Oleh
Shilla menuruni bus
dengan wajah kusut, khas baru bangun tidur. Rambut sepunggung miliknya
dibiarkan acak-acakan. Di belakangnya, sosok Rio dan Angel mengikuti.
“Shillaaa!” Seorang wanita
berjilbab muncul dari dalam rumah bercat hijau-putih dengan senyum mengembang.
Perempuan yang merasa
namanya dipanggil itu seketika menoleh. Senyumnya ikut mengembang saat
menyadari siapa yang meneriakkan namanya tadi. “Mamaaa!” Ia pun berlari dan menghambur
ke pelukan wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mama Cakka tersebut.
Mama yang siang itu
mengenakan jilbab krem dan terusan coklat tua polos mengelus punggung calon
menantunya yang sedang beliau peluk. Kemudian melepaskannya beberapa saat
kemudian. “Gimana perjalanannya? Capek, ya?”
Shilla menggeleng
mantap. “Enggak kok, Ma. Kan mau ketemu sama Mama, jadi bawaannya semangat.”
“Aduh, sekarang udah
pinter ngegombal, ya!” Mama menjawil hidung perempuan itu, gemas.
“Ehem.”
Wanita berjilbab
tersebut langsung menoleh saat mendengar deheman yang khas itu. Milik putra
semata wayangnya. Membuat beliau kontan berbalik dan memeluk erat laki-laki
yang jelas lebih tinggi darinya tersebut.
Cakka memeluknya
dengan ekspresi datar. Begitupun ketika melepaskannya. “Aku sebenarnya merasa
tersakiti loh, Ma. Masa Mama gak nyadar anaknya nontonin adegan temu kangen
kalian?” gerutunya. Persis anak kecil yang sedang mengadu.
Mama terkekeh pelan
seraya menjitak kepala anaknya. Lalu, beliau merasa sesuatu yang ganjal.
“Kalian... ke sininya gak bareng, ya? Kok tadi Mama liat Shilla turun dari bus,
sih? Bukannya kamu bawa mobil?” tanyanya, mengungkapkan keheranan.
Cakka langsung
memandang Mama dan Shilla bergantian. Namun saat mengingat apa yang dilakukan
Shilla pada Rio di bus tadi, rahangnya mengeras.
“Shilla kan mahasiswi,
Ma. Harus ngikutin peraturan kampus, jadi mau gak mau yaa mesti naik bus sama
temen-temen yang lain.” Perempuan itu yang menjawab. Lengkap dengan senyum
manis, namun tatapan menusuk ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh darinya.
***
Dokter Ify pura-pura tidak melihat saat Shilla
melemparkan tatapan sinis ke arahnya. Ia malah tertawa dalam hati. Anak
ingusan itu udah mau frontal kayaknya. Liat aja selama seminggu di sini. Kamu
yang seneng, atau aku... bisiknya dalam hati. Sembari menurunkan koper
pakaiannya dari dalam mobil milik Cakka.
***
Shilla menyeret kopernya dengan emosi. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa
laki-laki yang mengaku tunangannya ini bisa bersikap penuh perhatian pada
perempuan lain. Perempuan yang jelas-jelas sedang mencoba menarik perhatiannya.
Entah tidak peka, atau memang menikmatinya.
“Lo kenapa, sih?”
tanya Angel sambil memasuki kamar yang ditunjukkan Mama Cakka tadi. Kamar
berwarna putih dengan aura nyaman.
“Gue sebel! Gila aja!
Gue dosa apa sih sampe harus serumah sama Dokter Ify? Gak mungkin kebetulan
gini. Dia pasti udah ngerencanain biar bisa serumah sama Cakka! Gue yakin! Ck!”
Angel meletakkan tas
miliknya ke depan pintu lemari besar di dalam sana. “Gue juga curiganya kayak
gitu. Kalaupun ini kebetulan, kemungkinannya kecil banget. Apalagi buat Dokter
Ify yang tadi aja udah usaha banget bikin lo gak semobil sama Dokter Cakka.”
Perempuan berambut
ikal di depannya tidak menggubris. Ia malah sibuk merapikan beberapa barang
yang ia bawa ke atas meja kayu di samping tempat tidur.
“Eh, tapi... Kok lo
keliatan gak suka gitu, sih?” lanjut Angel. “Jangan-jangan lo cemburu, ya?
Hayo, ngaku!”
Shilla spontan
menoleh. Wajahnya masih ditekuk. “Enak aja lo!”
“Trus, ngapain
daritadi ngomel gitu?” Perempuan berlesung pipi yang notabene adalah sahabatnya
itu terus menggoda.
“Ya... Gue gak suka
aja. Jadi dokter kok ganjen banget. Harusnya kan dia punya wibawa, karisma,
whatever-lah. Kalo lagaknya kayak gitu sih, kita-kita pasti jadi gak respect
lagi. Iya, kan?” Shilla menjawab dengan berapi-api.
Angel tertawa dalam
hati. Mereka berdua sudah saling kenal tiga tahun terakhir ini. Jadi, ia bahkan
sudah bisa membedakan kejujuran dan kebohongan perempuan satu itu.
“Ngapain lo
senyum-senyum gak jelas gitu?” tanya Shilla. Masih dengan nada sewot.
“Siapa yang
senyum-senyum? Sok tau!” balas Angel. Perempuan berlesung pipi tersebut
mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. “Ini kamar siapa, sih?” tanyanya
kemudian.
“Cakka.”
“What? Ini... kamarnya
Dokter Cakka? Trus ngapain kita tidur di sini? Emang gak ada kamar lain?” Angel
kedengaran shock.
Shilla langsung
berbaring di atas tempat tidur dengan wajah penuh keletihan. “Gue gak suka
tidur di kamar tamu. Katanya dari dulu emang kayak gitu. Eh, malah kebawa sampe
pas amnesia gini . Mungkin karna kamar tamu jarang dipake kali, ya? Bawaannya
horor, sih.”
“Eh, jadi ntar kita
tidur sama Dokter Ify juga?” Angel ikut berbaring di sebelah kanan sahabatnya.
“Iya juga, ya?” Shilla
mendengus kesal. “Kenapa dia mesti tinggal di sini juga, sih? Ck!”
***
“Shilla?”
Perempuan yang kini
sudah mengenakan piyama bergambar chasper tersebut kontan menoleh. Memastikan
penglihatannya sejenak, lalu... “Rio? Kamu tinggal di sini juga?”
Rio yang juga sudah
mengenakan pakaian santai tersenyum tipis. “Iya, nih. Kebetulan banget.”
“Kebetulan apa
kebetulan?” Sebuah suara muncul dari arah dalam rumah.
Shilla dan Rio menoleh
bersamaan. Kemudian mendapati lelaki tinggi berkulit kecoklatan sedang berdiri
dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana kargo yang ia kenakan. Kacamata
bening masih setia menghiasi kedua mata teduh miliknya.
“Saya shock banget loh
denger kata kebetulan hari ini,” sindir lelaki yang tidak lain dan tidak bukan
adalah Cakka tersebut. “Kebetulan gabung di acara penyuluhan ini, kebetulan
satu bus sama Shilla, sampe kebetulan nginap di rumah saya. Kebetulan ternyata
bisa datang terus-terusan ke kamu, ya?” lanjutnya dengan tatapan tajam. Tentu
saja ke arah Rio.
“Bukannya dunia ini emang
penuh sama kebetulan, ya?” timpal Shilla. Ekor matanya melirik perempuan lain
yang juga baru muncul dari dalam kamar.
Perempuan yang
merupakan Dokter Ify itu menghentikan langkahnya tepat di sebelah Caka. Dengan
piyama putih bergambar teddy bear. Menghadap Shilla dan Rio di depannya.
“Maksud kamu apa?”
tanya Dokter Ify. Tersinggung akan kalimat terakhir yang didengarnya saat tiba
di ruang tengah rumah Cakka.
“Gak pa-pa kok, Dok.
Saya cuma ngomongin fakta tentang kebetulan,” balas Shilla. Ia berdiri dengan
kedua tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya masih kesal. Mengingat
bayang-bayang Dokter Ify di mobil Cakka siang tadi.
“Kamu kenapa? Sejak
kapan cara bicara kamu jutek gitu sama dosen?” tegur Cakka. Merasa tidak enak
hati atas sikap tunangannya barusan.
“Aku kenapa? Perasaan
biasa aja, deh.”
“Shilla, cara bicara
kamu itu dipelanin dikit. Kesannya gak sopan banget,” ucap Cakka lagi.
“Mau-mau aku, dong!
Ini kan suaraku. Aku bukan putri keraton yang ngomongnya harus lembut terus!”
seru Shilla, antara emosi dan frustasi.
“Shilla! Kamu tuh–”
“Dokter Cakka, gak
pa-pa, kok.” Dokter Ify langsung menyela sambil memegang lengan kiri milik
lelaki di sebelahnya.
Mata Shilla sontak
dibuat melebar mendapati kejadian di depannya tersebut. What? Yang barusan
itu... Cakka... Lebih ngebelain perempuan lain dibanding aku? geramnya
dalam hati. Lalu buru-buru meninggalkan ruang tengah dengan segenap emosi.
“Shilla! Kamu mau
kemana?” adalah teriakan-terakhir dari Cakka yang ia dengar sebelum keluar dari
rumah.
***
“Sebel! Sebel! Sebeeel!!!” Perempuan berpiyama chasper itu menginjak-injak
tanah sekuat tenaga. Ia duduk di atas saung yang terletak di dekat puskesmas
yang besok pagi akan menjadi tempat penyuluhan kesehatan dari dokter dan mahasiswa
kampusnya.
“Eh, berisik banget!”
Sebuah suara tiba-tiba muncul di sampingnya. Suara berat khas laki-laki. Tanpa
menoleh pun, shilla sudah tahu bahwa itu adalah suara Rio.
“Kamu pasti kesel
banget gara-gara Dokter Cakka sama Dokter Ify tadi. Iya, kan?” lanjut Rio. Ia
ikut duduk di sebelah perempuan dengan wajah cemberut tersebut.
“Bukan sebel lagi. Aku
malah pengen bikin orang babak belur sekarang.” Shilla mengepalkan kedua
tangannya dengan erat. Membuat buku-buku jarinya memutih. Kukunya yang mulai
panjang sedikit melukai telapak tangannya, namun tak ia pedulikan sama sekali.
“Aku juga sempet shock
pas Dokter Cakka ngebelain Dokter Ify dan malah ngebentak kamu. Padahal,
biasanya kalian kan mesra banget,” komentar Rio. “Kok Dokter Cakka bisa berubah
gitu, ya? Aku aja pasti gak bakalan tega ngelakuin itu ke kamu. Apalagi kalo
kamu itu... tunangan aku.”
“Apa sebelum ini, dia
juga suka ngomong kasar ke aku, ya?” gumam Shilla. Lebih untuk dirinya sendiri.
Pandangannya menerawang, mencoba mengingat masa lalu. Namun tetap tak
membuahkan hasil apapun.
Rio meliriknya dengan
senyum lebar. “Kalo kamu butuh bahu, aku selalu ada buat kamu.”
Tanpa suara, perempuan
itu langsung menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan Rio. Menenangkan memang, namun
tetap hangat dari Cakka yang terbaik.
***
Shilla memasuki rumah dalam diam. Tubuhnya sudah dibalut jaket tebal berwarna
khaki milik Rio.
“Kamu darimana aja?”
Cakka langsung berdiri dari sofa ruang tamu. Menghampiri sang tunangan.
Ekspresinya jangan ditanya lagi. Sudah mengalahkan istilah kebakaran jenggot
saking cemas dan merahnya.
Perempuan itu
melanjutkan langkahnya ke bagian dalam rumah dengan tatapan datar. Seolah-olah
tidak mendengar pertanyaan lelaki berkacamata itu.
Merasa tak diacuhkan,
Cakka langsung mencekal lengan kanan Shilla. Membuat tubuh mungil tersebut
terhuyung ke belakang. “Kalo aku nanya, kamu jawab, dong!”
Shilla menoleh dan
sontak melemparkan tatapan tajam ke dalam mata lelaki yang kini menggenggam
lengan miliknya. “Mau kamu apa, sih?” tanyanya.
“Harusnya aku yang
nanya. Mau kamu apa? Tiba-tiba pergi dari rumah, trus pulangnya sama cowok
lain!” Cakka melirik Rio dengan pandangan tidak suka yang sangat kentara.
“Apa peduli kamu?
Hah?” sorak Shilla. Ia menyentakkan tangannya dengan kasar. Membuat genggaman
Cakka spontan terlepas.
“Shilla!”
“Kenapa? Teriak aja!
Bentak aku sampe kamu puas!!!” seru perempuan itu.
Sedetik kemudian,
Angel dan Dokter Ify keluar dari kamar. Disusul Mama dengan wajah khas bangun
tidur.
“Kalian kenapa, sih?”
tanya wanita paruh baya tersebut.
Cakka malah meremas
kepalanya sendiri. Lalu melangkah memasuki kamar tempatnya dan Rio tidur
bersama untuk satu minggu ke depan. Meninggalkan kelima sosok yang masih
bergeming di ruang tamu.
Sepeninggal putranya,
Mama langsung mendekati dan merangkul pundak calon menantunya yang sedang
memijat kepala tersebut. “Kalian kenapa sih, sayang?”
“Gak tau, Ma. Aku juga
gak ngerti,” balasnya. “Oh iya, Ma. Aku... boleh tidur sama Mama, gak?”
Mama mengerutkan
dahinya sejenak. Kemudian mengangguk pelan, dan menggandeng Shilla menuju
kamar.
***
Shilla menaruh piring berisi omlet untuk sarapan di pagi pertama mereka di
sini. Lalu duduk di kursi kosong yang terletak antara Cakka dan Angel. Di
seberang, duduk Rio dan Dokter Ify. Sedangkan Mama duduk di ujung meja sebelah
kanan Cakka seorang diri.
Mereka menyendok nasi
goreng, omlet, dan nugget ayam ke piring masing-masing dalam diam.
“Oh iya, Dok...”
Dokter Ify yang pagi itu terlihat lebih fresh dengan rambut kuncir kuda dan
long dress merah muda memecah keheningan. “Kita langsung ngumpul di
puskesmasnya jam sepuluh, ya?”
Cakka mengunyah
sejenak. “Iya, Dok. Ada apa?”
“Enggak pa-pa, sih.
Cuma kita ke sana naik apa? Kemarin saya liat tempatnya lumayan jauh juga kalo
jalan kaki.”
Shilla melirik perempuan
di depannya dengan ekor mata. Mau ngapain lagi nih si dokter ganjen?
“Saya sih biasanya ke
sana naik motor. Kebetulan di garasi rumah ini saya naro’ motor biar gak ribet.
Tapi karna kita ke sananya rame-rame, mungkin saya jalan kaki aja.”
“Gimana kalo kita naik
motor aja, Dok? Puskesmas itu kan jauh,” balas Dokter Ify.
Shilla menghentikan
kunyahannya dengan dahi berkerut. Kita? Nah, aku bilang juga apa! Pasti dia
punya rencana lagi! Mau modus lagi! Ck!
Cakka langsung melirik
perempuan di sebelah kirinya tersebut. Membuat sang objek buru-buru memasukkan
sesendok nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan pipi menggembung. “Saya
kayaknya jalan kaki aja deh, Dok. Sekalian olahraga sambil ngobrol sama dosen
dan mahasiswa yang lain,” jawabnya.
“Tapi kan jauh,
Dok...”
“Kenapa Dokter Ify gak
naik motor sendiri aja?”
Jengjeeeng! Semua mata
kontan menatap Mama yang baru saja nyeletuk dengan santainya. Shilla dan Angel
malah harus menahan senyum setengah mati.
“Saya gak tau bawa
motor, Bu. Makanya saya minta Dokter Cakka yang bawa,” ucap Dokter Ify. Tak
lupa memamerkan senyum manis andalannya.
“Ya udah. Berarti
Dokter harus rela jalan kaki. Kecuali kalo mau bawa mobil. Eh, tapi jalanan ke
puskesmas itu agak sempit. Gak ada tempat parkir.” Mama menjelaskan dengan raut
wajah yang keras. Ekspresi yang belum pernah dinampakkannya di depan Shilla.
“Shilla gak apa-apa
kan jalan kaki ke sana?” Mama mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan mungil
dengan rambut ikal tergerai dan mini dress summer di sebelah putranya.
Shilla menggeleng
mantap. “Enggaklah, Ma. Di sini kan adem. Lagian kalo di sana aku gak pernah
olahraga, bosen naik kendaraan mulu.”
“Tuh, Dok. Dosen itu
ya wong ngasih contoh ke mahasiswinya. Dokter gak malu apa liat mahasiswinya
lebih semangat?”
“Uhuk! Uhuk!” Shilla
langsung tersedak gara-gara menahan tawa sambil berusaha menelan makanannya.
Cakka buru-buru
menyodorinya segelas air putih seraya menepuk-nepuk punggung perempuan itu.
Saat batuknya sudah
reda, Shilla langsung menepis jemari tunangannya tersebut dengan kasar.
Sisa-sia emosi kemarin masih menguasainya.
“Oh iya, Kka. Kamu
harus jagain Shilla loh selama di sini. Mama gak mau dia kenapa-kenapa.
Ngerti?”
Lelaki itu mengangguk
mantap.
Sedangkan Shilla
seketika mendengus kecil.
***
“Saya yakin kalo si Shilla minta bantuan mamanya Cakka buat ngebelain dia. Ck!”
lirih Dokter Ify, diiringi decakan kesal pada akhirnya. Ia berjalan di barisan
agak belakang bersama Rio.
“Apa jangan-jangan
mamanya Cakka yang gak suka sama kita, Dok? Tadi aja saya disinisin mulu cuma
gara-gara bantuin Rio nyari buku.” Rio yang pagi itu terlihat santai dengan
kaos polo abu-abu dan celana jeans berwarna senada tersebut memasukkan kedua
tangannya ke dalam saku jas dokter yang ia kenakan. Lalu menghirup udara segar di
sekitarnya tanpa sadar.
“Whatever-lah. Intinya
dia bisa jadi penghalang rencana kita. Huh, percuma kita minta bantuan Dokter
Tio biar kita bisa serumah sama mereka di sini.” Dokter Ify menendang kerikil
di depannya. Sekaligus melampiaskan kekesalan karena harus berjalan sekitar
satu kilometer untuk sampai ke puskesmas tempat penyuluhan diadakan.
“Iya juga, Dok. Jadi
kita mesti gimana?”
Perempuan itu langsung
melemparkan pandangannya ke arah Shilla yang sedang menoyor bahu Angel di depan
sana. “Kita tetep berusaha ngejauhin mereka aja. Gimanapun caranya.”
***
“Lo kayaknya seneng banget,” cibir Angel ke arah sahabatnya yang melangkah
dengan riang sedari tadi. Kadang sambil menyanyi, bahkan tertawa sendiri.
Shilla menoleh dan
menatap perempuan berlesung pipi di sebelahnya sambil tertawa lebar. “Gak
pa-pa, kok. Gue cuma seneng aja. Finally bisa terbebas dari suara anak kecil
yang berisik, dan kerja di daerah terpencil.”
“Idih, siapa tau di
sini kebanyakan anak kecil yang sakit, gimana? Ujung-ujungnya lo ngerawat anak
kecil juga, kan?”
Langkah Shilla berubah
pelan seketika. “Eh, iya juga, ya?” gumamnya. “Ah, sialan lo!” sambungnya
sambil mendorong bahu kiri sahabatnya itu dengan kesal.
Angel spontan tertawa
puas.
“Eh, by the way,
Dokter Ify kemana? Tumben gak nempelin tunangan lo,” bisik Angel sembari
celingukan, mencari sang topik pembicaraan.
Shilla ikut
mengedarkan pandangannya. Lalu menemukan perempuan yang dimaksud sedang
berjalan di bagian agak belakang dari rombongan berjas dokter ini. Bersama Rio.
“Tuh, dia ada di belakang. Lagi asik ngobrol sama Rio,” ucapnya sembari
mengembalikan konsentrasi ke jalanan di depan.
Angel menoleh dan
mendapati keduanya sedang berbicara dengan serius. Kemudian ganti menatap
Shilla. “Lo ngerasa gak, sih?” tanyanya.
“Ngerasa apa?”
“Dokter Ify sama
Rio... Mereka deket banget, kan? Kalo Dokter Ify gak nempelin Dokter Cakka
kayak tokek, dia pasti bareng Rio. Kayak sekarang. Gue jadi curiga.”
“Curiga apa? Masa
Dokter Ify doyan brondong macem Rio? Jangan fitnah orang sembarangan, ah.”
“Dasar sotoy! Bukan
gitu maksud gue!” Perempuan berlesung pipi itu menoyor kepala Shilla dengan
gemas. “Maksudnya, jangan-jangan Dokter Ify sama Rio sekongkol buat misahin lo
sama Dokter Cakka, lagi. Yah, siapa tau kan...”
“Wah, parah lo! Ya gak
mungkinlah. Gue kenal Rio, dia itu baik banget. Kayaknya dia gak bakal sepicik
itu. Apalagi dia kan ganteng, ngapain juga mau sama gue. Lagian gue sama dia
udah selesai dari SMP. Gue aja udah gak punya feeling apa-apa sama dia.”
“Who knows, Shill? Nothing
impossible, right? Tuh, buktinya.” Angel menoleh. Lalu menunjuk Dokter Ify dan
Rio yang masih ngobrol, dengan dagu.
Shilla ikut memandangi
kedua orang yang terlihat asik berbincang tersebut. Kedua alisnya menyatu.
Ingin mengikuti kecurigaan sahabatnya, namun belum memiliki bukti nyata.
Akhirnya, ia memilih mengembalikan pandangan. Ke arah sang tunangan yang
berjalan di barisan paling depan, bersama beberapa mahasiswi yang terlihat
berusaha menarik perhatiannya.
***
Shilla duduk di kursi depan puskesmas sambil menyelonjorkan kedua kakinya.
Sudah jam makan siang, tapi ia belum menemukan semangat setelah tiga jam lebih
berurusan dengan pasien di puskesmas tersebut. Bukan untuk mengobati, tapi
untuk menerima wawancara sebagai tunangan Cakka. Entah mengapa karisma lelaki
itu selalu saja membuatnya gerah menghadapi respon orang-orang di sekitar.
“Kok masih di sini,
shill?” Suara Rio muncul di sebelahnya.
Shilla menoleh. “Iya,
nih. Masih capek.”
“Trus, Dokter Cakka
mana?”
Perempuan itu kontan
celingukan. Ia memang tidak sempat bertemu tunangannya sejak sampai di
puskesmas tadi. “Gak tau. Udah pulang, kali.”
“Kamu gak mau pulang?”
tanya Rio lagi.
“Enggak, ah. Kamu
sendiri, kenapa masih di sini? Gak laper?”
“Asal bareng kamu, aku
udah kenyang, kok.”
Shilla langsung
tertawa geli. “Dasar tukang gombal! Kamu cocok tuh bikin geng sama Dokter
Cakka.”
Rio yang tadinya ikut
tertawa, seketika membeku.
“Cakka tuh ya, kalo
aku lagi ngomongin masalah apapun pasti dibelokin jadi gombalan. Bener-bener
gak pernah kekurangan stock.” Perempuan itu melanjutkan kalimatnya seraya
geleng-geleng kepala. Lengkap dengan senyum lebar. “Tapi ya itu, ngeselinnya
lebih banyak. Huh! Trus–”
“Shill, gimana kalo
kita nyari makan sekarang? Di deket sini ada warung, kan?” Tiba-tiba, Rio sudah
menggenggam jemari miliknya. Kemudian menuntunnya untuk beranjak meninggalkan
pelataran puskesmas. Dengan sedikit terburu-buru.
***
“Shilla kemana, Ngel?” tanya Cakka sembari memperbaiki duduknya di kursi meja
makan.
Angel yang juga baru
duduk di sana, menggeleng pelan. “Gak tau, Dok. Tadi Shilla masih sibuk
nanganin pasien, jadi saya pulang duluan.”
Pandangan lelaki
berkacamata tersebut langsung tertumbuk pada kursi kosong di seberang meja.
“Rio mana?”
Dokter Ify melirik
kursi di sebelahnya. “Dia juga belum pulang dari puskesmas.”
Mama ikut duduk di
ujung meja setelah meletakkan piring terakhir berisi sup ayam di depan ketiga
orang di sana. “Coba telepon Shilla, Nak. Siapa tau dia udah jalan ke sini.”
Cakka langsung merogoh
saku celana panjang yang ia kenakan, kemudian menekan tombol 2 yang akan
men-dial otomatis ke nomor handphone tunangannya. Nada sambung terdengar. Ia
menunggunya dengan tidak sabar. Sampai nada konstan tersebut digantikan oleh
suara operator pada akhirnya.
“Kenapa?” tanya Mama
saat mendapati putranya mendecak kesal.
“Teleponnya gak
diangkat, Ma.”
“Coba aku telepon Rio,
Dok. Siapa tau mereka lagi barengan,” ucap Angel sambil meraih ponselnya di
atas meja. Lalu merutuk sesaat setelah mendapati tatapan tajam si dokter ganteng
karena kalimat terakhirnya barusan. “Gak diangkat juga,” lanjutnya kemudian.
Cakka sontak berdiri
dari duduknya. Lalu melangkah meninggalkan meja makan.
“Kamu mau kemana,
Kka?” seru Mama.
Lelaki itu menoleh
sekilas. “Nyari Shilla.”
***
Cakka memelankan laju motor ninja miliknya sembari mengedarkan pandangan ke
kiri-kanan jalan. Setelah satu kilometer dari kediamannya, ia merasa melihat
seorang perempuan mungil dengan jas dokter sedang jalan berdampingan bersama
seseorang yang sangat ia yakini sebagai Rio.
“Shilla!!!” sorak
Cakka seraya menepikan motornya.
Perempuan yang merasa
namanya dipanggil itu seketika berbalik. Lalu bertemu pandang dengan sang
tunangan.
“Kamu darimana?” tanya
lelaki yang sedang menatapnya tajam tersebut.
“Abis makan sama Rio.
Kenapa?”
Mata Cakka langsung
membesar. Shock. “Hah? Kamu ini... Ck!” Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke
arah Rio. “Lo ngapain ngajak tunangan gue? Hah?”
***
Jengjeeeng!!!
Shilla langsung tegang
mendengar Cakka yang sangat menjunjung tinggi keprofesionalan tersebut sedang
berbicara menggunakan ‘gue-elo’ pada mahasiswa sekaligus asistennya sendiri.
“Salah Dokter, kenapa
punya tunangan tapi malah ditinggal sendirian.” Rio melipat kedua tangannya di
depan dada. Terlihat menantang. Membuat Shilla semakin menahan nafas.
“Lo nantangin gue?”
Cakka melangkah maju, mempersempit jarak antara dirinya dan laki-laki yang
memiliki postur tak jauh beda darinya tersebut.
“Dokter pikir saya
takut?” Rio tertawa meremehkan di ujung kalimatnya. “Apa saya mesti ngaku dulu
kalo saya masih sayang Shilla baru Dokter mau ngejagain dia 24 jam biar gak
saya rebut?”
BUK! BUK!
Shilla memekik
tertahan ketika melihat tunangannya melayangkan kepalan tangan kanan ke hidung
mantan pacar semasa SMP-nya sebanyak dua kali. Ia ingin berteriak, namun
tubuhnya seakan dipaku. Ingin memisahkan, tapi takut jadi korban salah sasaran.
BUK!
Kali ini, giliran Rio
yang membalas. Hanya satu pukulan, tepat ke ulu hati Caka. Membuat lelaki itu
terhuyung beberapa langkah ke belakang.
“KALIAN NGAPAIN?”
sorak perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang tubuh Cakka.
Kemudian berusaha menjauhkan kedua laki-laki yang sepertinya bisa saling
menghilangkan nyawa jika tetap dibiarkan.
Perempuan yang tidak
lain dan tidak bukan adalah Dokter Ify itu sontak menarik kemeja Rio, walau
dengan susah payah.
“Kamu ngapain diem di
situ? Kenapa gak misahin mereka, sih?” teriak Dokter Ify lagi, agak emosi.
Untung suasana di sekitar mereka sedang sepi. Jadi tidak mengundang keramaian
orang-orang.
Shilla yang menjadi
objek teriakan Dokter Ify barusan hanya memasang ekspresi bersalah. Ia terlalu
shock untuk berpikir apa yang bisa ia lakukan beberapa saat yang lalu.
“Kalo kamu bangga
direbutin dua laki-laki sekaligus, seenggaknya kamu pikirin gimana keadaan
mereka kalo babak belur atau cacat gara-gara berantem gak penting ini!” sambung
perempuan itu, jemarinya masih meremas lengan kemeja Rio.
Shilla menundukkan
kepalanya dalam-dalam seraya memejamkan mata. Menghalau butiran bening mengalir
tanpa izin di pipi mulus miliknya.
“Gue ingetin sama lo!
Sekali aja lo coba-coba deketin tunangan gue, gue gak bakal bikin lo tenang!
Ngerti?” Caka mengusap keringat yang menetes dari dahinya dengan kasar. Lalu
menarik pergelangan tangan Shilla untuk pergi, sebelum menabrak bahu Rio dengan
bahunya yang kekar.
***
“DAMN IT!!!”
Dokter Ify menatap
farhan yang berdiri di sebelahnya dengan dahi berkerut. Lelaki itu terlihat
seperti sedang mencari objek untuk pelampiasan amarahnya. Namun entah kemana.
“Kamu ini kenapa, sih?”
Lelaki yang ia tanya
tersebut balik memandangnya dengan nafas terengah-engah, bekas pertengkaran
tadi. Hidungnya bahkan mengeluarkan darah segar yang enggan ia pedulikan.
“Harusnya kamu bisa
ngendaliin emosi kamu. Gimana kalo masalah ini makin panjang? Kamu itu
statusnya masih mahasiswa, Rio!”
“Dokter Cakka yang
mulai mancing perkelahian tadi, Dok! Masa saya mesti tinggal diam?” Rio
menjawab sembari meneruskan langkahnya.
Dokter Ify langsung
menahan kemeja lelaki itu. Membuat langkah lebar Rio sontak berhenti. Lalu
berbalik dan berhadapan dengannya.
“Kamu mau pulang
dengan muka biru dan berdarah gitu? Gak takut diinterogasi sama mamanya Dokter
Cakka?” tanyanya.
Lelaki tersebut
spontan mengusap daerah di bawah hidungnya, tempat darah hasil bogem mentah
Cakka mulai mengering. Ia meringis pelan sembari meraba hidung dan pipinya.
Untung tidak ada tulang yang patah.
“Sini...” ujar Dokter
Ify seraya menggandeng tangan mahasiswanya itu ke tepi jalan. Ke arah sebuah
akar pohon yang lumayan besar berada. Kemudian duduk di atas sana, dan
mengeluarkan sebungkus tisu basah dari dalam saku pakaiannya.
“Auw,” ringisan Rio
semakin menjadi saat Dokter Ify mencoba membersihkan luka di wajahnya dengan
selembar tisu basah. “Itu sakit, Dokter. Pelan-pelan, dong.”
“Heh! Dasar gak tau
diri! Udah untung saya mau bantu ngobatin!”
Lelaki itu sontak
bungkam. Perempuan cantik manapun tetap saja terlihat menyeramkan saat marah.
***
Shilla memasuki kamar dengan wajah cemberut. Sepanjang perjalanan tadi, ia
tidak terlibat percakapan apapun bersama sang tunangan.
“Shilla, lo gak
kenapa-kenapa?” Angel muncul dari pintu dengan wajah cemas. “Tadi gue liat
Dokter Cakka. Kok mukanya kayak lagi marah, ya? Lo darimana aja, sih?”
“Ceritanya panjang.
Gue mau mandi dulu. Lo gak ke puskesmas?” Shilla balik bertanya dengan lesu.
“Ini, gue udah mau
jalan. Mau barengan?”
“Gak usah. Lo duluan
aja,” balas perempuan itu sambil melangkah menuju kamar mandi yang berada di
sudut kamar.
***
Shilla duduk di atas tempat tidur sambil menguncir rambut sebahu miliknya.
Rumah sudah sepi. Sepertinya penghuni yang lain sudah berangkat ke puskesmas
untuk kembali melayani warga.
“Kamu udah mau ke
puskesmas, sayang?”
Perempuan itu menoleh.
Lalu menemukan sosok Mama sudah ikut duduk di sebelahnya.
“Iya, Ma.”
Hening sejenak.
“Mama udah denger
masalah kalian berempat,” ucap wanita berjilbab tersebut.
Shilla kontan
mengerutkan dahinya. “Hm?”
“Iya. Antara kamu,
Cakka, Dokter Ify, dan Rio.” Mama mengelus rambut ikal calon menantunya itu.
“Kalian berdua kan udah tunangan, kenapa mesti cemburuan terus, sih?
Seharusnya, mau berapapun orang yang ngedeketin kalian berdua, itu gak masalah.
Toh kalian masih saling mencintai,” lanjutnya.
“Aku juga mikirnya
kayak gitu, Ma. Aku udah nganggep Rio sebagai temen. Gak lebih, apalagi
hubungan kami udah selesai lama banget. Tapi Cakka gak pernah mau terima kalo
aku tetep akrab sama Rio. Sementara dia bisa seenaknya deket sama Dokter Ify
yang jelas-jelas selalu berusaha ngerebut perhatian dia dari aku. Egois kan,
Ma?”
Mama tersenyum tipis.
Jenis senyum menenangkan yang selalu dirasakan Shilla setiap melihat Cakka
tersenyum ke arahnya. “Mama ngerti. Cuma harusnya kalian berdua ngehindarin
orang-orang kayak Dokter Ify sama Rio. Mama bukannya su’udzon atau apa yaa, cuma
Mama ngerasa ada yang aneh aja. Kok mereka berdua keliatannya getol banget
ngedeketin kalian dalam waktu bersamaan?”
Shilla terdiam. Ia
jadi teringat pembicaraannya bersama Angel tadi pagi. “Tapi Rio itu baik, Ma.
Dia udah aku anggep sahabat banget. Kalo Dokter Ify sih gak tau.”
“Tapi... who knows,
sayang? Gak ada yang gak mungkin, kan?”
Deg! Kini, perempuan
itu benar-benar mengingat kata-kata terakhir Angel yang hampir sama dengan
kalimat Mama barusan.
***
Entah sudah ke-berapa kalinya Cakka menoleh ke arah halaman puskesmas untuk
memastikan kehadiran tunangannya. Ia sengaja berangkat duluan untuk menghindari
rasa bersalah karena terpancing emosi beberapa jam yang lalu. Apalagi di depan
calon istrinya sendiri.
“Ngel, Shilla belum
dateng, ya?” Lelaki itu menghalagi Angel yang lewat di depannya.
“Udah, Dok. Tuh, dia
baru aja duduk di ruang tunggu. Ngobrol sama warga yang mau berobat,” jawab
perempuan berlesung pipi tersebut.
“Ya udah. Makasih,
ya!” Cakka langsung melangkah ke ruang tunggu yang terletak tepat di depan
pekarangan puskesmas itu. Lalu menemukan seorang perempuan berkuncir kuda
dengan jas dokter sedang duduk membelakanginya.
“Waaah, berarti Shilla
ini calon menantunya Ibu Idha, ya?” Seorang ibu dengan anak kecil di
pangkuannya terlihat bertanya sambil tersenyum lebar.
Cakka kontan
menghentikan langkah. Memilih mendengar pembicaraan tunangannya bersama ibu-ibu
di sana dari balik sebuah pilar.
“Iya, Bu.” Perempuan
itu balas tersenyum. Sesekali, ia menggoda anak laki-laki di pangkuan ibu di
depannya.
“Jadi nikahnya kapan,
dong?” tanya ibu itu lagi.
“Pasti ntar anaknya
ganteng. Wong orangtuanya cakep gini,” timpal wanita paruh baya yang lain.
“Ibu Idha enak banget
ya, punya anak sama menantu dokter...” Seorang ibu ikut menyeletuk.
Dan masih banyak lagi
ungkapan-ungkapan lainnya yang hanya dibalas senyuman oleh Shilla. Membuat
lelaki itu tidak tahan dan akhirnya memilih menghampiri mereka.
“Lagi ngomongin apa,
nih? Kayaknya serius banget.” Cakka langsung duduk di samping tunangannya
dengan senyum bahagia. Seperti tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
Beberapa wanita paruh
baya di sekitar seketika membeku. Ada yang balas tersenyum kikuk, ada yang
melotot, bahkan menganga tanpa sadar.
Lelaki itu berusaha
menyembunyikan tawanya. Kemudian merangkul pundak Shilla dengan erat.
Menghalanginya jika berniat kabur.
“Cakka sama Shilla ini
serasi sekali, ya... Kenapa belum nikah, sih? Kasian Bu Idha, pasti udah mau
gendong cucu.” Ibu yang sedang memangku anak laki-laki tersebut membuka
pembicaraan. Diikuti anggukan manta dari ibu-ibu yang lain.
Cakka bisa merasakan
tubuh Shilla menegang dalam rangkulannya. Ia pun mengelus pundak perempuan itu,
mencoba menenangkan. “Secepatnya kok, Bu. Doain aja.”
***
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Shilla meletakkan sebuah piring besar
berisi ayam rica-rica ke atas meja makan. Di belakangnya, Mama ikut menaruh
semangkuk jumbo sayur sup kesukaan putranya.
“Shilla, kamu
panggilin Cakka sama yang lain, ya!” ujar Mama seraya melepas celemek dari
tubuhnya.
Shilla mengangguk
pelan. Sepulang dari puskesmas tadi, ia belum mau membuka pembicaraan dengan
lelaki itu. Walau sang tunangan sudah berkali-kali mencoba menarik
perhatiannya. Ia juga berusaha menghindari Rio dan Dokter Ify setiap mengingat
insiden siang tadi.
Perempuan yang sudah
mengenakan daster batik selutut khas ibu-ibu tersebut pun melangkah memasuki
kamar yang ditempati Angel dan Dokter Ify. Keduanya sedang sibuk melihat-lihat
buku catatan nama pasien lengkap dengan keluhannya di atas tempat tidur.
Shilla berdehem pelan,
membuat Angel dan Dokter Ify kontan menoleh ke arah pintu kamar.
“Kenapa, Shill?” tanya
Angel.
“Makanan malemnya udah
siap. Mama nunggu kita di meja makan,” balas Shilla. Ia bahkan enggan menatap
Dokter Ify. Seakan menekankan kata ‘kita’ hanya pada dirinya dan sang sahabat.
“Oh, ya udah kalo
gitu.” Perempuan berlesung pipi tersebut langsung turun dari tempat tidur. Lalu
memakai sendal mini mouse miliknya.
Shilla mengangguk,
kemudian berbalik untuk kembali ke meja makan. Namun tiba-tiba, ia teringat
sesuatu. “Eh, Ngel...” ucapnya seraya kembali memandang sahabatnya.
“Hm?”
“Lo tolong kasih tau
Dokter Cakka sama Rio, ya! Gue mau bantu Mama beresin meja makan soalnya.”
“Okay,” Angel
tersenyum memaklumi. Ia sudah bisa lulus dengan predikat cum laude dalam
masalah memahami sahabatnya itu.
***
Cakka duduk paling terakhir di meja makan.
Kemudian langsung memimpin doa makan. Setelah itu, bunyi piring dan sendok
beradu pun terdengar bersahutan.
“Gimana, Kka? Enak?”
tanya Mama sambil melirik putranya.
Lelaki itu
menghentikan kunyahannya sebelum menjawab. “Iya, Ma. Enak banget, malah.”
“Mama jago masak, ya!
Saya mau loh kapan-kapan diajarin masak yang kayak begini.” Dokter Ify
menimpali.
Mama sontak menatap
perempuan dengan piyama merah muda tersebut. “Maaf loh, Dokter Ify. Bukannya
gimana-gimana, cuma saya gak enak kalo dipanggil Mama sama orang lain, kecuali
Cakka dan calon menantu saya.” Beliau memasang ekspresi datar, dengan penekanan
pada kata calon menantu.
Dokter Ify terlihat
serba salah. Ia tersenyum kikuk seraya berujar, “Maaf, Bu. Saya keseringan
denger Shilla manggil Mama, jadi ikut kebawa.”
Shilla kontan
memadangnya takjub. Gila, ngapain bawa-bawa aku, coba? Ck!
“Tapi masakannya
bener-bener enak, Bu. Dan masalah belajar masak tadi, saya juga serius,” lanjut
perempuan itu. Lengkap dengan senyum manis andalannya.
Mama melirik Shilla
sekilas. Kemudian mengembalikan perhatiannya pada Dokter Ify. “Emangnya Dokter
gak bisa masak?”
“Enggak bisa, Bu. Baru
masakan yang instan dan simpel aja.”
“Kasian dong, ya?”
Mama tersenyum miring, terkesan meremehkan. “Oh, iya. Kalo Dokter mau belajar
masak, sama Shilla aja. Soalnya semua makanan yang ada di atas meja sekarang,
dia yang bikin.”
Dokter Ify tergeragap
sejenak. Namun buru-buru menormalkan raut wajahnya. “Oh, ya?” Hanya itu yang
bisa ia katakan.
Mama mengangguk penuh
semangat. “Iya. Bener-bener menantu idaman, kan? Makanya saya gak bakal
ngijinin mereka pisah. Apalagi kalo Cakka deket sama perempuan lain yang gak
bisa masak. Amit-amit deh!”
*TBC*
Komentar
Posting Komentar