Oleh
Dokter Ify sedang
menyibukkan diri di teras belakang rumah Cakka. Telunjuk tangan kanannya sibuk
mengelus layar I-pad di genggamannya dengan kasar. Mencoba melenyapkan semua
babi berwarna hijau di sana menggunakan bantuan sekelompok burung kuning dalam
game angry bird.
“Pokoknya saya gak
terima! Saya gak bakal biarin mereka bahagia! Gimanapun caranya!!!” lirih
perempuan itu dengan segenap emosi jiwa.
Laki-laki yang ikut
duduk di sebelahnya hanya menghela nafas panjang seraya mendongak. Menatap
keindahan malam dengan cahaya bulan purnama dan jutaan bintang di atas sana.
“Kamu ngomong dong,
Rio! Kamu punya ide lagi gak buat misahin Dokter Cakka sama shilla?” Dokter Ify
kembali mendesis kesal.
Rio menoleh dan ganti
menatapnya. Menatap keindahan lain dari malam hari di tempat itu, namun dalam
versi agak menyeramkan. Lagi-lagi, ia menghela nafas panjang. “Apa gak
sebaiknya... kita give up aja, Dok? Tadi Dokter denger sendiri kan yang
diomongin Bu Idha? Beliau gak bakal ngizinin anaknya menikah sama perempuan
selain Shilla.”
“Gak ada yang gak
mungkin, Rio. Kamu harus inget itu!”
“Tapi kita juga gak
bisa menyalahi takdir Tuhan kan, Dok? Kita cuma manusia yang bisanya
merencanakan. Malah saya pikir, kita udah dalam konteks memaksakan sekarang.”
Perempuan itu seketika
meliriknya denga pandangan tajam. “Kamu itu laki-laki kan, Rio? Masa cuma karna
ini kamu udah hopeless? Saya gak mau tau, pokoknya kita harus tetep bikin
mereka pisah. Titik!” tandas Dokter Ify sembari buru-buru berdiri, kemudian
melangkah memasuki rumah. Meninggalkan Rio.
***
“Gue udah denger semuanya...” Sebuah suara muncul di sebelah kanan lelaki bersweater
coklat tua tersebut.
Rio kontan menoleh dan
menemukan perempuan berlesung pipi sudah duduk di sampingnya, menggantikan
posisi Dokter Ify beberapa menit lalu.
“Gue udah curiga dari
awal. Kalian pasti punya niat jahat sama Shilla dan Dokter Cakka. Tapi gue gak
nyangka rencana kalian bisa sepicik ini. Jahat banget, tau gak!” sambung
perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Angel itu.
Lelaki di sebelahnya
tersenyum sekilas. “Gue juga baru tau kalo lo suka nguping pembicaraan orang,”
balasnya. Lalu mengembalikan perhatiannya ke langit di atas mereka.
Angel mencibir
sejenak. “Lo kenapa segitu sayangnya sama Shilla, sih? Sampe mau ngerusak
kebahagiaan mereka,” tanyanya.
“Gue gak punya niat
kayak gitu sedikit pun, Ngel. Cuma karna Dokter Ify nawarin, jadi gue ngikut
aja. Mumpung Shilla masih amnesia, kan?” Farhan tertawa getir di ujung
kalimatnya. “Tapi setelah gue pikir-pikir, gue emang jahat, ya?”
“Emang jahat! Lo gak
pernah denger istilah ‘cinta itu bahagia melihat orang yang dicintainya bahagia,
walau bukan bersamanya’? Nah, harusnya lo juga kayak gitu!”
“Bawel lo, ah.
Emangnya lo pernah jatuh cinta kayak gue?” Rio meliriknya dengan pandangan
meremehkan.
“Sialan! Ya pernah,
dong!” Angel langsung meninju bahu kekar milik lelaki di sampingnya. “Tapi yaa,
gitu. Nasib kita sama,” lanjutnya. Yang spontan disusul tawa mengejek dari Rio.
***
Shilla mengitari pekarangan rumah bercat hijau-putih tersebut sambil
bertelanjang kaki dan menunduk-nunduk seperti anak babi. Sesekali, ia juga
mendecak kesal.
“Lagi ngapain, Shill?”
Perempuan dengan
kemeja hijau dan rok putih itu sontak mengangkat wajahnya dan menatap lelaki
yang sudah berdiri di depannya saat ini. “Sendalku ilang. Perasaan semalem aku
taro’ di sini, tapi sekarang gak ada. Males pake flat shoes, nih.”
Rio yang
mengenakan polo shirt abu-abu dan celana kargo berwarna senada itu
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Aku mau bantu sih, tapi mau
buru-buru ke puskesmas. Hari ini disuruh ngedata pasien yang datang.”
Dahi Shilla berkerut
dibuatnya. “Ih, tega banget! Bantu cariin, dong! Aku udah capek nyari sendiri,”
keluhnya. Lengkap dengan wajah memelas.
Lelaki itu
menghembuskan nafas sejenak. “Tunggu dulu,” ucapnya sambil melangkah memasuki
rumah.
Dia
mau kemana, coba? Dibilangin ilangnya di luar sini, malah masuk ke dalem.
Ada-ada aja, dumelnya dalam hati.
Kemudian kembali membungkuk dan mencari sampai ke bawah keset.
“Nyariin aku?”
Deg! Shilla seketika
berbalik dan berhadapan dengan dada bidang milik tunangannya. Dari jarak
sedekat ini, ia bisa dengan puas menikmati aroma parfum yang membuatnya sangat
tergila-gila. Namun perempuan itu memilih mundur dua langkah. Lalu mendongak
dan menatap kedua mata teduh milik Cakka dengan ekspresi datar. “Apa?”
Cakka menaikkan
sebelah alis miliknya. “Katanya kamu nyariin aku.”
“Siapa bilang?”
“Rio.”
“Hah?” Maksudnya
tuh anak apa, coba? Kurang ajar! batinnya. “Trus, sekarang Rio mana?”
lanjutnya.
Lelaki berkemeja hijau
dan celana kain hitam tersebut ikut celingukan. “Gak tau. Udah ke puskesmas,
kali.”
Shilla tak menggubris
lagi. Ia masih heran mengapa Rio tiba-tiba menyuruh Cakka mendatanginya.
Bukannya laki-laki itu tahu bahwa ia masih kesal dengan tunangannya itu?
“Lagi nyari apa, sih?”
heran lelaki tersebut.
“Bukan urusan kamu!”
Cakka mendengus
sesaat. Lalu mengangkat bahunya. “Ya udah kalo gitu. Aku berangkat ke puskesmas
duluan, ya! Klo udah dapetin apa yang kamu cari, langsung nyusul.”
Perempuan bertubuh
mungil itu sukses melongo dibuatnya. Ia seketika berbalik, kemudian berkacak
pinggang. “Heh, kamu emang gak peka atau cueknya kebangetan, sih?” hardiknya.
Lelaki itu kontan
mundur selangkah dengan dahi berkerut, sembari mengelus dada. “Kamu kenapa
teriak-teriak gitu? Emang salah aku apa?”
“Bodo! Bodooo! Pergi
sana!!!” Ia langsung memasuki rumah.
Namun langkahnya
terhenti saat Mama muncul dari dalam rumah. “Kamu kenapa teriak-teriak,
sayang?” paniknya.
Shilla menghampiri
Mama. Lalu berdiri menghadap tunangannya yang masih bergeming di teras depan.
Wajahnya dipasang memelas. “Itu, Ma... Masa tadi aku minta tolong sama Cakka
buat dicariin sendal yang semalem aku taro’ di sini, tapi dia gak mau? Dia
malah mau ninggalin aku ke puskesmas duluan, Ma...” Ia mengembang-kempiskan
hidungnya, seakan menahan tangis.
Mama serta-merta
memandang putranya dengan tatapan membunuh. “Bener, Kka?”
“Loh, Mama nih gimana?
Manggil Shilla aja pake ‘sayang’, masa ke aku ‘Kka’ doang?” Cakka tidak terima.
Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada bidang miliknya.
Shilla beringsut ke
belakang tubuh Mama perlahan, mencari perlindungan. Masih dengan ekspresi sedih
yang jelas saja dibuat-buat. “Ma, aku takut...” lirihnya.
Cakka melotot
maksimal.
Mama malah melangkah
mendekati anaknya. Kemudian sedetik kemudian, beliau dengan senang hati
menjewer telinga kiri laki-laki dewasa tersebut.
“Aduh! Auwww! Mama
ngapain, sih?” sorak Cakka sambil berusaha mengenyahkan cubitan wanita itu dari
telinganya yang sudah memerah.
“Siapa suruh gak mau
bantuin calon istri kamu? Hah?”
“Siapa yang gak mau
bantuin? Dia gak ngomong apa-apa sama aku, Ma!”
“Boong! Cakka boong,
Ma. Tadi dia yang nyuekin aku pas aku minta tolong,” sela perempuan itu
buru-buru. Bibirnya manyun.
“Hah?” Lelaki itu
menganga. “Kamu jangan fit– Auw, sakit tau, Ma!!!”
Mama pun melepaskan
telunjuk dan jempolnya yang tadi menjepit telinga Cakka.
“Kenapa? Kamu mau
bilang kalo Shilla yang bohong sama Mama? Iya? Kamu bener-bener, ya! Udah gak
mau ngebantuin dia, malah fitnah dia yang enggak-enggak. Mama gak nyangka kamu
kayak gini, kka...” Wanita itu geleng-geleng kepala. Lalu berbalik dan mengelus
pundak calon menantunya.
Shilla langsung
memeluk Mama. Wajahnya yang menghadap Cakka seketika memeletkan lidah dan
menggerakkan kedua bola matanya ke tengah.
Lelaki itu mendesis
kesal, mencoba menahan amarah. Kemudian meninggalkan kedua wanita yang
dicintainya tersebut dan melangkah memasuki rumah.
Membuat Shilla dan
Mama kontan melepaskan pelukan.
Sesaat kemudian, ia
kembali dengan sendal berwarna biru bergambar chasper di genggamannya. “Nih,
semalem aku taro’ di dalem. Takut ilang,” ucapnya seraya meletakkan sepasang
benda itu di depan kaki mungil tunangannya.
Perempuan berjas
dokter di depannya langsung memakai sendal miliknya dengan senyum lebar.
“Kamu ini bener-bener
ya, Kka! Kamu nyembunyiin sendal Shilla, ya?” sorak Mama seraya berkacak
pinggang. Matanya melotot.
Mata Cakka ikut
membesar. Ia lalu melirik Shilla yang berusaha menahan tawa di sebelah wanita
berjilbab tersebut.
Shilla berdehem
sejenak. Mencoba menghalau tawanya yang sudah nyaris keluar. “Gak pa-pa kok,
Ma. Yang penting sekarang aku udah bisa berangkat ke puskesmas. Keburu siang,
nih.”
“Tuh, liat. Untung
Shilla orangnya pemaaf. Awas kalo nanti kamu bikin calon menantu Mama ini
sedih. Mama pecat kamu jadi anak!”
Kali ini, Shilla
memilih membiarkan tawanya mengambang di udara. Tawa penuh kemenangan.
***
Shilla turun dari motor ninja milik Cakka di halaman kecil puskesmas tersebut.
Sebelum pergi tadi, Mama memaksa mereka untuk naik motor saja agar bisa sampai
lebih cepat. Untungnya, sepanjang perjalanan mereka pun terlewati seperti
biasa. Seakan tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
“Aku masuk duluan,
ya!” ujar perempuan itu sambil menyerahkan helm yang tadi dipakainya ke arah
Cakka.
Sang tunangan meraihnya
dan menaruhnya begitu saja di jok motornya. “Kita masuk bareng aja. Yuk!”
balasnya sembari menggenggam jemari Shilla erat. Seakan menunjukkan pada dunia
bahwa perempuan itu masih miliknya. Akan selalu menjadi miliknya.
Shilla menurut.
Tenggelam dalam genggaman hangat tersebut. Genggaman yang menenangkan dan tentu
saja sangat ia rindukan.
***
Perempuan dengan long dress peach yang baru saja melepaskan stetoskop dari
telinganya itu spontan menoleh dan melihat pusat keramaian di bagian depan
puskesmas. Ke arah sepasang orang yang sama-sama mengenakan jas dokter dan
kemeja hijau. Seketika, dahinya berkerut maksimal. Kemudian mengedarkan
pandangannya, mencari seseorang.
“Rio!” serunya
tertahan saat mendapati lelaki ber-polo shirt abu-abu tersebut juga sedang
menatap pemandangan yang sama.
Lelaki itu langsung
menoleh ketika Dokter Ify sudah berdiri di sebelahnya. Di dekat pintu masuk
ruang pemeriksaan gigi yang lumayan sepi.
“Kok mereka bisa
baikan lagi? Kenapa kamu gak ke sini bareng Shilla, sih?”
Rio mengembalikan
pandangannya ke arah Shilla yang kini sedang tersipu karena jadi bahan godaan
ibu-ibu yang sedang berada di ruang tunggu bagian depan puskesmas. Lalu
menghela nafas panjang. “Malah saya yang bikin mereka berdua baikan, Dok.”
“Apa? Kamu udah gila,
ya?”
“Maaf, Dok. Bukannya
malah Dokter Ify yang gila gara-gara Dokter Cakka?” Lelaki itu menatap tepat ke
manik mata coklat muda milik perempuan di depannya.
“Kamu! Siapa yang
ngajarin kamu gak sopan gitu ke saya? Saya ini dosen kamu, Rio!” Dokter Ify
buru-buru menghela nafas untuk mengontrol emosinya, sebelum orang-orang di
sekitar mencurigai pembicaraan mereka. “Saya gak mau tau! Kita harus tetep
bikin mereka jauh. Kamu mau bahagia atau enggak, sih?”
“Dokter, maaf beribu
maaf, ya. Dokter tau arti bahagia yang sebenarnya gak, sih? Cinta itu kan
bahagia ngeliat orang yang dicintainya bahagia walau bukan sama dia. See? Jadi
Dokter bener-bener mau bahagia apa nyiksa diri sendiri karena obsesi?”
Deg! Perempuan
berambut lurus kecoklatan tersebut kontan melotot. Kedua tangannya terkepal,
kemudian sambil terkekeh pelan ia berkata, “Kamu mau berhenti dari perjanjian
kita? Okay, fine! Asal kamu jangan ngemis-ngemis ke saya kalo kamu nantinya
berubah pikiran!” Lalu membalikkan tubuh semampainya dan berjalan dengan
langkah lebar ke dalam ruang pemeriksaan.
***
“Eh, lo ngapain niruin kata-kata gue semalem? Dasar tukang copy-paste!” Angel
tiba-tiba sudah berdiri di belakang Rio sambil cemberut dan melipat kedua
tangan di depan dada.
Lelaki itu sontak
berbalik dengan dahi berkerut. “Eh, elo keturunan jin apa emang suka nguping,
sih? Ngagetin aja!” balasnya, sewot.
Angel langsung
cekikikan. Kemudian menepuk pundak kiri Rio dengan tangan kanannya. “Gue bangga
sama lo. Semoga lo gak berubah pikiran kayak ancaman terakhirnya Dokter Ify,
ya!”
“Apaan sih lo! Gak
usah sok sweet, deh.” Ia memilih beranjak meninggalkan perempuan berlesung pipi
tersebut. Melangkah memasuki ruangan pemeriksaan gigi puskesmas.
Sepeninggalnya, Angel
mengendikkan bahu tak acuh. Lalu menghampiri sahabatnya yang masih dikelilingi
ibu-ibu di depan sana.
***
Shilla menghentikan langkahnya di depan pintu kamar yang ditempati Cakka dan
Rio. Lalu melongok ke dalam.
“Kenapa, sayang?”
tanya lelaki berkacamata yang duduk di atas tempat tidur, menghadap pintu kamar
tersebut.
Perempuan yang kini
sudah mengenakan piyama polkadot berwarna kuning itu langsung masuk ke dalam
kamar tapa permisi. Kemudian naik ke atas ranjang dan duduk bersila di depan
tunangannya. “Aku bete. Angel lagi ngurusin pembukuan dari puskesmas, aku gak
ada temen di kamar.”
Cakka tersenyum
menenangkan. Lalu melepaskan kacamata yang sudah seharian ini membingkai kedua
mata teduh miliknya. Ia menguap beberapa detik. “Gak sadar ya, kita udah mau
balik aja.”
Shilla mengangguk.
“Besok udah penutupan, kan? Dan aku bakal kembali ke rumah sakit bunda. Huh!”
Lelaki itu tertawa
pelan. “Emang KKN kamu masih berapa lama lagi? Ngeluh mulu kerjaannya.”
“Tau, ah. Males
ngitung.” Shilla memilih berbaring di sana. “Kamu tidur di kamarmu lagi aja.
Aku sama Angel di sini. Bosen di situ terus,” lanjutnya.
Cakka ikut berbaring
di sebelah tubuh mungil tunangannya. Menghadap Shilla dan menjadikan tangan
kiri sebagai penyangga kepala. “Hm, gimana kalo kamu tidur di sini aja?”
Shilla kontan menoleh
dengan senyum lebar. “Serius?”
Lelaki itu mengangguk
mantap. “Asal tidurnya sama aku.”
“Huh!” Perempuan itu
langsung mencubit pinggang tunangannya. “Kamu nih bener-bener, deh. Kapan bisa
seriusnya, sih?”
Cakka mencoba mengelak
sambil tertawa. Bukannya merasa sakit, ia malah menahan geli sekuat tenaga.
“Itu tadi akunya lagi serius loh, sayang. Hahaha...”
“Kamu bisa bedain
serius sama mesum, gak? Hah? Hah?” Shilla masih berusaha mencubiti pinggang
Cakka dengan jemarinya. Hingga laki-laki itu berteriak minta ampun setengah
mati. Sudut matanya pun sampai berair. Membuat perempuan tersebut semakin
semangat mengerjainya.
***
“Dokter Cakka! Shilla!”
Dua orang yang sedang
asik bertukar tawa di dalam kamar itu sontak menoleh. Lalu menemukan wajah
shock milik seorang perempuan cantik di sana.
“Kalian... ngapain
berduaan di kamar begini?” tanyanya, teredam oleh telapak tangan yang ia
gunakan untuk menutup mulut.
Shilla buru-buru
merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk dalam posisi tegak. Ekspresinya
tak kalah kaget dengan perempuan yang notabene adalah Dokter Ify tersebut.
Sedangkan di sebelahnya, Cakka hanya mengerutkan dahi.
“Ini ada apa, sih?”
Tiba-tiba, Mama muncul dari balik tubuh semampai Dokter Ify. Diikuti Angel dan
Rio di belakangnya. Seketika, tatapan beliau terpaku pada sang anak dan calon
menantu yang sedang duduk di atas ranjang bersama.
“Liat deh, Bu!
Mereka... Mereka berduaan di kamar ini. Tadi saya liat mereka... Mereka
guling-gulingan di atas ranjang, Bu. Mereka juga pelukan. Ini udah gak bener
kan, Bu?” Dokter Ify menjelaskan dengan tergesa-gesa. Nafasnya memburu, belum
bisa mengendalikan rasa kaget yang mendera.
Mama yang
memperhatikan perempuan itu berbicara kembali menoleh dan menatap sang
“tersangka” di dalam kamar. Shilla dengan muka merah yang menunduk. Dan Cakka
yang memasang wajah tak bersalah.
“Ma, aku sama Shila–”
Wanita paruh baya yang
mengenakan jilbab merah marun dan terusan senada tersebut mengibaskan tangan
kanannya. Menyuruh Cakka menghentikan belaan yang bahkan belum sempat ia
ucapkan. Kemudian menatap perempuan di sebelahnya. “Dokter Ify...”
Semua perhatian ikut
tertuju pada objek pembicaraan Ibu Idha.
“Cakka sama Shilla itu
udah dewasa. Mereka calon suami istri. Apa salahnya becanda di kamar berdua?
Yang penting pintunya dibiarin kebuka, kan? Lagian saya juga yakin mereka bisa
bertanggung jawab sama apapun pilihan mereka.Wong di sana aja mereka juga
tinggal serumah, kok...” lanjut Mama, cool.
Shilla sontak
mengangkat wajahnya yang semakin memerah.
Angel, Rio apalagi
Dokter Ify, jangan ditanya lagi. Mulut mereka kompak menganga. Bersamaan.
“Jadi Dokter Ify gak
usah musingin kehidupan mereka. Saya yang mamanya Cakka aja gak ambil pusing,”
tutup beliau. Seraya melenggang meninggalkan kamar tersebut. Menuju kamarnya
sendiri, tanpa menoleh sedikit pun.
Sepeninggal Ibu Idha,
Shilla dan Angel bertukar pandang. Lalu sama-sama berusaha menahan tawa melihat
ekspresi Dokter Ify. Hidung mancungnya yang kembang-kempis, bahu seksinya yang
naik-turun, sampai wajah putih mulusnya yang berubah merah. Menahan amarah
sekuat tenaga.
Dengan satu sentakan
keras, perempuan itu balik badan dan meninggalkan keempat orang yang langsung
saja tertawa puas tanpa bisa dicegah lagi itu.
Tanpa kentara, Angel
melirik Rio yang sedang tertawa lebar di sebelahnya.
Tawa lepas yang
pertama kali ia dapati dari lelaki itu. Sekaligus menjadi alasan sesuatu yang
tiba-tiba mengusik di hatinya. Entah apa.
***
“Udah gak ada yang kelupaan kan, sayang?” tanya Mama yang duduk di samping
Shilla.
Perempuan ber-cardigan
putih tulang itu kembali meneliti isi tasnya. Mengetuk-ngetuk dagu sejenak,
kemudian tersenyum simpul. “Udah lengkap kok, Ma...” balasnya. “Hm, sebenernya
aku masih mau tinggal di sini. Tapi aku harus balik buat nyelesaiin KKN, Ma.”
Mama langsung memeluk
tubuh mungil itu. Mendekapnya erat, seakan tak ingin dilepas. Tanpa permisi
pun, butiran bening sudah mengaliri pipi mulus keduanya.
“Loh, apa-apaan, nih?”
Suara Cakka kontan merusah moment haru kedua wanita tersebut.
Mama menyeka air
matanya pelan. “Cakka, abis ini kamu pasti bawa Shilla ke sini lagi, kan?”
tanyanya dengan suara serak. Khas orang yang baru saja menangis.
“Ya iyalah, Ma. Mama
jangan sentimental gitu, ah. Kayak rumah ini sama rumah Shilla nyeberang benua
aja.” Lelaki itu meraih koper milik tunangannya ke luar kamar.
Mama dan Shilla
mengikuti dari belakang.
“Kalian berdua aja kan
di mobilnya?” tanya Mama lagi, tepat saat mereka sudah sampai di depan pintu
rumah. “Mama udah gerah seminggu ini liat dokter ganjen itu.”
“Hus, Mama nih!” tegus
Cakka.
Shilla hanya tersenyum
sekilas.
“Iya, iya... Kalian
hati-hati, ya! Kamu nyetir mobilnya jangan ngebut. Pake seatbelt biar safety.
Jangan becanda yang heboh kalo di jalan. Trus–”
“Siap, Ma.” Lelaki
bersweater coklat itu buru-buru mencium pipi mamanya sebelum memperpanjang
ceramah. “Mama tumben banget sih ngasih wejangan sebelum pergi gini. Biasanya
juga santai banget.”
Mama merangkul bahu
calon menantunya. “Gak tau. Kok rasanya Mama gak rela pisah sama Shilla, ya?
Kamu bisa tunda jadwal KKN-nya Shilla, gak? Kamu kan dosen, Kka.”
Perempuan mungil
tersebut buru-buru mengangguk mantap. Mengamini kata-kata sang calon mertua.
Dilengkapi wajah memelas, agar tunangannya ikut tergugah dan mengabulkan
keinginannya.
“Gak bisa, Ma. Dia aja
udah izin seminggu. Masa mau ditambah lagi? Kecuali dia mau ngulang taun
depan,” ujar Cakka sembari memasukkan kopernya dan koper Shilla ke dalam bagasi
mobil.
Di belakangnya, kedua perempuan
tersebut kembali berpelukan.
“Kamu hati-hati ya,
sayang...” lirih Mama sambil mengusap punggung Shilla.
“Iya. Mama juga
hati-hati di sini. Aku pasti bakalan rindu banget sama Mama...” Ia balas
berbisik. Sepenuh hati.
***
Hujan deras mengiringi perjalanan pulang Cakka dan Shilla.
“Kamu gak mau tidur?”
tanya lelaki itu sambil melirik tunangannya yang sedang asik melukis sesuatu di
kaca mobil yang berembun.
Shilla langsung
menoleh. Memperlihatkan gambar seorang laki-laki dan perempuan sedang
bergenggaman tangan dan tersenyum lebar dengan gambar hati di sekitarnya.
“Enggak ngantuk.” Ia lalu membuka dashboard mobil, meraih CD Ten 2 Five dari
dalam sana. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di sana.
You
stood in the rain
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
Lagu Don’t Say Goodbye terlantun perlahan.
Will
you call me when you get there?
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again
Shilla dan Cakka langsung bernyanyi bersama.
Baby
please don’t say goodbye
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here
Sementara intro
mengalun, Cakka menggenggam jemari Shilla. Lalu mengecupnya perlahan. Penuh
rasa sayang dan kelembutan. Seakan tak ingin merusaknya. “I love you...”
Perempuan di sebelahnya tersenyum lebar. Mengangguk, dan menjawab, “I... love
you too.”
Tiba-tiba, dari arah
tikungan pada arah berlawanan, sebuah truk muncul dan mengambil jalur yang
dilalui mobil mereka. Sontak saja Cakka melepaskan genggaman pada tangan
tunangannya. Kemudian buru-buru menginjak rem, tapi... “Loh, ini kenapa? Remnya
blong, sayang!”
Shilla kontan
histeris. “Truknya makin deket, sayang! Putar stirnya! Cepetannn!”
Cakka langsung memutar
stir ke arah kiri. Kondisi jalanan yang licin karena hujan deras dan rem yang
tidak berfungsi malah membuat mobil berwarna silver metalik itu tergelincir
menabrak pembatas jalan sejauh sepuluh meter. Seakan tak cukup, mobil tersebut
berguling beberapa kali. Sampai berhenti dalam keadaan bagian bawah mobil
berada di atas. Dan ringsek sedemikian rupa.
Lelaki itu
mengembalikan kesadarannya saat mobil berhenti berguncang. Lalu melirik ke jok
di sebelahnya, mencari perempuan yang baru saja mengatakan ‘I love you’ padanya
beberapa saat lalu. Namun... “Shilla? SHILLAAA? KAMU DIMANAA?”
Baby
please don’t say goodbye
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here ♫♪
I love you to much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here ♫♪
*TBC*
Komentar
Posting Komentar