Langsung ke konten utama

Remember Me #2 Versi CakShill




***


Shilla mengunyah roti bakar selai coklat kesukaannya dengan tatapan kosong. Berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya, ia memilih melewati pagi ini dalam diam. Sesekali melirik sang Ayah yang sibuk membaca koran di ujung meja sebelah kiri, lalu menatap Ibu yang ikut menikmati roti di seberang. Kemudian ke sosok baru di samping kanannya –yang katanya– merupakan tunangannya. Calon suaminya.

            “Shilla,” Ayah memecah keheningan.

            Perempuan itu langsung mengalihkan pandangannya dari susu coklat ke wajah lelaki berusia 50 tahun di sebelah kirinya tersebut.

            “Mulai hari ini, Pak Toro gak nganterin kamu lagi. Dia nganterin Ayah. Ayah udah capek nyetir mobil sendiri.”

            Shilla mengangguk pelan. “Ya udah. Kalo gitu, Shilla nyetir sendiri aja.”

            “Enggak, bukan gitu maksud Ayah, Nak. Maksudnya mulai sekarang, Cakka yang bakal nganter kamu ke kampus,” tambah Ayah.

            Shilla nyaris tersedak dan memuncratkan susu coklat yang baru saja ia minum kalau saja tidak cepat-cepat menelannya. “Ayah gak becanda, kan? Ayah lupa kalo aku bisa nyetir mobil sendiri? Aku bisa, kok.”

            “Enggak! Kamu gak boleh bawa mobil! Ibu gak bakal ngijinin kamu!” sergah Ibu cepat.

            “Aku bisa naik taksi,” jawab Shilla lagi. Ia betul-betul belum siap untuk menerima kehadiran orang baru di kehidupannya. Setidaknya bagi Shilla, ia belum mengenal Cakka sepenuhnya. Dan karena masih canggung serta takut untuk mencoba mendekatkan diri secara tiba-tiba seperti saat ini, ia lebih baik menghindar. Sampai ia siap lahir dan batin.

            “Ngapain kamu naik taksi kalo tujuan kalian sama?” tanya Ayah.

            Shilla langsung menoleh dan menatap Cakka yang sedari tadi tak bersuara di sebelahnya. Dengan dahi berkerut.

            Cakka ikut memandangi tunangannya itu. “Iya, aku bakal ke kampus kamu. Ini hari pertamaku kerja di sana,” jawabnya. Tanpa ditanya, ia sudah tahu apa isi pikiran Shilla.

            “Kerja?”

            Cakka mengangguk pelan. “Ntar kamu tau sendiri, kok...” balasnya. “Udah siang. Kita berangkat sekarang, yuk!” sambungnya sembari menghabiskan cappucino di atas meja makan hingga tandas.

            Shilla menghela nafas panjang. Lalu ikut menghabiskan susu coklatnya.

            “Ayah, Ibu... Kami berangkat dulu, ya! Assalamu alaikum,” pamit Cakka sambil menciumi punggung tangan kedua calon mertuanya.

            “Shilla pergi dulu, Yah... Bu... Assalamu alaikum,” Shilla berdiri dari duduknya. Kemudian mengekori Cakka yang telah lebih dulu berjalan ke pintu depan. Setelah menciumi tangan Ayah dan Ibunya.

            “Wa alaikum salam...” balas Ayah dan Ibu bersamaan. Dihiasi dengan senyum bahagia melihat putri semata wayang mereka mulai menurut. Berbeda dengan keadaan semalam.

***

            Shilla turun dari mobil Cakka saat lelaki itu membukakan pintu untuknya. Wajahnya tetap dingin. Belum bisa menerima kenyataan apapun seperti yang diceritakan kedua orangtuanya.

            Cakka menyetel alarm mobil. Menimbulkan bunyi singkat dari arah mobil keluaran terbaru berwarna silver metalik yang kini ditinggalkannya tersebut. Lalu melangkah beriringan dengan Shilla. Memasuki gedung Fakultas Kedokteran.

            “Aku gak nyangka kamu masih pake cincin pertunangan kita,” ucap Cakka, membuka percakapan. Seraya melirik sebuah cincin emas putih yang melingkari jari manis tangan kiri Shilla.

            Shilla ikut melirik tangan kirinya. Tempat sebuah benda indah yang bersemat sejak tiga tahun yang lalu. Saat ia baru sadar dari koma akibat insiden kecelakaan yang menimpanya. Ini.. cincin pertunangan kami?

            “Aku juga punya,” Cakka memamerkan cincin yang menghiasi jari manis tangan kirinya ke depan wajah Shilla. “Sama, kan? Di dalem cincin yang kamu pake itu, ada tiga huruf. C, K, dan N. Inisial namaku, Cakka Kawekas Nuraga.”

            Shilla tersentak. Menyadari kebenaran ucapan Cakka. Dia memang pernah memperhatikan tiga huruf yang terukir indah di dalam cincinnya. Dan saat ia menanyakan hal itu pada Ibu, Ibu hanya memintanya menunggu. Sampai tiba saatnya beliau akan menjelaskan semua yang ingin ia ketahui.

            “Kalo di dalam cincin yang aku pake ini, ada inisial nama kamu. A,  dan Z. Ashila Zahrantiara,” tambah Cakka. Senyum masih setia bersarang di wajahnya. Membuatnya semakin menawan.

            Tiba-tiba, keseimbangan Shilla goyah. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Tangan kanannya memegangi kepalanya sembari meringis. Menahan rasa sakit.

            Dengan sigap, Cakka langsung menahan tubuh perempuan itu sebelum terjatuh ke tanah di bawah tubuh mereka. “Kamu kenapa? Apanya yang sakit?” Wajahnya terlihat sangat panik.

            Shilla menyingkirkan tangan tangan Cakka yang melingkar di punggungnya. Kemudian menghela nafas panjang dan menggeleng. “Gue gak pa-pa.”

            “Maafin aku, Shill. Aku gak bermaksud maksa kamu buat inget semuanya 
sekarang,” Cakka menunduk. “Kamu jangan maksain diri kamu, ya! Aku gak mau kekhawatiran Ayah sama Ibu malah terjadi. Bisa berabe kalo kamu malah lupa semuanya.”

            Shilla hanya terdiam.

            “Kamu ada kuliah, kan? Kita pisah di sini aja. Kalo kamu mau pulang, jangan lupa hubungin aku,” ucap Cakka. “Handphone kamu mana?”

            Perempuan itu merogoh saku rok panjang yang ia kenakan pagi ini. Lalu mengacungkan sebuah smartphone ke arah Cakka. Membuat Cakka kontan mengambilnya dan memencet tombol-tombolnya dengan cekatan.

            “Nih,” Cakka mengembalikan handphone Shilla ke genggaman perempuan itu. “Aku udah save nomorku. Jangan lupa, kalo kamu udah pulang langsung sms aku.”

            Shilla mengangguk pelan.

            “Ya udah. Masuk kelas, gih. Ntar kamu diomelin dosen,” tutup lelaki itu. Sebelum mengelus kepala Shilla dan menghilang di ujung koridor lantai satu gedung ini.

***


            “Muka lo kenapa, Shilla?” tanya Angel dengan alis bertaut. Tangannya yang tadi sibuk membolak-balik diktat kuliahnya, sontak berhenti dan terlipat dengan rapi di atas meja.

            “Kenapa?” Shilla balik bertanya sambil duduk di kursinya sendiri.

            “Muka lo tuh, muram banget. Lo kurang tidur?”

            Shilla menggeser kursinya ke arah Angel. Lalu duduk menghadap perempuan itu. Merapatkan tubuhnya hingga menempel dengan lengan sahabatnya sejak duduk di bangku perguruan tinggi tersebut. “I have a big problem. You have to know. Tapi kayaknya bentar lagi dosen masuk, deh.”

            “Emang apaan, sih? Serius banget, ya? Sampe lo gak tidur semaleman?”

            “I think so.” Shilla menghela nafas panjang, berat. Kemudian mengeluarkan sebuah buku tebal yang brisi mata kuliah pertamanya hari ini. Sembari menunggu dosen memasuki kelas.

            “Eh, eh... Dosen barunya udah on the way ke sini. Gila, masih muda banget! Pasti seru deh diajarin sama dia. Wohoooo...” sorak Dinda, salah satu teman kelasnya yang baru saja masuk ke dalam kelas sambil berlari.

            “Dosen baru?” gumam Shilla, heran.

            Angel yang mendengar suara Shila itu, langsung menoleh ke arah sahabatnya. “Iya, kita bakal diajar sama dosen baru. Pak Eza kan udah sibuk sejak diangkat jadi dekan, jadi dia gak bakal ngajar kita lagi,” jelasnya. “Oh iya, gue denger dosen kita ini baru lulus dan langsung diminta jadi dosen tetap di kampus ini. Pasti dia pinter banget,” lanjutnya. Sama berapi-apinya dengan Dinda tadi.

            Shilla hanya manggut-manggut.

            “Selamat pagi adik-adik...” sapa sebuah suara yang terdengar serak dari arah pintu kelas. Terdengar bersemangat.

            “Pagi, Dokter...” balas seisi kelas. Kompak.

            Tuk! Pulpen yang dimain-mainkan oleh jemari Shilla tiba-tiba jatuh dari genggamannya. Otomatis, perempuan yang mengenakan kemeja polos hijau dan rok panjang bermotif bunga-bunga hijau itu pun menunduk. Mencari-cari pulpen berbentuk kepala chasper kesayangannya.

            Langkah dosen baru tersebut terhenti saat merasakan sesuatu yang menghalangi jalannya. Membuatnya harus menunduk dan meraih benda tersebut. Sebuah pulpen berwarna biru dengan wajah chasper di bagian atas. Seketika itu, senyumnya mengembang.

            “Ngel, lo liat pulpen gue, gak?” bisik Shilla saat ia sudah putus asa dan memilih mengangkat kepalanya yang sudah cukup lama berada di bawah meja.

            Angel menggeleng. Matanya menatap takjub ke arah sang dosen baru yang kini meletakkan buku-buku tebal yang dibawanya ke atas meja dosen di depan kelas.

            “Yaaah, masa hilang, sih? Kan baru aja jatuh. Gak mungkin banget hilang secepat itu. Huaaahhh, nyari benda yang bentuknya chasper kan susah banget sekarang. Udah jarang. Mana aku baru beli, lagi. Angeeel, gimana dong? Gue gak relaaa...” cerocos Shilla. Masih sambil berbisik. Mengingat dosen yang dibicarakan teman-temannya itu baru saja memasuki kelas. Walaupun ia sendiri belum melihatnya.

            “Husss!” desis Angel. Telunjuk tangan kanannya ia letakkan di depan bibir. Lengkap dengan mata melotot.

“Ada apa ini? Apa ini semacam penyambutan dari mahasiswa semester enam untuk dosen barunya? Sesopan inikah? Sampai tidak menghargai dosen yang sudah berdiri di depan?” Sebuah suara muncul dari samping kanan Shilla.

            Shilla memalingkan wajahnya dengan malas. Masih belum terima dengan insiden pulpen kesayangannya yang hilang dan kini harus dihadapkan oleh sang dosen baru. Namun belum sempat mengeluarkan sepatah katapun, matanya langsung membulat. “ELO?” serunya. tidak percaya.








*TBC*






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Remember Me #1 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi TUNANGAN? Karena cinta... Tidak akan pernah saling melupakan. Shilla keluar dari gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.             Tiba-tiba, seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja turun dari mobil silver langsung menghampirinya.             “SURPRISEEEEE!!!” sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya. Tepat di hadapan Shilla.             Shilla menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh dengan tingkah lelaki tersebut.  ...

Remember Me #9 Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi “Kamu ngomong apa, sih?” sorak Cakka, meluapkan emosinya. Seharian ini ia sudah dibuat stress gara-gara masalah rumah sakit, kampus, mobil mogok, Shilla tiba-tiba menghilang dan pulang bersama Rio, sekarang apa lagi? Perempuan itu membatalkan pertunangan? Apa tidak cukup masalahnya seharian ini? “Pertunangan ini gak bisa aku lanjutin lagi,” balas Shilla. “Maafin aku selama ini.” “Shilla, please... Kamu kenapa? Oke, aku minta maaf. Kamu boleh nyuruh aku apa aja. Kamu boleh mukul aku sampe babak belur sekalipun, tapi kamu jangan mutusin sesuatu dengan gampang!” Cakka membekap kepalanya sendiri. Membuat rambutnya yang sudah menutupi telinga jadi berantakan. Perempuan itu terdiam. “Asal kamu tau, kita udah tunangan enam tahun ini. Kamu pikir gampang memutuskan semuanya dalam waktu beberapa menit aja? Hah?” seru Cakka, frustasi. “Aku gak inget apapun tentang kamu.” “Iya, aku tau! Trus kamu pikir aku bakal nerima keputusan ka...

Remember Me #ENDING Versi CakShill

Oleh Andi Febrianti Pratiwi             Rio menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Ngel... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Shilla langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!” Angel semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Shilla. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini. Hiks...” Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which is sembilan tahun yang lalu,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Shilla biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.” Perempuan berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi. “Rio bener, Ngel. Shilla butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Cakka ikut menatap na...