, sayang!”

Shilla kontan histeris. “Truknya makin deket, sayang! Putar stirnya! Cepetannn!”

Cakka langsung memutar stir ke arah kiri. Kondisi jalanan yang licin karena hujan deras dan rem yang tidak berfungsi malah membuat mobil berwarna silver metalik itu tergelincir menabrak pembatas jalan sejauh sepuluh meter. Seakan tak cukup, mobil tersebut berguling beberapa kali. Sampai berhenti dalam keadaan bagian bawah mobil berada di atas. Dan ringsek sedemikian rupa.

Lelaki itu mengembalikan kesadarannya saat mobil berhenti berguncang. Lalu melirik ke jok di sebelahnya, mencari perempuan yang baru saja mengatakan ‘I love you’ padanya beberapa saat lalu. Namun... “Shilla? SHILLAAA? KAMU DIMANAA?”

Baby please don’t say goodbye
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here
♫♪

*TBC*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Remember Me #1 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi TUNANGAN? Karena cinta... Tidak akan pernah saling melupakan. Shilla keluar dari gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.             Tiba-tiba, seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja turun dari mobil silver langsung menghampirinya.             “SURPRISEEEEE!!!” sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya. Tepat di hadapan Shilla.             Shilla menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh dengan tingkah lelaki tersebut.  ...

Remember Me #9 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi “Kamu ngomong apa, sih?” sorak Cakka, meluapkan emosinya. Seharian ini ia sudah dibuat stress gara-gara masalah rumah sakit, kampus, mobil mogok, Shilla tiba-tiba menghilang dan pulang bersama Rio, sekarang apa lagi? Perempuan itu membatalkan pertunangan? Apa tidak cukup masalahnya seharian ini? “Pertunangan ini gak bisa aku lanjutin lagi,” balas Shilla. “Maafin aku selama ini.” “Shilla, please... Kamu kenapa? Oke, aku minta maaf. Kamu boleh nyuruh aku apa aja. Kamu boleh mukul aku sampe babak belur sekalipun, tapi kamu jangan mutusin sesuatu dengan gampang!” Cakka membekap kepalanya sendiri. Membuat rambutnya yang sudah menutupi telinga jadi berantakan. Perempuan itu terdiam. “Asal kamu tau, kita udah tunangan enam tahun ini. Kamu pikir gampang memutuskan semuanya dalam waktu beberapa menit aja? Hah?” seru Cakka, frustasi. “Aku gak inget apapun tentang kamu.” “Iya, aku tau! Trus kamu pikir aku bakal nerima keputusan ka...

Remember Me #ENDING Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi             Rio menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Ngel... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Shilla langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!” Angel semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Shilla. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini. Hiks...” Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which is sembilan tahun yang lalu,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Shilla biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.” Perempuan berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi. “Rio bener, Ngel. Shilla butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Cakka ikut menatap na...