Langsung ke konten utama

Remember Me #10 Versi CakShill



Oleh

Shilla menuruni bus dengan wajah kusut, khas baru bangun tidur. Rambut sepunggung miliknya dibiarkan acak-acakan. Di belakangnya, sosok Rio dan Angel mengikuti.
“Shillaaa!” Seorang wanita berjilbab muncul dari dalam rumah bercat hijau-putih dengan senyum mengembang.
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu seketika menoleh. Senyumnya ikut mengembang saat menyadari siapa yang meneriakkan namanya tadi. “Mamaaa!” Ia pun berlari dan menghambur ke pelukan wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mama Cakka tersebut.
Mama yang siang itu mengenakan jilbab krem dan terusan coklat tua polos mengelus punggung calon menantunya yang sedang beliau peluk. Kemudian melepaskannya beberapa saat kemudian. “Gimana perjalanannya? Capek, ya?”
Shilla menggeleng mantap. “Enggak kok, Ma. Kan mau ketemu sama Mama, jadi bawaannya semangat.”
“Aduh, sekarang udah pinter ngegombal, ya!” Mama menjawil hidung perempuan itu, gemas.
“Ehem.”
Wanita berjilbab tersebut langsung menoleh saat mendengar deheman yang khas itu. Milik putra semata wayangnya. Membuat beliau kontan berbalik dan memeluk erat laki-laki yang jelas lebih tinggi darinya tersebut.
Cakka memeluknya dengan ekspresi datar. Begitupun ketika melepaskannya. “Aku sebenarnya merasa tersakiti loh, Ma. Masa Mama gak nyadar anaknya nontonin adegan temu kangen kalian?” gerutunya. Persis anak kecil yang sedang mengadu.
Mama terkekeh pelan seraya menjitak kepala anaknya. Lalu, beliau merasa sesuatu yang ganjal. “Kalian... ke sininya gak bareng, ya? Kok tadi Mama liat Shilla turun dari bus, sih? Bukannya kamu bawa mobil?” tanyanya, mengungkapkan keheranan.
Cakka langsung memandang Mama dan Shilla bergantian. Namun saat mengingat apa yang dilakukan Shilla pada Rio di bus tadi, rahangnya mengeras.
“Shilla kan mahasiswi, Ma. Harus ngikutin peraturan kampus, jadi mau gak mau yaa mesti naik bus sama temen-temen yang lain.” Perempuan itu yang menjawab. Lengkap dengan senyum manis, namun tatapan menusuk ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh darinya.
***
            Dokter Ify pura-pura tidak melihat saat Shilla melemparkan tatapan sinis ke arahnya. Ia malah tertawa dalam hati. Anak ingusan itu udah mau frontal kayaknya. Liat aja selama seminggu di sini. Kamu yang seneng, atau aku... bisiknya dalam hati. Sembari menurunkan koper pakaiannya dari dalam mobil milik Cakka.
***
            Shilla menyeret kopernya dengan emosi. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki yang mengaku tunangannya ini bisa bersikap penuh perhatian pada perempuan lain. Perempuan yang jelas-jelas sedang mencoba menarik perhatiannya. Entah tidak peka, atau memang menikmatinya.
“Lo kenapa, sih?” tanya Angel sambil memasuki kamar yang ditunjukkan Mama Cakka tadi. Kamar berwarna putih dengan aura nyaman.
“Gue sebel! Gila aja! Gue dosa apa sih sampe harus serumah sama Dokter Ify? Gak mungkin kebetulan gini. Dia pasti udah ngerencanain biar bisa serumah sama Cakka! Gue yakin! Ck!”
Angel meletakkan tas miliknya ke depan pintu lemari besar di dalam sana. “Gue juga curiganya kayak gitu. Kalaupun ini kebetulan, kemungkinannya kecil banget. Apalagi buat Dokter Ify yang tadi aja udah usaha banget bikin lo gak semobil sama Dokter Cakka.”
Perempuan berambut ikal di depannya tidak menggubris. Ia malah sibuk merapikan beberapa barang yang ia bawa ke atas meja kayu di samping tempat tidur.
“Eh, tapi... Kok lo keliatan gak suka gitu, sih?” lanjut Angel. “Jangan-jangan lo cemburu, ya? Hayo, ngaku!”
Shilla spontan menoleh. Wajahnya masih ditekuk. “Enak aja lo!”
“Trus, ngapain daritadi ngomel gitu?” Perempuan berlesung pipi yang notabene adalah sahabatnya itu terus menggoda.
“Ya... Gue gak suka aja. Jadi dokter kok ganjen banget. Harusnya kan dia punya wibawa, karisma, whatever-lah. Kalo lagaknya kayak gitu sih, kita-kita pasti jadi gak respect lagi. Iya, kan?” Shilla menjawab dengan berapi-api.
Angel tertawa dalam hati. Mereka berdua sudah saling kenal tiga tahun terakhir ini. Jadi, ia bahkan sudah bisa membedakan kejujuran dan kebohongan perempuan satu itu.
“Ngapain lo senyum-senyum gak jelas gitu?” tanya Shilla. Masih dengan nada sewot.
“Siapa yang senyum-senyum? Sok tau!” balas Angel. Perempuan berlesung pipi tersebut mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. “Ini kamar siapa, sih?” tanyanya kemudian.
“Cakka.”
“What? Ini... kamarnya Dokter Cakka? Trus ngapain kita tidur di sini? Emang gak ada kamar lain?” Angel kedengaran shock.
Shilla langsung berbaring di atas tempat tidur dengan wajah penuh keletihan. “Gue gak suka tidur di kamar tamu. Katanya dari dulu emang kayak gitu. Eh, malah kebawa sampe pas amnesia gini . Mungkin karna kamar tamu jarang dipake kali, ya? Bawaannya horor, sih.”
“Eh, jadi ntar kita tidur sama Dokter Ify juga?” Angel ikut berbaring di sebelah kanan sahabatnya.
“Iya juga, ya?” Shilla mendengus kesal. “Kenapa dia mesti tinggal di sini juga, sih? Ck!”
***
            “Shilla?”
Perempuan yang kini sudah mengenakan piyama bergambar chasper tersebut kontan menoleh. Memastikan penglihatannya sejenak, lalu... “Rio? Kamu tinggal di sini juga?”
Rio yang juga sudah mengenakan pakaian santai tersenyum tipis. “Iya, nih. Kebetulan banget.”
“Kebetulan apa kebetulan?” Sebuah suara muncul dari arah dalam rumah.
Shilla dan Rio menoleh bersamaan. Kemudian mendapati lelaki tinggi berkulit kecoklatan sedang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana kargo yang ia kenakan. Kacamata bening masih setia menghiasi kedua mata teduh miliknya.
“Saya shock banget loh denger kata kebetulan hari ini,” sindir lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah Cakka tersebut. “Kebetulan gabung di acara penyuluhan ini, kebetulan satu bus sama Shilla, sampe kebetulan nginap di rumah saya. Kebetulan ternyata bisa datang terus-terusan ke kamu, ya?” lanjutnya dengan tatapan tajam. Tentu saja ke arah Rio.
“Bukannya dunia ini emang penuh sama kebetulan, ya?” timpal Shilla. Ekor matanya melirik perempuan lain yang juga baru muncul dari dalam kamar.
Perempuan yang merupakan Dokter Ify itu menghentikan langkahnya tepat di sebelah Caka. Dengan piyama putih bergambar teddy bear. Menghadap Shilla dan Rio di depannya.
“Maksud kamu apa?” tanya Dokter Ify. Tersinggung akan kalimat terakhir yang didengarnya saat tiba di ruang tengah rumah Cakka.
“Gak pa-pa kok, Dok. Saya cuma ngomongin fakta tentang kebetulan,” balas Shilla. Ia berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya masih kesal. Mengingat bayang-bayang Dokter Ify di mobil Cakka siang tadi.
“Kamu kenapa? Sejak kapan cara bicara kamu jutek gitu sama dosen?” tegur Cakka. Merasa tidak enak hati atas sikap tunangannya barusan.
“Aku kenapa? Perasaan biasa aja, deh.”
“Shilla, cara bicara kamu itu dipelanin dikit. Kesannya gak sopan banget,” ucap Cakka lagi.
“Mau-mau aku, dong! Ini kan suaraku. Aku bukan putri keraton yang ngomongnya harus lembut terus!” seru Shilla, antara emosi dan frustasi.
“Shilla! Kamu tuh–”
“Dokter Cakka, gak pa-pa, kok.” Dokter Ify langsung menyela sambil memegang lengan kiri milik lelaki di sebelahnya.
Mata Shilla sontak dibuat melebar mendapati kejadian di depannya tersebut. What? Yang barusan itu... Cakka... Lebih ngebelain perempuan lain dibanding aku? geramnya dalam hati. Lalu buru-buru meninggalkan ruang tengah dengan segenap emosi.
“Shilla! Kamu mau kemana?” adalah teriakan-terakhir dari Cakka yang ia dengar sebelum keluar dari rumah.
***
            “Sebel! Sebel! Sebeeel!!!” Perempuan berpiyama chasper itu menginjak-injak tanah sekuat tenaga. Ia duduk di atas saung yang terletak di dekat puskesmas yang besok pagi akan menjadi tempat penyuluhan kesehatan dari dokter dan mahasiswa kampusnya.
“Eh, berisik banget!” Sebuah suara tiba-tiba muncul di sampingnya. Suara berat khas laki-laki. Tanpa menoleh pun, shilla sudah tahu bahwa itu adalah suara Rio.
“Kamu pasti kesel banget gara-gara Dokter Cakka sama Dokter Ify tadi. Iya, kan?” lanjut Rio. Ia ikut duduk di sebelah perempuan dengan wajah cemberut tersebut.
“Bukan sebel lagi. Aku malah pengen bikin orang babak belur sekarang.” Shilla mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Membuat buku-buku jarinya memutih. Kukunya yang mulai panjang sedikit melukai telapak tangannya, namun tak ia pedulikan sama sekali.
“Aku juga sempet shock pas Dokter Cakka ngebelain Dokter Ify dan malah ngebentak kamu. Padahal, biasanya kalian kan mesra banget,” komentar Rio. “Kok Dokter Cakka bisa berubah gitu, ya? Aku aja pasti gak bakalan tega ngelakuin itu ke kamu. Apalagi kalo kamu itu... tunangan aku.”
“Apa sebelum ini, dia juga suka ngomong kasar ke aku, ya?” gumam Shilla. Lebih untuk dirinya sendiri. Pandangannya menerawang, mencoba mengingat masa lalu. Namun tetap tak membuahkan hasil apapun.
Rio meliriknya dengan senyum lebar. “Kalo kamu butuh bahu, aku selalu ada buat kamu.”
Tanpa suara, perempuan itu langsung menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan Rio. Menenangkan memang, namun tetap hangat dari Cakka yang terbaik.
***
            Shilla memasuki rumah dalam diam. Tubuhnya sudah dibalut jaket tebal berwarna khaki milik Rio.
“Kamu darimana aja?” Cakka langsung berdiri dari sofa ruang tamu. Menghampiri sang tunangan. Ekspresinya jangan ditanya lagi. Sudah mengalahkan istilah kebakaran jenggot saking cemas dan merahnya.
Perempuan itu melanjutkan langkahnya ke bagian dalam rumah dengan tatapan datar. Seolah-olah tidak mendengar pertanyaan lelaki berkacamata itu.
Merasa tak diacuhkan, Cakka langsung mencekal lengan kanan Shilla. Membuat tubuh mungil tersebut terhuyung ke belakang. “Kalo aku nanya, kamu jawab, dong!”
Shilla menoleh dan sontak melemparkan tatapan tajam ke dalam mata lelaki yang kini menggenggam lengan miliknya. “Mau kamu apa, sih?” tanyanya.
“Harusnya aku yang nanya. Mau kamu apa? Tiba-tiba pergi dari rumah, trus pulangnya sama cowok lain!” Cakka melirik Rio dengan pandangan tidak suka yang sangat kentara.
“Apa peduli kamu? Hah?” sorak Shilla. Ia menyentakkan tangannya dengan kasar. Membuat genggaman Cakka spontan terlepas.
“Shilla!”
“Kenapa? Teriak aja! Bentak aku sampe kamu puas!!!” seru perempuan itu.
Sedetik kemudian, Angel dan Dokter Ify keluar dari kamar. Disusul Mama dengan wajah khas bangun tidur.
“Kalian kenapa, sih?” tanya wanita paruh baya tersebut.
Cakka malah meremas kepalanya sendiri. Lalu melangkah memasuki kamar tempatnya dan Rio tidur bersama untuk satu minggu ke depan. Meninggalkan kelima sosok yang masih bergeming di ruang tamu.
Sepeninggal putranya, Mama langsung mendekati dan merangkul pundak calon menantunya yang sedang memijat kepala tersebut. “Kalian kenapa sih, sayang?”
“Gak tau, Ma. Aku juga gak ngerti,” balasnya. “Oh iya, Ma. Aku... boleh tidur sama Mama, gak?”
Mama mengerutkan dahinya sejenak. Kemudian mengangguk pelan, dan menggandeng Shilla menuju kamar.
***
            Shilla menaruh piring berisi omlet untuk sarapan di pagi pertama mereka di sini. Lalu duduk di kursi kosong yang terletak antara Cakka dan Angel. Di seberang, duduk Rio dan Dokter Ify. Sedangkan Mama duduk di ujung meja sebelah kanan Cakka seorang diri.
Mereka menyendok nasi goreng, omlet, dan nugget ayam ke piring masing-masing dalam diam.
“Oh iya, Dok...” Dokter Ify yang pagi itu terlihat lebih fresh dengan rambut kuncir kuda dan long dress merah muda memecah keheningan. “Kita langsung ngumpul di puskesmasnya jam sepuluh, ya?”
Cakka mengunyah sejenak. “Iya, Dok. Ada apa?”
“Enggak pa-pa, sih. Cuma kita ke sana naik apa? Kemarin saya liat tempatnya lumayan jauh juga kalo jalan kaki.”
Shilla melirik perempuan di depannya dengan ekor mata. Mau ngapain lagi nih si dokter ganjen?
“Saya sih biasanya ke sana naik motor. Kebetulan di garasi rumah ini saya naro’ motor biar gak ribet. Tapi karna kita ke sananya rame-rame, mungkin saya jalan kaki aja.”
“Gimana kalo kita naik motor aja, Dok? Puskesmas itu kan jauh,” balas Dokter Ify.
Shilla menghentikan kunyahannya dengan dahi berkerut. Kita? Nah, aku bilang juga apa! Pasti dia punya rencana lagi! Mau modus lagi! Ck!
Cakka langsung melirik perempuan di sebelah kirinya tersebut. Membuat sang objek buru-buru memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan pipi menggembung. “Saya kayaknya jalan kaki aja deh, Dok. Sekalian olahraga sambil ngobrol sama dosen dan mahasiswa yang lain,” jawabnya. 
“Tapi kan jauh, Dok...”
“Kenapa Dokter Ify gak naik motor sendiri aja?”
Jengjeeeng! Semua mata kontan menatap Mama yang baru saja nyeletuk dengan santainya. Shilla dan Angel malah harus menahan senyum setengah mati.
“Saya gak tau bawa motor, Bu. Makanya saya minta Dokter Cakka yang bawa,” ucap Dokter Ify. Tak lupa memamerkan senyum manis andalannya.
“Ya udah. Berarti Dokter harus rela jalan kaki. Kecuali kalo mau bawa mobil. Eh, tapi jalanan ke puskesmas itu agak sempit. Gak ada tempat parkir.” Mama menjelaskan dengan raut wajah yang keras. Ekspresi yang belum pernah dinampakkannya di depan Shilla.
“Shilla gak apa-apa kan jalan kaki ke sana?” Mama mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan mungil dengan rambut ikal tergerai dan mini dress summer di sebelah putranya.
Shilla menggeleng mantap. “Enggaklah, Ma. Di sini kan adem. Lagian kalo di sana aku gak pernah olahraga, bosen naik kendaraan mulu.”
“Tuh, Dok. Dosen itu ya wong ngasih contoh ke mahasiswinya. Dokter gak malu apa liat mahasiswinya lebih semangat?”
“Uhuk! Uhuk!” Shilla langsung tersedak gara-gara menahan tawa sambil berusaha menelan makanannya.
Cakka buru-buru menyodorinya segelas air putih seraya menepuk-nepuk punggung perempuan itu.
Saat batuknya sudah reda, Shilla langsung menepis jemari tunangannya tersebut dengan kasar. Sisa-sia emosi kemarin masih menguasainya.
“Oh iya, Kka. Kamu harus jagain Shilla loh selama di sini. Mama gak mau dia kenapa-kenapa. Ngerti?”
Lelaki itu mengangguk mantap.
Sedangkan Shilla seketika mendengus kecil.
***
            “Saya yakin kalo si Shilla minta bantuan mamanya Cakka buat ngebelain dia. Ck!” lirih Dokter Ify, diiringi decakan kesal pada akhirnya. Ia berjalan di barisan agak belakang bersama Rio.
“Apa jangan-jangan mamanya Cakka yang gak suka sama kita, Dok? Tadi aja saya disinisin mulu cuma gara-gara bantuin Rio nyari buku.” Rio yang pagi itu terlihat santai dengan kaos polo abu-abu dan celana jeans berwarna senada tersebut memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokter yang ia kenakan. Lalu menghirup udara segar di sekitarnya tanpa sadar.
“Whatever-lah. Intinya dia bisa jadi penghalang rencana kita. Huh, percuma kita minta bantuan Dokter Tio biar kita bisa serumah sama mereka di sini.” Dokter Ify menendang kerikil di depannya. Sekaligus melampiaskan kekesalan karena harus berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke puskesmas tempat penyuluhan diadakan.
“Iya juga, Dok. Jadi kita mesti gimana?”
Perempuan itu langsung melemparkan pandangannya ke arah Shilla yang sedang menoyor bahu Angel di depan sana. “Kita tetep berusaha ngejauhin mereka aja. Gimanapun caranya.”
***
            “Lo kayaknya seneng banget,” cibir Angel ke arah sahabatnya yang melangkah dengan riang sedari tadi. Kadang sambil menyanyi, bahkan tertawa sendiri.
Shilla menoleh dan menatap perempuan berlesung pipi di sebelahnya sambil tertawa lebar. “Gak pa-pa, kok. Gue cuma seneng aja. Finally bisa terbebas dari suara anak kecil yang berisik, dan kerja di daerah terpencil.”
“Idih, siapa tau di sini kebanyakan anak kecil yang sakit, gimana? Ujung-ujungnya lo ngerawat anak kecil juga, kan?”
Langkah Shilla berubah pelan seketika. “Eh, iya juga, ya?” gumamnya. “Ah, sialan lo!” sambungnya sambil mendorong bahu kiri sahabatnya itu dengan kesal.
Angel spontan tertawa puas.
“Eh, by the way, Dokter Ify kemana? Tumben gak nempelin tunangan lo,” bisik Angel sembari celingukan, mencari sang topik pembicaraan.
Shilla ikut mengedarkan pandangannya. Lalu menemukan perempuan yang dimaksud sedang berjalan di bagian agak belakang dari rombongan berjas dokter ini. Bersama Rio. “Tuh, dia ada di belakang. Lagi asik ngobrol sama Rio,” ucapnya sembari mengembalikan konsentrasi ke jalanan di depan.
Angel menoleh dan mendapati keduanya sedang berbicara dengan serius. Kemudian ganti menatap Shilla. “Lo ngerasa gak, sih?” tanyanya.
“Ngerasa apa?”
“Dokter Ify sama Rio... Mereka deket banget, kan? Kalo Dokter Ify gak nempelin Dokter Cakka kayak tokek, dia pasti bareng Rio. Kayak sekarang. Gue jadi curiga.”
“Curiga apa? Masa Dokter Ify doyan brondong macem Rio? Jangan fitnah orang sembarangan, ah.”
“Dasar sotoy! Bukan gitu maksud gue!” Perempuan berlesung pipi itu menoyor kepala Shilla dengan gemas. “Maksudnya, jangan-jangan Dokter Ify sama Rio sekongkol buat misahin lo sama Dokter Cakka, lagi. Yah, siapa tau kan...”
“Wah, parah lo! Ya gak mungkinlah. Gue kenal Rio, dia itu baik banget. Kayaknya dia gak bakal sepicik itu. Apalagi dia kan ganteng, ngapain juga mau sama gue. Lagian gue sama dia udah selesai dari SMP. Gue aja udah gak punya feeling apa-apa sama dia.”
“Who knows, Shill? Nothing impossible, right? Tuh, buktinya.” Angel menoleh. Lalu menunjuk Dokter Ify dan Rio yang masih ngobrol, dengan dagu.
Shilla ikut memandangi kedua orang yang terlihat asik berbincang tersebut. Kedua alisnya menyatu. Ingin mengikuti kecurigaan sahabatnya, namun belum memiliki bukti nyata. Akhirnya, ia memilih mengembalikan pandangan. Ke arah sang tunangan yang berjalan di barisan paling depan, bersama beberapa mahasiswi yang terlihat berusaha menarik perhatiannya.
***
            Shilla duduk di kursi depan puskesmas sambil menyelonjorkan kedua kakinya. Sudah jam makan siang, tapi ia belum menemukan semangat setelah tiga jam lebih berurusan dengan pasien di puskesmas tersebut. Bukan untuk mengobati, tapi untuk menerima wawancara sebagai tunangan Cakka. Entah mengapa karisma lelaki itu selalu saja membuatnya gerah menghadapi respon orang-orang di sekitar.
“Kok masih di sini, shill?” Suara Rio muncul di sebelahnya.
Shilla menoleh. “Iya, nih. Masih capek.”
“Trus, Dokter Cakka mana?”
Perempuan itu kontan celingukan. Ia memang tidak sempat bertemu tunangannya sejak sampai di puskesmas tadi. “Gak tau. Udah pulang, kali.”
“Kamu gak mau pulang?” tanya Rio lagi.
“Enggak, ah. Kamu sendiri, kenapa masih di sini? Gak laper?”
“Asal bareng kamu, aku udah kenyang, kok.”
Shilla langsung tertawa geli. “Dasar tukang gombal! Kamu cocok tuh bikin geng sama Dokter Cakka.”
Rio yang tadinya ikut tertawa, seketika membeku.
“Cakka tuh ya, kalo aku lagi ngomongin masalah apapun pasti dibelokin jadi gombalan. Bener-bener gak pernah kekurangan stock.” Perempuan itu melanjutkan kalimatnya seraya geleng-geleng kepala. Lengkap dengan senyum lebar. “Tapi ya itu, ngeselinnya lebih banyak. Huh! Trus–”
“Shill, gimana kalo kita nyari makan sekarang? Di deket sini ada warung, kan?” Tiba-tiba, Rio sudah menggenggam jemari miliknya. Kemudian menuntunnya untuk beranjak meninggalkan pelataran puskesmas. Dengan sedikit terburu-buru.
***
            “Shilla kemana, Ngel?” tanya Cakka sembari memperbaiki duduknya di kursi meja makan.
Angel yang juga baru duduk di sana, menggeleng pelan. “Gak tau, Dok. Tadi Shilla masih sibuk nanganin pasien, jadi saya pulang duluan.”
Pandangan lelaki berkacamata tersebut langsung tertumbuk pada kursi kosong di seberang meja. “Rio mana?”
Dokter Ify melirik kursi di sebelahnya. “Dia juga belum pulang dari puskesmas.”
Mama ikut duduk di ujung meja setelah meletakkan piring terakhir berisi sup ayam di depan ketiga orang di sana. “Coba telepon Shilla, Nak. Siapa tau dia udah jalan ke sini.”
Cakka langsung merogoh saku celana panjang yang ia kenakan, kemudian menekan tombol 2 yang akan men-dial otomatis ke nomor handphone tunangannya. Nada sambung terdengar. Ia menunggunya dengan tidak sabar. Sampai nada konstan tersebut digantikan oleh suara operator pada akhirnya.
“Kenapa?” tanya Mama saat mendapati putranya mendecak kesal.
“Teleponnya gak diangkat, Ma.”
“Coba aku telepon Rio, Dok. Siapa tau mereka lagi barengan,” ucap Angel sambil meraih ponselnya di atas meja. Lalu merutuk sesaat setelah mendapati tatapan tajam si dokter ganteng karena kalimat terakhirnya barusan. “Gak diangkat juga,” lanjutnya kemudian.
Cakka sontak berdiri dari duduknya. Lalu melangkah meninggalkan meja makan.
“Kamu mau kemana, Kka?” seru Mama.
Lelaki itu menoleh sekilas. “Nyari Shilla.”
***
            Cakka memelankan laju motor ninja miliknya sembari mengedarkan pandangan ke kiri-kanan jalan. Setelah satu kilometer dari kediamannya, ia merasa melihat seorang perempuan mungil dengan jas dokter sedang jalan berdampingan bersama seseorang yang sangat ia yakini sebagai Rio.
“Shilla!!!” sorak Cakka seraya menepikan motornya.
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu seketika berbalik. Lalu bertemu pandang dengan sang tunangan.
“Kamu darimana?” tanya lelaki yang sedang menatapnya tajam tersebut.
“Abis makan sama Rio. Kenapa?”
Mata Cakka langsung membesar. Shock. “Hah? Kamu ini... Ck!” Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Rio. “Lo ngapain ngajak tunangan gue? Hah?”
***
            Jengjeeeng!!!
Shilla langsung tegang mendengar Cakka yang sangat menjunjung tinggi keprofesionalan tersebut sedang berbicara menggunakan ‘gue-elo’ pada mahasiswa sekaligus asistennya sendiri.
“Salah Dokter, kenapa punya tunangan tapi malah ditinggal sendirian.” Rio melipat kedua tangannya di depan dada. Terlihat menantang. Membuat Shilla semakin menahan nafas.
“Lo nantangin gue?” Cakka melangkah maju, mempersempit jarak antara dirinya dan laki-laki yang memiliki postur tak jauh beda darinya tersebut.
“Dokter pikir saya takut?” Rio tertawa meremehkan di ujung kalimatnya. “Apa saya mesti ngaku dulu kalo saya masih sayang Shilla baru Dokter mau ngejagain dia 24 jam biar gak saya rebut?”
BUK! BUK!
Shilla memekik tertahan ketika melihat tunangannya melayangkan kepalan tangan kanan ke hidung mantan pacar semasa SMP-nya sebanyak dua kali. Ia ingin berteriak, namun tubuhnya seakan dipaku. Ingin memisahkan, tapi takut jadi korban salah sasaran.
BUK!
Kali ini, giliran Rio yang membalas. Hanya satu pukulan, tepat ke ulu hati Caka. Membuat lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
“KALIAN NGAPAIN?” sorak perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang tubuh Cakka. Kemudian berusaha menjauhkan kedua laki-laki yang sepertinya bisa saling menghilangkan nyawa jika tetap dibiarkan.
Perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dokter Ify itu sontak menarik kemeja Rio, walau dengan susah payah.
“Kamu ngapain diem di situ? Kenapa gak misahin mereka, sih?” teriak Dokter Ify lagi, agak emosi. Untung suasana di sekitar mereka sedang sepi. Jadi tidak mengundang keramaian orang-orang.
Shilla yang menjadi objek teriakan Dokter Ify barusan hanya memasang ekspresi bersalah. Ia terlalu shock untuk berpikir apa yang bisa ia lakukan beberapa saat yang lalu.
“Kalo kamu bangga direbutin dua laki-laki sekaligus, seenggaknya kamu pikirin gimana keadaan mereka kalo babak belur atau cacat gara-gara berantem gak penting ini!” sambung perempuan itu, jemarinya masih meremas lengan kemeja Rio.
Shilla menundukkan kepalanya dalam-dalam seraya memejamkan mata. Menghalau butiran bening mengalir tanpa izin di pipi mulus miliknya.
“Gue ingetin sama lo! Sekali aja lo coba-coba deketin tunangan gue, gue gak bakal bikin lo tenang! Ngerti?” Caka mengusap keringat yang menetes dari dahinya dengan kasar. Lalu menarik pergelangan tangan Shilla untuk pergi, sebelum menabrak bahu Rio dengan bahunya yang kekar.
***
            “DAMN IT!!!”
Dokter Ify menatap farhan yang berdiri di sebelahnya dengan dahi berkerut. Lelaki itu terlihat seperti sedang mencari objek untuk pelampiasan amarahnya. Namun entah kemana. “Kamu ini kenapa, sih?”
Lelaki yang ia tanya tersebut balik memandangnya dengan nafas terengah-engah, bekas pertengkaran tadi. Hidungnya bahkan mengeluarkan darah segar yang enggan ia pedulikan.
“Harusnya kamu bisa ngendaliin emosi kamu. Gimana kalo masalah ini makin panjang? Kamu itu statusnya masih mahasiswa, Rio!”
“Dokter Cakka yang mulai mancing perkelahian tadi, Dok! Masa saya mesti tinggal diam?” Rio menjawab sembari meneruskan langkahnya.
Dokter Ify langsung menahan kemeja lelaki itu. Membuat langkah lebar Rio sontak berhenti. Lalu berbalik dan berhadapan dengannya.
“Kamu mau pulang dengan muka biru dan berdarah gitu? Gak takut diinterogasi sama mamanya Dokter Cakka?” tanyanya.
Lelaki tersebut spontan mengusap daerah di bawah hidungnya, tempat darah hasil bogem mentah Cakka mulai mengering. Ia meringis pelan sembari meraba hidung dan pipinya. Untung tidak ada tulang yang patah.
“Sini...” ujar Dokter Ify seraya menggandeng tangan mahasiswanya itu ke tepi jalan. Ke arah sebuah akar pohon yang lumayan besar berada. Kemudian duduk di atas sana, dan mengeluarkan sebungkus tisu basah dari dalam saku pakaiannya.
“Auw,” ringisan Rio semakin menjadi saat Dokter Ify mencoba membersihkan luka di wajahnya dengan selembar tisu basah. “Itu sakit, Dokter. Pelan-pelan, dong.”
“Heh! Dasar gak tau diri! Udah untung saya mau bantu ngobatin!”
Lelaki itu sontak bungkam. Perempuan cantik manapun tetap saja terlihat menyeramkan saat marah.
***
            Shilla memasuki kamar dengan wajah cemberut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tidak terlibat percakapan apapun bersama sang tunangan.
“Shilla, lo gak kenapa-kenapa?” Angel muncul dari pintu dengan wajah cemas. “Tadi gue liat Dokter Cakka. Kok mukanya kayak lagi marah, ya? Lo darimana aja, sih?”
“Ceritanya panjang. Gue mau mandi dulu. Lo gak ke puskesmas?” Shilla balik bertanya dengan lesu.
“Ini, gue udah mau jalan. Mau barengan?”
“Gak usah. Lo duluan aja,” balas perempuan itu sambil melangkah menuju kamar mandi yang berada di sudut kamar.
***
            Shilla duduk di atas tempat tidur sambil menguncir rambut sebahu miliknya. Rumah sudah sepi. Sepertinya penghuni yang lain sudah berangkat ke puskesmas untuk kembali melayani warga.
“Kamu udah mau ke puskesmas, sayang?”
Perempuan itu menoleh. Lalu menemukan sosok Mama sudah ikut duduk di sebelahnya.
“Iya, Ma.”
Hening sejenak.
“Mama udah denger masalah kalian berempat,” ucap wanita berjilbab tersebut.
Shilla kontan mengerutkan dahinya. “Hm?”
“Iya. Antara kamu, Cakka, Dokter Ify, dan Rio.” Mama mengelus rambut ikal calon menantunya itu. “Kalian berdua kan udah tunangan, kenapa mesti cemburuan terus, sih? Seharusnya, mau berapapun orang yang ngedeketin kalian berdua, itu gak masalah. Toh kalian masih saling mencintai,” lanjutnya.
“Aku juga mikirnya kayak gitu, Ma. Aku udah nganggep Rio sebagai temen. Gak lebih, apalagi hubungan kami udah selesai lama banget. Tapi Cakka gak pernah mau terima kalo aku tetep akrab sama Rio. Sementara dia bisa seenaknya deket sama Dokter Ify yang jelas-jelas selalu berusaha ngerebut perhatian dia dari aku. Egois kan, Ma?”
Mama tersenyum tipis. Jenis senyum menenangkan yang selalu dirasakan Shilla setiap melihat Cakka tersenyum ke arahnya. “Mama ngerti. Cuma harusnya kalian berdua ngehindarin orang-orang kayak Dokter Ify sama Rio. Mama bukannya su’udzon atau apa yaa, cuma Mama ngerasa ada yang aneh aja. Kok mereka berdua keliatannya getol banget ngedeketin kalian dalam waktu bersamaan?”
Shilla terdiam. Ia jadi teringat pembicaraannya bersama Angel tadi pagi. “Tapi Rio itu baik, Ma. Dia udah aku anggep sahabat banget. Kalo Dokter Ify sih gak tau.”
“Tapi... who knows, sayang? Gak ada yang gak mungkin, kan?”
Deg! Kini, perempuan itu benar-benar mengingat kata-kata terakhir Angel yang hampir sama dengan kalimat Mama barusan.
***
            Entah sudah ke-berapa kalinya Cakka menoleh ke arah halaman puskesmas untuk memastikan kehadiran tunangannya. Ia sengaja berangkat duluan untuk menghindari rasa bersalah karena terpancing emosi beberapa jam yang lalu. Apalagi di depan calon istrinya sendiri.
“Ngel, Shilla belum dateng, ya?” Lelaki itu menghalagi Angel yang lewat di depannya.
“Udah, Dok. Tuh, dia baru aja duduk di ruang tunggu. Ngobrol sama warga yang mau berobat,” jawab perempuan berlesung pipi tersebut.
“Ya udah. Makasih, ya!” Cakka langsung melangkah ke ruang tunggu yang terletak tepat di depan pekarangan puskesmas itu. Lalu menemukan seorang perempuan berkuncir kuda dengan jas dokter sedang duduk membelakanginya.
“Waaah, berarti Shilla ini calon menantunya Ibu Idha, ya?” Seorang ibu dengan anak kecil di pangkuannya terlihat bertanya sambil tersenyum lebar.
Cakka kontan menghentikan langkah. Memilih mendengar pembicaraan tunangannya bersama ibu-ibu di sana dari balik sebuah pilar.
“Iya, Bu.” Perempuan itu balas tersenyum. Sesekali, ia menggoda anak laki-laki di pangkuan ibu di depannya.
“Jadi nikahnya kapan, dong?” tanya ibu itu lagi.
“Pasti ntar anaknya ganteng. Wong orangtuanya cakep gini,” timpal wanita paruh baya yang lain.
“Ibu Idha enak banget ya, punya anak sama menantu dokter...” Seorang ibu ikut menyeletuk.
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya yang hanya dibalas senyuman oleh Shilla. Membuat lelaki itu tidak tahan dan akhirnya memilih menghampiri mereka.
“Lagi ngomongin apa, nih? Kayaknya serius banget.” Cakka langsung duduk di samping tunangannya dengan senyum bahagia. Seperti tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
Beberapa wanita paruh baya di sekitar seketika membeku. Ada yang balas tersenyum kikuk, ada yang melotot, bahkan menganga tanpa sadar.
Lelaki itu berusaha menyembunyikan tawanya. Kemudian merangkul pundak Shilla dengan erat. Menghalanginya jika berniat kabur.
“Cakka sama Shilla ini serasi sekali, ya... Kenapa belum nikah, sih? Kasian Bu Idha, pasti udah mau gendong cucu.” Ibu yang sedang memangku anak laki-laki tersebut membuka pembicaraan. Diikuti anggukan manta dari ibu-ibu yang lain.
Cakka bisa merasakan tubuh Shilla menegang dalam rangkulannya. Ia pun mengelus pundak perempuan itu, mencoba menenangkan. “Secepatnya kok, Bu. Doain aja.”
***
            Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Shilla meletakkan sebuah piring besar berisi ayam rica-rica ke atas meja makan. Di belakangnya, Mama ikut menaruh semangkuk jumbo sayur sup kesukaan putranya.
“Shilla, kamu panggilin Cakka sama yang lain, ya!” ujar Mama seraya melepas celemek dari tubuhnya.
Shilla mengangguk pelan. Sepulang dari puskesmas tadi, ia belum mau membuka pembicaraan dengan lelaki itu. Walau sang tunangan sudah berkali-kali mencoba menarik perhatiannya. Ia juga berusaha menghindari Rio dan Dokter Ify setiap mengingat insiden siang tadi.
Perempuan yang sudah mengenakan daster batik selutut khas ibu-ibu tersebut pun melangkah memasuki kamar yang ditempati Angel dan Dokter Ify. Keduanya sedang sibuk melihat-lihat buku catatan nama pasien lengkap dengan keluhannya di atas tempat tidur.
Shilla berdehem pelan, membuat Angel dan Dokter Ify kontan menoleh ke arah pintu kamar.
“Kenapa, Shill?” tanya Angel.
“Makanan malemnya udah siap. Mama nunggu kita di meja makan,” balas Shilla. Ia bahkan enggan menatap Dokter Ify. Seakan menekankan kata ‘kita’ hanya pada dirinya dan sang sahabat.
“Oh, ya udah kalo gitu.” Perempuan berlesung pipi tersebut langsung turun dari tempat tidur. Lalu memakai sendal mini mouse miliknya.
Shilla mengangguk, kemudian berbalik untuk kembali ke meja makan. Namun tiba-tiba, ia teringat sesuatu. “Eh, Ngel...” ucapnya seraya kembali memandang sahabatnya.
“Hm?”
“Lo tolong kasih tau Dokter Cakka sama Rio, ya! Gue mau bantu Mama beresin meja makan soalnya.”
“Okay,” Angel tersenyum memaklumi. Ia sudah bisa lulus dengan predikat cum laude dalam masalah memahami sahabatnya itu.
***
            Cakka duduk paling terakhir di meja makan. Kemudian langsung memimpin doa makan. Setelah itu, bunyi piring dan sendok beradu pun terdengar bersahutan.
“Gimana, Kka? Enak?” tanya Mama sambil melirik putranya.
Lelaki itu menghentikan kunyahannya sebelum menjawab. “Iya, Ma. Enak banget, malah.”
“Mama jago masak, ya! Saya mau loh kapan-kapan diajarin masak yang kayak begini.” Dokter Ify menimpali.
Mama sontak menatap perempuan dengan piyama merah muda tersebut. “Maaf loh, Dokter Ify. Bukannya gimana-gimana, cuma saya gak enak kalo dipanggil Mama sama orang lain, kecuali Cakka dan calon menantu saya.” Beliau memasang ekspresi datar, dengan penekanan pada kata calon menantu.
Dokter Ify terlihat serba salah. Ia tersenyum kikuk seraya berujar, “Maaf, Bu. Saya keseringan denger Shilla manggil Mama, jadi ikut kebawa.”
Shilla kontan memadangnya takjub. Gila, ngapain  bawa-bawa aku, coba? Ck!
“Tapi masakannya bener-bener enak, Bu. Dan masalah belajar masak tadi, saya juga serius,” lanjut perempuan itu. Lengkap dengan senyum manis andalannya.
Mama melirik Shilla sekilas. Kemudian mengembalikan perhatiannya pada Dokter Ify. “Emangnya Dokter gak bisa masak?”
“Enggak bisa, Bu. Baru masakan yang instan dan simpel aja.”
“Kasian dong, ya?” Mama tersenyum miring, terkesan meremehkan. “Oh, iya. Kalo Dokter mau belajar masak, sama Shilla aja. Soalnya semua makanan yang ada di atas meja sekarang, dia yang bikin.”
Dokter Ify tergeragap sejenak. Namun buru-buru menormalkan raut wajahnya. “Oh, ya?” Hanya itu yang bisa ia katakan.
Mama mengangguk penuh semangat. “Iya. Bener-bener menantu idaman, kan? Makanya saya gak bakal ngijinin mereka pisah. Apalagi kalo Cakka deket sama perempuan lain yang gak bisa masak. Amit-amit deh!” 


*TBC*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Remember Me #1 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi TUNANGAN? Karena cinta... Tidak akan pernah saling melupakan. Shilla keluar dari gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.             Tiba-tiba, seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja turun dari mobil silver langsung menghampirinya.             “SURPRISEEEEE!!!” sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya. Tepat di hadapan Shilla.             Shilla menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh dengan tingkah lelaki tersebut.  ...

Remember Me #9 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi “Kamu ngomong apa, sih?” sorak Cakka, meluapkan emosinya. Seharian ini ia sudah dibuat stress gara-gara masalah rumah sakit, kampus, mobil mogok, Shilla tiba-tiba menghilang dan pulang bersama Rio, sekarang apa lagi? Perempuan itu membatalkan pertunangan? Apa tidak cukup masalahnya seharian ini? “Pertunangan ini gak bisa aku lanjutin lagi,” balas Shilla. “Maafin aku selama ini.” “Shilla, please... Kamu kenapa? Oke, aku minta maaf. Kamu boleh nyuruh aku apa aja. Kamu boleh mukul aku sampe babak belur sekalipun, tapi kamu jangan mutusin sesuatu dengan gampang!” Cakka membekap kepalanya sendiri. Membuat rambutnya yang sudah menutupi telinga jadi berantakan. Perempuan itu terdiam. “Asal kamu tau, kita udah tunangan enam tahun ini. Kamu pikir gampang memutuskan semuanya dalam waktu beberapa menit aja? Hah?” seru Cakka, frustasi. “Aku gak inget apapun tentang kamu.” “Iya, aku tau! Trus kamu pikir aku bakal nerima keputusan ka...

Remember Me #ENDING Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi             Rio menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Ngel... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Shilla langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!” Angel semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Shilla. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini. Hiks...” Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which is sembilan tahun yang lalu,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Shilla biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.” Perempuan berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi. “Rio bener, Ngel. Shilla butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Cakka ikut menatap na...