***
Shilla mengunyah roti bakar
selai coklat kesukaannya dengan tatapan kosong. Berbeda dengan pagi-pagi
sebelumnya, ia memilih melewati pagi ini dalam diam. Sesekali melirik sang Ayah
yang sibuk membaca koran di ujung meja sebelah kiri, lalu menatap Ibu yang ikut
menikmati roti di seberang. Kemudian ke sosok baru di samping kanannya –yang
katanya– merupakan tunangannya. Calon suaminya.
“Shilla,” Ayah memecah keheningan.
Perempuan itu langsung mengalihkan pandangannya dari susu coklat ke wajah
lelaki berusia 50 tahun di sebelah kirinya tersebut.
“Mulai hari ini, Pak Toro gak nganterin kamu lagi. Dia nganterin Ayah. Ayah
udah capek nyetir mobil sendiri.”
Shilla mengangguk pelan. “Ya udah. Kalo gitu, Shilla nyetir sendiri aja.”
“Enggak, bukan gitu maksud Ayah, Nak. Maksudnya mulai sekarang, Cakka yang
bakal nganter kamu ke kampus,” tambah Ayah.
Shilla nyaris tersedak dan memuncratkan susu coklat yang baru saja ia minum
kalau saja tidak cepat-cepat menelannya. “Ayah gak becanda, kan? Ayah lupa kalo
aku bisa nyetir mobil sendiri? Aku bisa, kok.”
“Enggak! Kamu gak boleh bawa mobil! Ibu gak bakal ngijinin kamu!” sergah Ibu
cepat.
“Aku bisa naik taksi,” jawab Shilla lagi. Ia betul-betul belum siap untuk
menerima kehadiran orang baru di kehidupannya. Setidaknya bagi Shilla, ia belum
mengenal Cakka sepenuhnya. Dan karena masih canggung serta takut untuk mencoba
mendekatkan diri secara tiba-tiba seperti saat ini, ia lebih baik menghindar.
Sampai ia siap lahir dan batin.
“Ngapain kamu naik taksi kalo tujuan kalian sama?” tanya Ayah.
Shilla langsung menoleh dan menatap Cakka yang sedari tadi tak bersuara di
sebelahnya. Dengan dahi berkerut.
Cakka ikut memandangi tunangannya itu. “Iya, aku bakal ke kampus kamu. Ini hari
pertamaku kerja di sana,” jawabnya. Tanpa ditanya, ia sudah tahu apa isi
pikiran Shilla.
“Kerja?”
Cakka mengangguk pelan. “Ntar kamu tau sendiri, kok...” balasnya. “Udah siang.
Kita berangkat sekarang, yuk!” sambungnya sembari menghabiskan cappucino di
atas meja makan hingga tandas.
Shilla menghela nafas panjang. Lalu ikut menghabiskan susu coklatnya.
“Ayah, Ibu... Kami berangkat dulu, ya! Assalamu alaikum,” pamit Cakka sambil
menciumi punggung tangan kedua calon mertuanya.
“Shilla pergi dulu, Yah... Bu... Assalamu alaikum,” Shilla berdiri dari
duduknya. Kemudian mengekori Cakka yang telah lebih dulu berjalan ke pintu
depan. Setelah menciumi tangan Ayah dan Ibunya.
“Wa alaikum salam...” balas Ayah dan Ibu bersamaan. Dihiasi dengan senyum
bahagia melihat putri semata wayang mereka mulai menurut. Berbeda dengan
keadaan semalam.
***
Shilla turun dari mobil Cakka saat lelaki itu membukakan pintu untuknya.
Wajahnya tetap dingin. Belum bisa menerima kenyataan apapun seperti yang
diceritakan kedua orangtuanya.
Cakka menyetel alarm mobil. Menimbulkan bunyi singkat dari arah mobil keluaran
terbaru berwarna silver metalik yang kini ditinggalkannya tersebut. Lalu
melangkah beriringan dengan Shilla. Memasuki gedung Fakultas Kedokteran.
“Aku gak nyangka kamu masih pake cincin pertunangan kita,” ucap Cakka, membuka
percakapan. Seraya melirik sebuah cincin emas putih yang melingkari jari manis
tangan kiri Shilla.
Shilla ikut melirik tangan kirinya. Tempat sebuah benda indah yang bersemat
sejak tiga tahun yang lalu. Saat ia baru sadar dari koma akibat insiden
kecelakaan yang menimpanya. Ini.. cincin pertunangan kami?
“Aku juga punya,” Cakka memamerkan cincin yang menghiasi jari manis tangan
kirinya ke depan wajah Shilla. “Sama, kan? Di dalem cincin yang kamu pake itu,
ada tiga huruf. C, K, dan N. Inisial namaku, Cakka Kawekas Nuraga.”
Shilla tersentak. Menyadari kebenaran ucapan Cakka. Dia memang pernah
memperhatikan tiga huruf yang terukir indah di dalam cincinnya. Dan saat ia
menanyakan hal itu pada Ibu, Ibu hanya memintanya menunggu. Sampai tiba saatnya
beliau akan menjelaskan semua yang ingin ia ketahui.
“Kalo di dalam cincin yang aku pake ini, ada inisial nama kamu. A, dan Z. Ashila Zahrantiara,” tambah Cakka.
Senyum masih setia bersarang di wajahnya. Membuatnya semakin menawan.
Tiba-tiba, keseimbangan Shilla goyah. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Tangan
kanannya memegangi kepalanya sembari meringis. Menahan rasa sakit.
Dengan sigap, Cakka langsung menahan tubuh perempuan itu sebelum terjatuh ke
tanah di bawah tubuh mereka. “Kamu kenapa? Apanya yang sakit?” Wajahnya
terlihat sangat panik.
Shilla menyingkirkan tangan tangan Cakka yang melingkar di punggungnya.
Kemudian menghela nafas panjang dan menggeleng. “Gue gak pa-pa.”
“Maafin aku, Shill. Aku gak bermaksud maksa kamu buat inget semuanya
sekarang,” Cakka
menunduk. “Kamu jangan maksain diri kamu, ya! Aku gak mau kekhawatiran Ayah
sama Ibu malah terjadi. Bisa berabe kalo kamu malah lupa semuanya.”
Shilla hanya terdiam.
“Kamu ada kuliah, kan? Kita pisah di sini aja. Kalo kamu mau pulang, jangan
lupa hubungin aku,” ucap Cakka. “Handphone kamu mana?”
Perempuan itu merogoh saku rok panjang yang ia kenakan pagi ini. Lalu
mengacungkan sebuah smartphone ke arah Cakka. Membuat Cakka kontan
mengambilnya dan memencet tombol-tombolnya dengan cekatan.
“Nih,” Cakka mengembalikan handphone Shilla ke genggaman perempuan itu.
“Aku udah save nomorku. Jangan lupa, kalo kamu udah pulang langsung sms
aku.”
Shilla mengangguk pelan.
“Ya udah. Masuk kelas, gih. Ntar kamu diomelin dosen,” tutup lelaki itu.
Sebelum mengelus kepala Shilla dan menghilang di ujung koridor lantai satu
gedung ini.
***
“Muka lo kenapa, Shilla?” tanya Angel dengan alis bertaut. Tangannya yang tadi
sibuk membolak-balik diktat kuliahnya, sontak berhenti dan terlipat dengan rapi
di atas meja.
“Kenapa?” Shilla balik bertanya sambil duduk di kursinya sendiri.
“Muka lo tuh, muram banget. Lo kurang tidur?”
Shilla menggeser kursinya ke arah Angel. Lalu duduk menghadap perempuan itu.
Merapatkan tubuhnya hingga menempel dengan lengan sahabatnya sejak duduk di
bangku perguruan tinggi tersebut. “I have a big problem. You have to know.
Tapi kayaknya bentar lagi dosen masuk, deh.”
“Emang apaan, sih? Serius banget, ya? Sampe lo gak tidur semaleman?”
“I think so.” Shilla menghela nafas panjang, berat. Kemudian
mengeluarkan sebuah buku tebal yang brisi mata kuliah pertamanya hari ini.
Sembari menunggu dosen memasuki kelas.
“Eh, eh... Dosen barunya udah on the way ke sini. Gila, masih muda
banget! Pasti seru deh diajarin sama dia. Wohoooo...” sorak Dinda, salah satu
teman kelasnya yang baru saja masuk ke dalam kelas sambil berlari.
“Dosen baru?” gumam Shilla, heran.
Angel yang mendengar suara Shila itu, langsung menoleh ke arah sahabatnya.
“Iya, kita bakal diajar sama dosen baru. Pak Eza kan udah sibuk sejak diangkat jadi
dekan, jadi dia gak bakal ngajar kita lagi,” jelasnya. “Oh iya, gue denger
dosen kita ini baru lulus dan langsung diminta jadi dosen tetap di kampus ini.
Pasti dia pinter banget,” lanjutnya. Sama berapi-apinya dengan Dinda tadi.
Shilla hanya manggut-manggut.
“Selamat pagi adik-adik...” sapa sebuah suara yang terdengar serak dari arah
pintu kelas. Terdengar bersemangat.
“Pagi, Dokter...” balas seisi kelas. Kompak.
Tuk! Pulpen yang dimain-mainkan oleh jemari Shilla tiba-tiba jatuh dari
genggamannya. Otomatis, perempuan yang mengenakan kemeja polos hijau dan rok
panjang bermotif bunga-bunga hijau itu pun menunduk. Mencari-cari pulpen
berbentuk kepala chasper kesayangannya.
Langkah dosen baru tersebut terhenti saat merasakan sesuatu yang menghalangi
jalannya. Membuatnya harus menunduk dan meraih benda tersebut. Sebuah pulpen
berwarna biru dengan wajah chasper di bagian atas. Seketika itu, senyumnya
mengembang.
“Ngel, lo liat pulpen gue, gak?” bisik Shilla saat ia sudah putus asa dan
memilih mengangkat kepalanya yang sudah cukup lama berada di bawah meja.
Angel menggeleng. Matanya menatap takjub ke arah sang dosen baru yang kini
meletakkan buku-buku tebal yang dibawanya ke atas meja dosen di depan kelas.
“Yaaah, masa hilang, sih? Kan baru aja jatuh. Gak mungkin banget hilang secepat
itu. Huaaahhh, nyari benda yang bentuknya chasper kan susah banget sekarang.
Udah jarang. Mana aku baru beli, lagi. Angeeel, gimana dong? Gue gak relaaa...”
cerocos Shilla. Masih sambil berbisik. Mengingat dosen yang dibicarakan
teman-temannya itu baru saja memasuki kelas. Walaupun ia sendiri belum
melihatnya.
“Husss!” desis Angel. Telunjuk tangan kanannya ia letakkan di depan bibir.
Lengkap dengan mata melotot.
“Ada apa ini? Apa ini
semacam penyambutan dari mahasiswa semester enam untuk dosen barunya? Sesopan
inikah? Sampai tidak menghargai dosen yang sudah berdiri di depan?” Sebuah
suara muncul dari samping kanan Shilla.
Shilla memalingkan wajahnya dengan malas. Masih belum terima dengan insiden
pulpen kesayangannya yang hilang dan kini harus dihadapkan oleh sang dosen
baru. Namun belum sempat mengeluarkan sepatah katapun, matanya langsung
membulat. “ELO?” serunya. tidak percaya.
*TBC*
Komentar
Posting Komentar